Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mendapatkan limpahan tenaga kerja usia produktif, atau dikenal sebagai bonus demografi, yang diprediksi memuncak pada 2030. Tanpa solusi keuangan di hari tua, bonus tersebut bisa berbalik menjadi "kutukan demografi" dalam 3 dekade ke depan.
Bonus demografi dimaknai sebagai surplus tenaga produktif di suatu negara akibat besarnya proporsi penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) hingga jauh melampaui usia tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun).
Acuannya adalah ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari penduduk usia non-produktif, di mana rasio ketergantungan-perbandingan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia non-produktif di suatu negara-di bawah 50%. Intinya, makin kecil rasio ketergantungan makin baik bagi perekonomian.
Mengacu pada tingkat kelahiran dan kematian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi Indonesia menikmati window of opportunity (jendela peluang) pada kurun 2010-2030, di mana rasio ketergantungan sangat rendah dan mencapai puncaknya pada 2030 (sebesar 46,9%).
 Sumber: Bappenas |
Pada kurun waktu tersebut, penduduk Indonesia diprediksi berjumlah 293 juta jiwa (2030), dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai 200,3 juta. Bonus penduduk produktif inilah yang diyakini akan menjadi modal dasar untuk memutar mesin ekonomi dan pembangunan.
Terbaru (per Februari 2022), data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angkatan kerja di Indonesia berjumlah 144 juta. Sebanyak 135,6 juta orang terserap di pasar tenaga kerja dan 8,4 juta sisanya masih berstatus pengangguran.
Berapa kontribusi anak muda di angkatan kerja? BPS tidak merincinya. Namun, gejala kian kuatnya kontribusi generasi muda dalam ekonomi kita terlihat dari data pembayar pajak di Kementerian Keuangan.
Generasi Y (kaum milenial) dan Generasi Z, yang lahir tahun 1981-1996 dan 1997-2012, per tahun 2021 menyumbang 47% dari pembayar pajak di Indonesia. Di lapangan, angka tersebut berpeluang lebih tinggi karena data pembayar pajak tersebut merupakan mereka yang menyetor pajak penghasilan (Pph) pribadi.
Artinya, yang terekam di sini adalah mereka yang bekerja di sektor formal. Di sektor informal, kontribusi kaum muda ini kemungkinan besar lebih tinggi terutama dari ekonomi digital yang sangat mereka kuasai, misalnya bisnis re-seller produk berbasis media sosial (medsos).
HALAMAN SELANJUTNYA >> Kutukan Sandwich Generation
Semestinya ketika jumlah generasi produktif lebih besar dari generasi non-produktif, maka ekonomi Indonesia berputar lebih kencang karena kaum yang menghasilkan pemasukan tersebut memiliki daya beli dan alokasi dana yang cukup untuk belanja dan investasi.
Sebagaimana diketahui, konsumsi masyarakat menyumbang 53% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sementara investasi berkontribusi sebesar 30%. Keduanya menjadi mesin utama ekonomi sehingga berperan menentukan kencang tidaknya laju mesin ekonomi nasional.
Namun, saat ini ada situasi yang memprihatinkan dalam struktur keuangan kaum muda Indonesia yang membuat potensi tersebut hilang, yakni besarnya pengeluaran mereka untuk membiayai hidup anggota keluarga, dan bukan untuk investasi yang berorientasi masa depan.
Kita mengenalnya dengan istilah sandwich generation di mana generasi muda terpaksa harus membayar pengeluaran rutin keluarganya (ayah/ibu, kakek/nenek, adik/kakak), sehingga daya beli yang mereka miliki kurang terpakai optimal untuk menopang investasi.
Data Indonesia Milenial Report (2019) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran milenial untuk kebutuhan keluarga mencapai 51,1% dari pengeluaran rutin mereka per bulan. Sementara, alokasi dana untuk kebutuhan finansial di masa depan (berupa investasi) hanya 2%.
 Sumber: IMR (2019) |
Salah satu pangkal persoalannya adalah masih minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengembangkan nilai aset mereka di masa depan dalam bentuk investasi (yang berorientasi jangka panjang) atau dalam bentuk program pensiun untuk memenuhi kebutuhan finansial di hari tua.
Indeks Literasi Keuangan terbaru (2019) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa angka literasi keuangan mengenai program dana pensiun hanya sebesar 14,13%.
Angka itu merupakan yang terendah kedua setelah pasar modal (yang menjadi tuan rumah bagi aktivitas investasi portofolio di Tanah Air) yang hanya di angka 4,9%. Sebagai perbandingan, literasi masyarakat mengenai perbankan telah mencapai 36,1%.
