
Hong Kong, Pusat Keuangan yang Kini Tenggelam Dalam Resesi

Sebelum pembacaan awal untuk data pertumbuhan eknomi Hong Kong periode kuartal III-2019 dirilis, memang pemerintahnya sendiri sudah memproyeksikan bahwa Hong Kong akan resmi mengalami resesi.
Pada akhir pekan kemarin, Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan memperingatkan bahwa Hong Kong akan resmi mengalami resesi.
“Dampak (dari aksi demonstrasi) terhadap pereknomian kita signifikan,” tulis Chan dalam sebuah postingan di blog.
Dirinya kemudian menambahkan bahwa akan menjadi “sangat sulit” untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dibuat sebelum aksi demonstrasi meledak. Sebelum aksi demonstrasi meledak, pemerintah Hong Kong menargetkan perekonomian akan tumbuh sebesar 0,1% pada tahun 2019, seperti dilansir dari ABC.
Kemudian pada hari Selasa (29/10/2019), Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan bahwa terdapat kemungkinan yang besar bahwa perekonomian Hong Kong akan tumbuh negatif untuk keseluruhan tahun 2019, seperti dilansir dari BBC. Lam juga mengatakan bahwa pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi Hong Kong periode kuartal III-2019 akan resmi menempatkan Hong Kong dalam periode resesi.
Aksi demontrasi yang sudah terjadi selama nyaris lima bulan tersebut memang menjadi faktor utama dari masuknya Hong Kong ke periode resesi. Pasalnya selama demonstrasi tersebut berlangsung, sektor pariwisata Hong Kong bisa dibilang lumpuh.
Asal tahu saja, Hong Kong memang banyak bergantung pada sektor pariwisata guna mendongkrak laju perekonomiannya. Pada tahun 2018, Hong Kong merupakan salah satu kota yang paling banyak dikunjungi di dunia, dengan sebanyak 30 juta turis menghabiskan waktunya di sana.
Pada bulan lalu, Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan mengatakan bahwa jumlah turis yang mengunjungi Hong Kong pada periode Agustus 2019 ambruk nyaris 40% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kontraksi pada jumlah turis yang mengunjungi Hong Kong di bulan Agustus jauh lebih dalam ketimbang penurunan pada periode Juli 2019 yang hanya sebesar 5%.
Dilumpuhkannya bandara oleh para demonstran, beserta dengan kondisi di Hong Kong yang jauh dari kata kondusif, membuat para turis menahan minatnya untuk mengunjungi Hong Kong.
Seiring dengan ambruknya minat para turis untuk mengunjungi Hong Kong, praktis tingkat okupansi dari hotel-hotel yang beroperasi di sana menjadi ikut tertekan. Chan mengungkapkan bahwa di beberapa area, tingkat okupansi hotel pada periode Agustus 2019 jatuh lebih dari setengah. Harga rumah pun ikut babak belur, dengan penurunan mencapai 70%.
Lebih lanjut, industri ritel pun tak lepas dari jerat maut. Untuk diketahui, sudah sedari Februari 2019 penjualan barang-barang ritel di Hong Kong membukukan pertumbuhan negatif secara tahunan. Bahkan pada periode Agustus 2019, koreksinya mencapai 25,3%.
Kontraksi penjualan barang-barang ritel yang mencapai 25,3% pada Agustus 2019 menjadi kontraksi terdalam yang pernah dibukukan semenjak setidaknya Oktober 2015.
“Hal yang paling menakutkan adalah di masa depan, tidaklah terlihat akan mudah untuk mencetak perbaikan,” tulis Chan, dilansir dari BBC.
Seiring dengan perekonomian Hong Kong yang begitu lesu, tingkat pengangguran pun naik. Pada Juli 2019, tingkat pengangguran Hong Kong naik menjadi 2,9%, dari yang sebelumnya 2,8% pada Juni 2019. Dalam dua bulan berikutnya (Agustus dan September 2019), tingkat pengangguran tetap berada di level 2,9%.
Memang, kenaikan tingkat pengangguran di Hong Kong secara sekilas terlihat belum signifikan. Namun, perlu diketahui bahwa tingkat pengangguran Hong Kong tak pernah melebihi level 2,8% sejak April 2018.
Praktis, kenaikan menjadi 2,9% di bulan Juli (yang hingga bulan September masih bertahan) menunjukkan bahwa perekonomian Hong Kong sedang dilanda tekanan yang signifikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank)