
Tertinggi Sejak Juni 2018, Harga Emas Kian Berkilau!
Muhamad Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
26 December 2018 17:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak penutupan perdagangan sesi kemarin (24/12/2018) hingga sore hari ini (26/12/2018) pukul 17:00 WIB, harga emas dunia di pasar berjangka COMEX kembali menanjak sebesar 0,31% ke US$ 1.275,8/ounce . Harga ini merupakan yang tertinggi sejak Juni 2018.
Kenaikan harga emas pada hari ini merupakan kelanjutan dari sesi perdagangan kemarin yang ditutup menguat sebesar 1,09% dari sesi sebelumnya di level US$ 1.271,8/ounce.
Sentimen terhadap dolar merupakan faktor yang utama dalam tren fluktuasi harga emas. Meskipun Dollar Index (DXY) hingga hari ini pukul 16:32 WIB menguat sebesar 0,13% ke posisi 9,67 namun bila dibandingan dari minggu lalu (19/12/2018), index yang menyatakan ukuran nilai dolar terhadap enam mata uang dunia ini sudah melemah sebesar 0,37%.
Meskipun pada Kamis (20/12/2018) Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) telah mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), investor melihat dolar tidak akan seperkasa tahun ini.
Pasalnya, The Fed juga menurunkan target suku bunganya dari 3,1% menjadi 2,8% yang berarti akan hanya ada kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun depan, berbeda sangat jauh dengan jumlah kenaikan suku bunga pada tahun ini yang mencapai 4 kali. Selain itu, The Fed juga memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%.
Selain itu, ada pula kekhawatiran resesi di perekonomian AS karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang bergerak anomali. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan yield obligasi pemerintah AS akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek.
Hingga hari ini pukul 17:00 WIB, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di 2,38% atau berselisih 28,6 bps dengan tenor 10 tahun. Sebagai pembanding, pada tahun lalu (26/12//2017), disaat perekonomian pada kondisi yang kondusif, selisih antara yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun mencapai 100 bps. Ini berarti perbedaan keduanya semakin menipis hingga saat ini, dan mungkin akan terjadi inverted.
Inverted yield berarti investor melihat resiko jangka pendek lebih besar daripada risiko jangka panjang. Diketahui bahwa Inverted yield merupakan indikator awal dari kondisi resesi suatu negara, yang biasanya terjadi setahun setelahnya.
Seakan masih belum cukup buruk, pada Senin (24/12/2018) pemerintah AS mengumumkan penutupan sebagian layanannya (goverment shutdown) hingga waktu yang belum ditentukan. New York Times mengabarkan bawha goverment shutdown ini membuat 800.000 pegawai negeri sipil AS belum digaji. Goverment shutdown ini terjadi lantaran anggaran pemerintahan Donald Trump terkait pembangunan tembok pada perbatasan Mexico belum juga disetujui senat.
Gonjang-ganjing politik AS ini membuat investor makin berpandangan negatif akan perekonomian negeri paman Sam tahun depan.
Serangkaian peristiwa tersebut membuat tekanan terhadap dolar yang membuat membuat investor mulai melirik instrumen lain untuk berinvestasi, salah satunya emas.
(dru) Next Article Emas Antam Kian Kinclong, Capai Level Tertinggi dalam Sejarah
Kenaikan harga emas pada hari ini merupakan kelanjutan dari sesi perdagangan kemarin yang ditutup menguat sebesar 1,09% dari sesi sebelumnya di level US$ 1.271,8/ounce.
![]() |
Meskipun pada Kamis (20/12/2018) Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) telah mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), investor melihat dolar tidak akan seperkasa tahun ini.
Pasalnya, The Fed juga menurunkan target suku bunganya dari 3,1% menjadi 2,8% yang berarti akan hanya ada kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun depan, berbeda sangat jauh dengan jumlah kenaikan suku bunga pada tahun ini yang mencapai 4 kali. Selain itu, The Fed juga memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%.
Selain itu, ada pula kekhawatiran resesi di perekonomian AS karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang bergerak anomali. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan yield obligasi pemerintah AS akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek.
![]() |
Hingga hari ini pukul 17:00 WIB, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di 2,38% atau berselisih 28,6 bps dengan tenor 10 tahun. Sebagai pembanding, pada tahun lalu (26/12//2017), disaat perekonomian pada kondisi yang kondusif, selisih antara yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun mencapai 100 bps. Ini berarti perbedaan keduanya semakin menipis hingga saat ini, dan mungkin akan terjadi inverted.
Inverted yield berarti investor melihat resiko jangka pendek lebih besar daripada risiko jangka panjang. Diketahui bahwa Inverted yield merupakan indikator awal dari kondisi resesi suatu negara, yang biasanya terjadi setahun setelahnya.
Seakan masih belum cukup buruk, pada Senin (24/12/2018) pemerintah AS mengumumkan penutupan sebagian layanannya (goverment shutdown) hingga waktu yang belum ditentukan. New York Times mengabarkan bawha goverment shutdown ini membuat 800.000 pegawai negeri sipil AS belum digaji. Goverment shutdown ini terjadi lantaran anggaran pemerintahan Donald Trump terkait pembangunan tembok pada perbatasan Mexico belum juga disetujui senat.
Gonjang-ganjing politik AS ini membuat investor makin berpandangan negatif akan perekonomian negeri paman Sam tahun depan.
Serangkaian peristiwa tersebut membuat tekanan terhadap dolar yang membuat membuat investor mulai melirik instrumen lain untuk berinvestasi, salah satunya emas.
(dru) Next Article Emas Antam Kian Kinclong, Capai Level Tertinggi dalam Sejarah
Most Popular