Situasi tersebut berkonsekuensi pada terbatasnya aset investasi masyarakat di pasar modal dan juga aset dana pensiun, yang hanya Rp 7.300 triliun dan Rp Rp 320 triliun. Keduanya setara dengan 43% dan 1,9% dari PDB.
Mengacu pada negara maju, aset pasar modal dan dana pensiun sebagai bentuk public investment idealnya lebih besar dari PDB. Sebagai contoh, aset pasar modal di Amerika Serikat (AS) setara dengan 194% PDB-nya, sementara aset dana pensiunnya setara dengan 153% PDB.
Halaman Selanjutnya >> JHT, Solusi Skala Nasional yang Terabaikan
Untuk memutus rantai sandwich generation, maka kuncinya ada di tangan para pekerja saat ini. Mereka lah yang kelak dalam 20-30 tahun ke depan bakal menjadi "beban baru" yang dipikul generasi selanjutnya, jika tidak mampu mandiri di usia tua.
Dan cara untuk mengembangkan aset untuk keperluan hari tua, maka jawabannya adalah investasi mandiri atau memaksimalkan pemanfaatan program hari tua seperti dana pensiun. Program hari tua menjadi solusi ampuh karena menjalankan prinsip compounded investment (investasi dengan memutar laba yang dihasilkan sebagai aset investasi selanjutnya).
Selain itu, keuntungan investasi juga semakin besar karena berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 212/PMK.03/2018, aset investasi dalam program hari tua memang dibebaskan dari pajak penghasilan.
Namun realita masih memprihatinkan dengan rendahnya peserta program hari tua di kalangan pekerja, yakni hanya 4,3 juta orang jika mengutip data OJK. Artinya, hanya 3,2% dari pekerja formal kita yang kelak membebaskan generasi di bawahnya dari kutukan sandwich generation.
Di tengah situasi demikian, pemerintah melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek sebenarnya telah menyediakan solusi dengan program Jaminan Hari Tua (JHT), yang melengkapi program Jaminan Pensiun.
Program JHT telah hadir sejak 2004, dengan iuran sebesar 5,7% dari upah bulanan, di mana 2% dibayarkan oleh pekerja dan 3,7% dibayarkan oleh perusahaan (selaku pemberi kerja). Manfaatnya bisa dicairkan ketika peserta memasuki usia pensiun (56 tahun).
Namun kenyataan justru berkata lain. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyediakan dana hari tua mendorong pekerja mencairkan manfaat JHT secara prematur. Menurut data BP Jamsostek, hanya 3% peserta program JHT yang mencairkan manfaat JHT di usia pensiun.
Lebih ironis lagi, BP Jamsostek per 2021 melaporkan sekitar 2 juta pekerja usia milenial & Gen Z (berusia di bawah 40 tahun) mencairkan manfaat JHT sebelum pensiun. Jumlah mereka setara dengan 75% peserta program JHT. Nilai yang dicairkan pun tidak signifikan (di bawah Rp 5 juta).
 Sumber: BP Jamsostek |
Padahal, perhitungan pengembangan investasi JHT berujung pada manfaat dengan nilai berkali lipat ketika dicairkan di usia pensiun. Berikut ini perhitungannya, dengan memakai usia pekerja 26 tahun, asumsi return investasi konservatif (sebesar 5%) dan kenaikan upah tahunan 3%.
Dari paparan tersebut terlihat bahwa upah Rp 4 juta bisa berujung pada manfaat JHT 16 kali lipat lebih tinggi ketika dikembangkan dalam masa 30 tahun (dan dicairkan di usia pensiun), ketimbang ketika dicairkan di usia kepesertaan lima tahun.
Jika sebelumnya pekerja mencairkan JHT ketika terkena PHK dengan dalih perlu uang cepat untuk bertahan hidup, maka alasan tersebut tidak lagi relevan karena Kementerian Ketenagakerjaan telah merilis program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Semua peserta BP Jamsostek mendapatkan manfaat JKP ketika kehilangan pekerjaan, yakni sebesar 45% dari gaji bulanan untuk 3 bulan pertama usai PHK dan 25% dari gaji untuk 3 bulan berikutnya.
Kombinasi JHT dan JKP ini memberikan fondamen bagi terciptanya dana hari tua bagi para pekerja melalui JHT. Jika semua pekerja mencairkan JHT di usia pensiun, maka problem sandwich generation dipastikan sirna dari Bumi Pertiwi.
TIM RISET CNBC INDONESIA