
Internasional
Hong Kong, Pusat Keuangan yang Kini Tenggelam Dalam Resesi
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 November 2019 06:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Hong Kong menjadi bahasan panas dalam beberapa waktu terakhir, baik oleh masyarakat umum, maupun juga pelaku pasar keuangan dunia. Dalam beberapa waktu terakhir, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di sana, melibatkan jutaan orang dan begitu banyak tetesan darah.
Bahkan, kini aksi demonstrasi tersebut menimbulkan korban baru, yakni perekonomian Hong Kong sendiri. Kemarin, Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.
Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.
Sebelum membahas demonstasi di Hong Kong dan dampaknya mengenai perekonomian, ada baiknya mengenal lebih dahulu sejarah Hong Kong. Pasalnya, apa yang terjadi saat ini berkaitan erat dengan sejarah dari Hong Kong itu sendiri.
Hong Kong bukanlah sebuah negara, melainkan sebuah wilayah administratif khusus yang merupakan bagian dari China. China sendiri merupakan bekas jajahan atau koloni Inggris selama lebih dari 150 tahun. Pasca perang pada tahun 1842, China menyerahkan Hong Kong ke Inggris. Kemudian, China menyewakan sisa wilayah Hong Kong ke Inggris selama 99 tahun.
Pada tahun 1950an, perekonomian Hong Kong melejit seiring dengan posisinya sebagai pusat manufaktur. Banyak warga China yang melarikan diri ke Hong Kong guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kemudian pada awal 1980an, mendekati tenggat waktu berakhirnya periode sewa wilayah Hong Kong oleh Inggris, China dan Inggris melakukan perundingan mengenai masa depan Hong Kong. Kedua pihak kemudian mencapai kesepakatan pada tahun 1984 yang akan membuat Hong Kong kembali ke pangkuan China pada tahun 1997, di bawah asas "satu negara, dua sistem". Inilah kenapa Hong Kong bukan merupakan sebuah negara melainkan sebuah wilayah administratif khusus.
Tetap menjadi bagian dari China, Hong Kong memiliki kekuasaan yang besar untuk mengatur wilayahnya sendiri. Hong Kong memiliki sistem hukum dan perbatasannya sendiri. Kebebasan berpendapat (freedom of speech) dijamin di Hong Kong.
Sebagai contoh, Hong Kong merupakan satu dari sebagian kecil wilayah di China di mana orang-orang bisa secara bebas memperingati tragedi 1989 di Tiananmen Square. Kala itu, anggota militer China menembak demonstran yang sejatinya datang tanpa membawa senjata apapun.
Namun, kini masyarakat Hong Kong merasa bahwa kebebasan mereka sudah mulai dibatasi. Beberapa pihak sayap kanan menuduh China kini mulai ikut campur terkait urusan rumah tangga di Hong Kong. Hal ini terlihat dari menghilangnya beberapa warga Hong Kong, termasuk seorang taipan, yang kemudian diketahui ditahan oleh pihak China.
Kemudian, seorang jurnalis dari Financial Times dilarang untuk memasuki wilayah Hong Kong pasca dirinya menyelenggarakan sebuah acara yang menampilkan seorang aktivis yang pro-kemerdekaan.
Bahkan, kini aksi demonstrasi tersebut menimbulkan korban baru, yakni perekonomian Hong Kong sendiri. Kemarin, Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.
Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.
Sebelum membahas demonstasi di Hong Kong dan dampaknya mengenai perekonomian, ada baiknya mengenal lebih dahulu sejarah Hong Kong. Pasalnya, apa yang terjadi saat ini berkaitan erat dengan sejarah dari Hong Kong itu sendiri.
Hong Kong bukanlah sebuah negara, melainkan sebuah wilayah administratif khusus yang merupakan bagian dari China. China sendiri merupakan bekas jajahan atau koloni Inggris selama lebih dari 150 tahun. Pasca perang pada tahun 1842, China menyerahkan Hong Kong ke Inggris. Kemudian, China menyewakan sisa wilayah Hong Kong ke Inggris selama 99 tahun.
Pada tahun 1950an, perekonomian Hong Kong melejit seiring dengan posisinya sebagai pusat manufaktur. Banyak warga China yang melarikan diri ke Hong Kong guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kemudian pada awal 1980an, mendekati tenggat waktu berakhirnya periode sewa wilayah Hong Kong oleh Inggris, China dan Inggris melakukan perundingan mengenai masa depan Hong Kong. Kedua pihak kemudian mencapai kesepakatan pada tahun 1984 yang akan membuat Hong Kong kembali ke pangkuan China pada tahun 1997, di bawah asas "satu negara, dua sistem". Inilah kenapa Hong Kong bukan merupakan sebuah negara melainkan sebuah wilayah administratif khusus.
Tetap menjadi bagian dari China, Hong Kong memiliki kekuasaan yang besar untuk mengatur wilayahnya sendiri. Hong Kong memiliki sistem hukum dan perbatasannya sendiri. Kebebasan berpendapat (freedom of speech) dijamin di Hong Kong.
Sebagai contoh, Hong Kong merupakan satu dari sebagian kecil wilayah di China di mana orang-orang bisa secara bebas memperingati tragedi 1989 di Tiananmen Square. Kala itu, anggota militer China menembak demonstran yang sejatinya datang tanpa membawa senjata apapun.
Namun, kini masyarakat Hong Kong merasa bahwa kebebasan mereka sudah mulai dibatasi. Beberapa pihak sayap kanan menuduh China kini mulai ikut campur terkait urusan rumah tangga di Hong Kong. Hal ini terlihat dari menghilangnya beberapa warga Hong Kong, termasuk seorang taipan, yang kemudian diketahui ditahan oleh pihak China.
Kemudian, seorang jurnalis dari Financial Times dilarang untuk memasuki wilayah Hong Kong pasca dirinya menyelenggarakan sebuah acara yang menampilkan seorang aktivis yang pro-kemerdekaan.
Next Page
Bom Waktu Itu pun Meledak
Pages
Most Popular