Internasional

Ini Alasan Negara-negara Besar Dunia Mulai "Buang Dolar"

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
01 November 2019 11:24
Transaksi dengan dolar sangat berisiko karena harus mengikuti yuridiksi AS
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tingginya nilai bisnis berbagai negara-negara di dunia dengan Amerika Serikat (AS), tanpa disadari membuat mereka menjadi ketergantungan pada Negeri Paman Sam.

Hal itu pun pada akhirnya membuat mereka memiliki ketergantungan juga dalam menggunakan mata uang dolar sebagai alat transaksi yang sah.


Selain itu, karena nilai dolar cenderung lebih stabil dibandingkan mata uang lainnya maka tidak mengherankan jika banyak pelaku pasar memilih dolar sebagai alat untuk berinvestasi.

Alasan-alasan itu pun membuat dolar secara langsung menjadi mata uang dunia.

Sayangnya, menurut Anne Korin, co-director di think tank energi dan keamanan dari Institute for Analysis of Global Security, ketika dolar AS digunakan atau transaksinya diselesaikan melalui bank Amerika, maka entitas harus tunduk pada yurisdiksi AS.

Bahkan, meski transaksi itu tidak ada hubungannya dengan AS. Hal ini pun membuat banyak negara besar di dunia seperti China, Rusia dan Uni Eropa mulai berpikir untuk 'membuang' dolar.


"Negara-negara paling berpengaruh (major movers) seperti China, Rusia dan Uni Eropa memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan de-dolarisasi," kata Korin, Rabu (23/10/2019).

"Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi yang kami tahu adalah bahwa situasi saat ini tidak berkelanjutan. Ada klub dari negara-negara yang sangat kuat yang sedang berkembang."

Sebagai contoh dari besarnya pengaruh dolar, Korin pun mengutip kasus pengunduran diri AS secara sepihak dari perjanjian nuklir Iran 2015, pada tahun 2018.

Seperti diketahui, setelah menjatuhkan sanksi pada Iran, AS mengancam akan menghukum perusahaan domestik dan perusahaan asing yang beroperasi di negara tersebut dan melakukan aktivitas bisnis dengan Iran.

Akibat dari hal ini, berbagai perusahaan pun banyak yang menunda atau membatalkan bisnisnya dengan Iran. Salah satu yang paling terdampak adalah perusahaan-perusahaan dari negara-negara Eropa.

Misalnya saja Total. Pada saat AS mengancam sanksi itu, raksasa energi asal Perancis ini sedang mengembangkan bagian dari ladang gas alam terbesar di dunia, yang mulai digarap setelah adanya kesepakatan nuklir Iran 2015.

Namun, setelah AS menjatuhkan ancamannya, perusahaan itu langsung bersiap untuk meninggalkan proyek Teluk Persia kecuali jika pemerintah AS mengecualikan Total dari sanksi tersebut.

Mengutip CNBC International, sanksi sekunder AS itu sangat berbahaya untuk perusahaan multinasional seperti Total karena pemerintah Presiden Donald Trump terancam akan mengeluarkan Total dari sistem keuangan AS dan memaksa perusahaan untuk mengakhiri operasinya di AS.

"Eropa ingin melakukan bisnis dengan Iran. Negara itu tidak ingin tunduk pada hukum AS untuk melakukan bisnis dengan Iran, kan?" katanya.

"Tidak ada yang ingin dijemput di bandara untuk melakukan bisnis dengan negara-negara yang AS tidak sukai." Kata Korin. Oleh karena itu, negara-negara itu semakin ingin untuk mengurangi ketergantungan dalam menggunakan dolar.

Namun sayangnya, jika banyak negara menjual dolar, maka nilainya akan melemah. Hal ini dapat mempengaruhi mata uang negara lainnya, terutama yuan China.

[Gambas:Video CNBC]




(sef/sef) Next Article Ramai Negara Besar Dunia Kini 'Buang Dolar', Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular