Kriptomologi

Tak Punya Nilai Fundamental, Ini yang Bikin Kripto Diburu

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 May 2021 15:20
Tesla
Foto: REUTERS/Mike Blake

Berbeda dari emas, uang kertas memang tidak memiliki nilai intrinsik karena hanya dibuat sekian detik di mesin cetak. Namun ia bernilai, dipercaya sebagai alat tukar, alat pembayaran, dan alat penyimpan nilai karena keberadaan negara. Negara yang membuatnya bernilai.

Kertas yang ditandatangani oleh pejabat negara tersebut menyimpan nilai 'adikodrati', berupa kemampuan untuk ditukarkan dengan barang dan jasa secara langsung-meski semua orang mengetahui yang dipindahtangankan itu kodratnya hanyalah sepotong kertas.

Sederhananya, nilai fundamental uang kertas muncul ketika dia bisa dipertukarkan (alias menjadi alat tukar) dan diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Poinnya terletak pada: penentu ada/tidaknya nilai fundamental sebagai alat tukar. Bukan pada benda yang dipertukarkan itu.

Seandainya negara sekarang menentukan batu cadas sebagai alat tukar, maka saat itu pula warga Gunung Kidul-yang tinggal di kawasan cadas-menjadi kaya raya. Batu di sekitar mereka menjadi bernilai dan bisa dipakai untuk membayar utang dan membeli kapal pesiar.

Sebaliknya, seandainya Bank Indonesia (BI) sekonyong-konyong mengumumkan bahwa rupiah sekarang tidak berlaku, dan misalnya diganti Oeang Rakyat Indonesia (ORI) zaman dulu, maka seketika itu pula nilai positif uang di dompet kita langsung musnah.

Dalam hal ini, mata uang kripto berada satu kasta di bawah uang kertas. Jangankan punya nilai intrinsik, bentuk fisik saja ia tak ada. Dia hanya memiliki wujud maya (digital) yang bisa dibuktikan, terekam, dan nyaris muskil dimanipulasi, berkat kecanggihan teknologi blockhain.

Muncul sejak tahun 2009, Bitcoin dkk memang tidak lantas bisa dipakai bertransaksi di dunia nyata. Namun di dunia maya, sejak tahun 2011 Bitcoin telah dipakai sebagai alat tukar dan alat pembayaran oleh sesama pelaku jual-beli di pasar gelap (black market), yakni Silk Road.

Aplikasi darknet (internet gelap yang tak bisa diakses dengan protokol biasa) ini dikembangkan oleh Ross Ulbricht. Ketika Ross ditangkap pihak berwenang setelah orang-orang bertransaksi narkoba di Silk Road, mereka menemukan Bitcoin yang bernilai nyaris US$ 1 miliar di jaringan tersebut.

Diakui ataupun tidak, Ross adalah sumbu yang mengaitkan alasan keberadaan (raison d'étre) Bitcoin dengan Silk Road. Milenial, yang baru berusia 29 tahun ketika merilis Silk Road tersebut, adalah penganut mazhab ekonomi libertarian yang menolak sentralisme fiskal dan moneter di ekonomi.

Menurut dia, masyarakat harus diberi ruang untuk menentukan peredaran barang dan jasa dalam sistem yang setara dan otonom. Kaum libertarian menolak sentralisasi kebijakan dan peredaran mata uang-sesuatu yang menurut Nouriel, dalam tulisan berjudul "The Big Blockhain Lie" (2018), sebagai gerakan libertarian anarkis.

Namun kini mata uang kripto kian populer setelah beberapa konglomerat menerimanya sebagai alat pembayaran, seperti misalnya Elon Musk-yang gemar pompom kripto dan kemarin perusahaannya meraup Rp 1,5 triliun dari trading Bitcoin. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat (AS) memang menjadi negara yang paling terbuka terhadap Bitcoin.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular