
SBN Receh 2019 Ditarget Rp 60 T, Amankah Likuiditas?
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
10 December 2018 18:56

Jakarta, CNBC Indonesia - There's always a first time for everything. Untuk calon investor pasar modal, tentu obligasi ritel pemerintah dapat menjadi langkah pertama ke pasar modal karena lebih terjangkau dibanding membeli reksa dana atau pun berinvestasi pada saham langsung.
Frase terjangkau di sini tidak hanya minimal pembelian yang dapat dimulai dari Rp 1 juta, tetapi juga risiko di mana penjaminnya tidak main-main, pemerintah.
Hal itu berarti risiko gagal bayar tentu akan terdiliusi hingga hampir nol berkat ditanggung pemerintah. Tahun ini, nilai penerbitan surat berharga negara (SBN) receh mencapai Rp 45,96 triliun, di mana terjadi penerbitan pada hampir semua seri di atas target awal.
Selain SBN retail, pemerintah juga menerbitkan SBN yang biasanya dilelang untuk investor institusi atau individu super kaya (super high net worth individual/SHNWI).
Nilai Penerbitan SBN Ritel 2018
Sumber: Diolah
Suksesnya SBN Receh 2018
Betapa tidak. Rezim suku bunga tinggi yang baru dimulai pada awal tahun ini turut mengerek kupon bunga obligasi atau kupon imbal hasil sukuk receh yang dapat dikantongi investor, dari hanya 5,9% per tahun menjadi 8,3% per tahun.
Bisa dibayangkan dari kupon 8,3% selama 2 tahun, investor akan menerima bersih 7,05% kupon (dikurangi pajak 15%) atau Rp 70.500 setiap Rp 1 juta investasi pada ST-002, yang penting investasinya tidak lebih dari Rp 3 miliar.
Bandingkan dengan suku bunga deposito, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) misalnya, yang menawarkan bunga 6% untuk dana di bawah Rp 2 miliar dan bunga 6,25% untuk dana di atas Rp 2 miliar.
Belum lagi ada pajak 20% yang dibebankan kepada nasabah, tentu bunga SBN ritel lebih menggiurkan.
Suksesnya penerbitan SBN ritel tahun ini juga tidak lepas dari peran teknologi informasi dan kelonggaran yang dimanfaatkan oleh Kementerian Keuangan.
Dalam penerbitan obligasi negara Republik Indonesia (ORI) dan sukuk ritel (SR/Sukri) yang lebih konvensional, pemerintah hanya menawarkan SBN kepada investor melalui mekanisme offline dan dibatasi perizinan melalui agen penjual yang memiliki sertifikat perantara pedagang efek (broker efek).
Keterbatasan itu juga disebabkan sifat dari efek yang ditawarkan, yaitu memiliki pasar sekunder.
Sifat memiliki pasar sekunder membuat pemerintah dan agen penjual harus dapat mentransaksikan SBN yang dapat dijual kembali oleh investor sewaktu-waktu.
Karena itu, pemerintah dan pelaku pasar akhirnya memiliki mekanisme SBN baru, yaitu efek ritel yang tidak dapat ditransaksikan atau tidak memiliki pasar sekunder, serta berkupon mengambang yang penurunannya terbatas.
Efek yang tidak dapat ditransaksikan (non-tradeable) tersebut otomatis tidak memiliki pasar sekunder sehingga memungkinkan agen distribusi efeknya tidak perlu memiliki izin broker.
Karena tidak memerlukan izin broker, maka hampir perusahaan apapun sebenarnya dapat menjadi mitra distribusi efek tersebut, asalkan memiliki visi dan misi yang sama dengan pemerintah yaitu mengembangkan penjualan SBN secara online, atau e-SBN.
Dengan mekanisme tersebut, maka Kemenkeu membuka diri bagi calon-calon mitra distribusi (midis) yang berniat mengembangkan penawaran dan transaksi secara lebih luas lagi dibanding sebelumnya.
Kedua efek baru yang berniat dijual online tersebut adalah SBR dan ST, yang dipasarkan oleh agen penjual yang berupa bank dan beberapa perusahaan yang menyediakan pembelian online.
Dan kesuksesan itu tidak lepas dari jasa perusahaan yang menyediakan layanan pembelian SBN online yaitu PT Bareksa Portal Investasi (Bareksa), PT Star Mercato Capitale (Tanamduit), PT Mitrausaha Indonesia Group (Modalku), dan PT Investree Radhika Jaya (Investree).
Kehadiran keempatnya yang hampir tidak pernah absen dalam penawaran tiap e-SBN, bersama dengan bank-bank yang melek investasi teknologi, telah memungkinkan pembelian instrumen utang pemerintah dilakukan borderless, tanpa halangan, bahkan tanpa pindah ruangan.
2019, SBN Receh Ditarget Rp 60 T
Berbekal kesuksesan SBN receh 2018, tahun depan, pemerintah berniat menerbitkan SBN recehnya senilai Rp 60 triliun, naik 30,43% dari tahun ini Rp 46 triliun, selain menjadwalkan lelang rutin bagi penerbitan SBN institusi Rp 828 triliun penerbitan kotor (gross) dan Rp 389 triliun penerbitan bersih (nett).
Penerbitan sejumlah Rp 60 triliun itu akan dilakukan melalui lima kali penawaran obligasi ritel konvensional dan lima kali obligasi ritel syariah.
Dari lima kali konvensional itu, empat kali berupa SBR serta sekali ORI, dan penawaran untuk segmen syariah terdiri dari empat kali ST dan sekali SR.
Namun, apa yang perlu dikhawatirkan bersama? Tentunya adalah potensi peralihan dari deposan atau bahkan simpanan berbiaya murah (tabungan dan giro/current accout, savings account/CASA) perbankan.
Patut diperhatikan bahwa pertumbuhan dana masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) perbankan sepanjang 2018 (hingga Oktober) dibukukan 5,27% menjadi Rp 5.646,95 triliun dari Rp 5.363,31 triliun, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Meskipun pertumbuhannya lebih tinggi, jumlah rekening nasabahnya pun hanya naik 10,85% menjadi 268,69 juta rekening dari tahun sebelumnya 242,39 juta rekening.
Jika dilihat dari kaca mata yang lebih tinggi, yaitu dari industri perbankan secara umum, perlu dilihat juga kondisi rasio DPK terhadap kredit (LDR) yang sudah tinggi yaitu 94,09%.
Angka 94,09% tersebut berarti sudah 94,08% dana publik yang disalurkan perbankan kepada korporasi/debitur, dan sisanya yang digunakan untuk mengelola likuiditas hanya 6% kurang, tepatnya tinggal 5,92%.
Posisi LDR itu menunjukkan bank perlu menambah likuiditas DPK-nya, sehingga membuat bank menengah-besar semakin agresif menghimpun dana publik hingga bank-bank kecil memiliki DPK yang mini, atau bahkan minus.
Bank dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun (BUKU I) memiliki DPK cukup gawat, yaitu minus hingga Mei.
Lalu Juni, DPK tumbuh tetapi terbatas sekali.
Anjloknya DPK lebih terlihat pada bank BUKU II, yang bermodal inti di bawah Rp 5 triliun.
Pada awal tahun, DPK BUKU II sempat tumbuh 0,47% setelah itu DPK bank BUKU II tumbuh minus.
Anjlok paling dalam di bulan April ketika DPK tumbuh minus 14,42%.
Perang Bunga dengan Saudara
Sedang ketatnya likuiditas perbankan yang ditunjukkan oleh DPK dan LDR tersebut tentunya dapat membuat bank tidak tinggal diam.
Perang bunga dapat lebih keras ke depannya, baik antar saudara tiri yang seindustri keuangan yaitu pasar modal, atau bahkan sesama saudara kandungnya yaitu bank.
Meskipun tidak sedikit bank yang terlibat dalam pemasaran SBN ritel dan memiliki target pribadi dalam tiap pemasarannya, tentunya ada setitik ketidakrelaan ketika dana nasabahnya akan dialihkan lebih banyak lagi ke instrumen pemerintah.
Memang, saat ini Bank Indonesia (BI) sudah mengambil tindakan dengan pelonggaran aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging dari 2% menjadi 3%.
Bank sentral juga sudah membolehkan seluruh surat utang yang dijadikan GWM sekunder bisa digadaikan ke BI untuk mendapatkan likuiditas.
Saat ini GWM sekunder bank di patok 4%.
Adapun LPS juga sudah menaikkan suku bunga penjaminan rupiah jadi 6,75% dan valas 2% di bank umum. Bunga penjaminan di BPR jadi 9,25%.
Namun, pekerjaan rumah masih ada yaitu, "Bank kecil harus lebih disiplin lagi dalam menyalurkan kreditnya," jelas Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (4/12/2018).
Supply dan Demand SBN Receh 2019
Yang menarik, setelah dihitung kembali, ternyata supply SBN receh Rp 60 triliun tersebut hanya berpotensi membutuhkan tambahan demand dari publik Rp 2,74 triliun saja, yang beberapa di antaranya dapat berasal dari peralihan dari instrumen perbankan.
Jumlah Rp 2,74 trilun itu mengingat tahun depan ada ORI-0013 dan SR-008 yang akan jatuh tempo Rp 51,19 triliun.
Jumlah itu ditambah kupon dari ORI-0013, ORI-0014, ORI-0015, SR-008, SR-009, SR-010, dan ST-002 senilai Rp 6,06 triliun sehingga jumlah totalnya Rp 57,25 triliun.
Jumlah tersebut merupakan angka permintaan (demand), yang potensi penyerap supply SBN receh tahun depan, jika investornya langsung mengalihkan investasinya itu ke instrumen SBN retail yang baru.
Sumber: DJPPR, diolah
Dengan demikian, ancaman keringnya likuiditas memang belum genting, tetapi tentu masih membayangi pasar keuangan Indonesia dan dapat diperparah jika terjadi hal-hal lain.
Hal-hal tersebut misalnya adanya tekanan global, makroekonomi domestik yang memburuk, inflasi yang tidak terkendali, dan kenaikan suku bunga yang tidak tertahan lagi, tentu akan menjadi pekerjaan rumah lain bagi pemerintah dan bank sentral.
Karena itu, ada baiknya masalah paling mendasar di industri keuangan yaitu cakupan industri keuangan (literasi dan inklusi) yang kurang merata haruslah disegerakan secepatnya, baik oleh regulator keuangan, regulator pasar modal dan bursa, serta sesama publik.
Saat ini, indeks inklusi industri keuangan Indonesia pertumbuhannya sangatlah lambat, yaitu hanya naik menjadi 67,82% pada 2016 dalam 3 tahun berjalan yaitu dari 59,74% pada 2013.
Sehingga, masih ada 32,18% orang Indonesia yang belum tersentuh oleh produk keuangan dalam negeri, atau juga dapat berarti banyak sekali dana domestik yang diparkir di luar negeri.
Jangan juga lupakan indeks inklusi pasar modal Indonesia yang hampir nol, yaitu 1,25% pada 2016, naik dari 0,11% pada 2013.
Sehingga, pertumbuhan di seluruh nadi industri keuangan merupakan hal yang mutlak, agar memiliki demand baru yang terus berkembang seiring dengan pertumbuhan pasar keuangan, perbankan, dan pasar modal yang sudah ada, guna mempersiapkan Indonesia menghadapi tantangan besar lain yang belum terlihat.
"Qui desiderat pacem, bellum praeparat (Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang)," ujar penulis perang Romawi, Flavius Vegetius Renatus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Pasar SUN RI dan Obligasi AS Beri Sinyal Resesi Menjauh
Frase terjangkau di sini tidak hanya minimal pembelian yang dapat dimulai dari Rp 1 juta, tetapi juga risiko di mana penjaminnya tidak main-main, pemerintah.
Hal itu berarti risiko gagal bayar tentu akan terdiliusi hingga hampir nol berkat ditanggung pemerintah. Tahun ini, nilai penerbitan surat berharga negara (SBN) receh mencapai Rp 45,96 triliun, di mana terjadi penerbitan pada hampir semua seri di atas target awal.
Nilai Penerbitan SBN Ritel 2018
Seri | Kupon | Tenor | Jatuh tempo | Nilai penerbitan (Rp triliun) |
SBR-003 | 6.80% | 2 tahun | 2020 | 1,920 |
SBR-004 | 8.05% | 2 tahun | 2020 | 7,320 |
ORI-015 | 8.25% | 3 tahun | 2021 | 23,378 |
SR-010 | 5.90% | 3 tahun | 2021 | 8,400 |
ST-002 | 8.30% | 2 tahun | 2020 | 4,945 |
Jumlah | 45,963 |
Suksesnya SBN Receh 2018
Betapa tidak. Rezim suku bunga tinggi yang baru dimulai pada awal tahun ini turut mengerek kupon bunga obligasi atau kupon imbal hasil sukuk receh yang dapat dikantongi investor, dari hanya 5,9% per tahun menjadi 8,3% per tahun.
Bisa dibayangkan dari kupon 8,3% selama 2 tahun, investor akan menerima bersih 7,05% kupon (dikurangi pajak 15%) atau Rp 70.500 setiap Rp 1 juta investasi pada ST-002, yang penting investasinya tidak lebih dari Rp 3 miliar.
Bandingkan dengan suku bunga deposito, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) misalnya, yang menawarkan bunga 6% untuk dana di bawah Rp 2 miliar dan bunga 6,25% untuk dana di atas Rp 2 miliar.
Belum lagi ada pajak 20% yang dibebankan kepada nasabah, tentu bunga SBN ritel lebih menggiurkan.
Suksesnya penerbitan SBN ritel tahun ini juga tidak lepas dari peran teknologi informasi dan kelonggaran yang dimanfaatkan oleh Kementerian Keuangan.
Dalam penerbitan obligasi negara Republik Indonesia (ORI) dan sukuk ritel (SR/Sukri) yang lebih konvensional, pemerintah hanya menawarkan SBN kepada investor melalui mekanisme offline dan dibatasi perizinan melalui agen penjual yang memiliki sertifikat perantara pedagang efek (broker efek).
Keterbatasan itu juga disebabkan sifat dari efek yang ditawarkan, yaitu memiliki pasar sekunder.
Sifat memiliki pasar sekunder membuat pemerintah dan agen penjual harus dapat mentransaksikan SBN yang dapat dijual kembali oleh investor sewaktu-waktu.
Karena itu, pemerintah dan pelaku pasar akhirnya memiliki mekanisme SBN baru, yaitu efek ritel yang tidak dapat ditransaksikan atau tidak memiliki pasar sekunder, serta berkupon mengambang yang penurunannya terbatas.
Efek yang tidak dapat ditransaksikan (non-tradeable) tersebut otomatis tidak memiliki pasar sekunder sehingga memungkinkan agen distribusi efeknya tidak perlu memiliki izin broker.
Karena tidak memerlukan izin broker, maka hampir perusahaan apapun sebenarnya dapat menjadi mitra distribusi efek tersebut, asalkan memiliki visi dan misi yang sama dengan pemerintah yaitu mengembangkan penjualan SBN secara online, atau e-SBN.
Dengan mekanisme tersebut, maka Kemenkeu membuka diri bagi calon-calon mitra distribusi (midis) yang berniat mengembangkan penawaran dan transaksi secara lebih luas lagi dibanding sebelumnya.
Kedua efek baru yang berniat dijual online tersebut adalah SBR dan ST, yang dipasarkan oleh agen penjual yang berupa bank dan beberapa perusahaan yang menyediakan pembelian online.
Dan kesuksesan itu tidak lepas dari jasa perusahaan yang menyediakan layanan pembelian SBN online yaitu PT Bareksa Portal Investasi (Bareksa), PT Star Mercato Capitale (Tanamduit), PT Mitrausaha Indonesia Group (Modalku), dan PT Investree Radhika Jaya (Investree).
Kehadiran keempatnya yang hampir tidak pernah absen dalam penawaran tiap e-SBN, bersama dengan bank-bank yang melek investasi teknologi, telah memungkinkan pembelian instrumen utang pemerintah dilakukan borderless, tanpa halangan, bahkan tanpa pindah ruangan.
2019, SBN Receh Ditarget Rp 60 T
Berbekal kesuksesan SBN receh 2018, tahun depan, pemerintah berniat menerbitkan SBN recehnya senilai Rp 60 triliun, naik 30,43% dari tahun ini Rp 46 triliun, selain menjadwalkan lelang rutin bagi penerbitan SBN institusi Rp 828 triliun penerbitan kotor (gross) dan Rp 389 triliun penerbitan bersih (nett).
Penerbitan sejumlah Rp 60 triliun itu akan dilakukan melalui lima kali penawaran obligasi ritel konvensional dan lima kali obligasi ritel syariah.
Dari lima kali konvensional itu, empat kali berupa SBR serta sekali ORI, dan penawaran untuk segmen syariah terdiri dari empat kali ST dan sekali SR.
Namun, apa yang perlu dikhawatirkan bersama? Tentunya adalah potensi peralihan dari deposan atau bahkan simpanan berbiaya murah (tabungan dan giro/current accout, savings account/CASA) perbankan.
Patut diperhatikan bahwa pertumbuhan dana masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) perbankan sepanjang 2018 (hingga Oktober) dibukukan 5,27% menjadi Rp 5.646,95 triliun dari Rp 5.363,31 triliun, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Meskipun pertumbuhannya lebih tinggi, jumlah rekening nasabahnya pun hanya naik 10,85% menjadi 268,69 juta rekening dari tahun sebelumnya 242,39 juta rekening.
Jika dilihat dari kaca mata yang lebih tinggi, yaitu dari industri perbankan secara umum, perlu dilihat juga kondisi rasio DPK terhadap kredit (LDR) yang sudah tinggi yaitu 94,09%.
Angka 94,09% tersebut berarti sudah 94,08% dana publik yang disalurkan perbankan kepada korporasi/debitur, dan sisanya yang digunakan untuk mengelola likuiditas hanya 6% kurang, tepatnya tinggal 5,92%.
Posisi LDR itu menunjukkan bank perlu menambah likuiditas DPK-nya, sehingga membuat bank menengah-besar semakin agresif menghimpun dana publik hingga bank-bank kecil memiliki DPK yang mini, atau bahkan minus.
Bank dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun (BUKU I) memiliki DPK cukup gawat, yaitu minus hingga Mei.
Lalu Juni, DPK tumbuh tetapi terbatas sekali.
Anjloknya DPK lebih terlihat pada bank BUKU II, yang bermodal inti di bawah Rp 5 triliun.
Pada awal tahun, DPK BUKU II sempat tumbuh 0,47% setelah itu DPK bank BUKU II tumbuh minus.
Anjlok paling dalam di bulan April ketika DPK tumbuh minus 14,42%.
Perang Bunga dengan Saudara
Sedang ketatnya likuiditas perbankan yang ditunjukkan oleh DPK dan LDR tersebut tentunya dapat membuat bank tidak tinggal diam.
Perang bunga dapat lebih keras ke depannya, baik antar saudara tiri yang seindustri keuangan yaitu pasar modal, atau bahkan sesama saudara kandungnya yaitu bank.
Meskipun tidak sedikit bank yang terlibat dalam pemasaran SBN ritel dan memiliki target pribadi dalam tiap pemasarannya, tentunya ada setitik ketidakrelaan ketika dana nasabahnya akan dialihkan lebih banyak lagi ke instrumen pemerintah.
Memang, saat ini Bank Indonesia (BI) sudah mengambil tindakan dengan pelonggaran aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging dari 2% menjadi 3%.
Bank sentral juga sudah membolehkan seluruh surat utang yang dijadikan GWM sekunder bisa digadaikan ke BI untuk mendapatkan likuiditas.
Saat ini GWM sekunder bank di patok 4%.
Adapun LPS juga sudah menaikkan suku bunga penjaminan rupiah jadi 6,75% dan valas 2% di bank umum. Bunga penjaminan di BPR jadi 9,25%.
Namun, pekerjaan rumah masih ada yaitu, "Bank kecil harus lebih disiplin lagi dalam menyalurkan kreditnya," jelas Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (4/12/2018).
Supply dan Demand SBN Receh 2019
Yang menarik, setelah dihitung kembali, ternyata supply SBN receh Rp 60 triliun tersebut hanya berpotensi membutuhkan tambahan demand dari publik Rp 2,74 triliun saja, yang beberapa di antaranya dapat berasal dari peralihan dari instrumen perbankan.
Jumlah Rp 2,74 trilun itu mengingat tahun depan ada ORI-0013 dan SR-008 yang akan jatuh tempo Rp 51,19 triliun.
Jumlah itu ditambah kupon dari ORI-0013, ORI-0014, ORI-0015, SR-008, SR-009, SR-010, dan ST-002 senilai Rp 6,06 triliun sehingga jumlah totalnya Rp 57,25 triliun.
Jumlah tersebut merupakan angka permintaan (demand), yang potensi penyerap supply SBN receh tahun depan, jika investornya langsung mengalihkan investasinya itu ke instrumen SBN retail yang baru.
Seri SBN Ritel | Jatuh tempo | Pembayaran kupon | Kupon | Nilai beredar (Rp bn) | Jatuh tempo (Rp bn) | Kupon (Rp bn) |
ORI013 | 15-Oct-19 | 15-Dec-18 | 6.60% | 19,691.46 | 19,691.46 | 1,083.03 |
ORI014 | 15-Oct-20 | 15-Dec-18 | 5.85% | 8,948.66 | 523.50 | |
ORI015 | 15-Oct-21 | 15-Dec-18 | 8.25% | 23,378.27 | 1,928.71 | |
SR-008 | 10-Mar-19 | 10-Dec-18 | 8.30% | 31,500.00 | 31,500.00 | 653.63 |
SR-009 | 10-Mar-20 | 10-Dec-18 | 6.90% | 14,037.31 | 968.57 | |
SR-010 | 10-Mar-21 | 10-Dec-18 | 5.90% | 8,436.57 | 497.76 | |
ST002 | 10-Nov-20 | 10-Jan-19 | 8.30% | 4,945.68 | 410.49 | |
Jumlah | 51,191.46 | 6,065.68 |
Dengan demikian, ancaman keringnya likuiditas memang belum genting, tetapi tentu masih membayangi pasar keuangan Indonesia dan dapat diperparah jika terjadi hal-hal lain.
Hal-hal tersebut misalnya adanya tekanan global, makroekonomi domestik yang memburuk, inflasi yang tidak terkendali, dan kenaikan suku bunga yang tidak tertahan lagi, tentu akan menjadi pekerjaan rumah lain bagi pemerintah dan bank sentral.
Karena itu, ada baiknya masalah paling mendasar di industri keuangan yaitu cakupan industri keuangan (literasi dan inklusi) yang kurang merata haruslah disegerakan secepatnya, baik oleh regulator keuangan, regulator pasar modal dan bursa, serta sesama publik.
Saat ini, indeks inklusi industri keuangan Indonesia pertumbuhannya sangatlah lambat, yaitu hanya naik menjadi 67,82% pada 2016 dalam 3 tahun berjalan yaitu dari 59,74% pada 2013.
Sehingga, masih ada 32,18% orang Indonesia yang belum tersentuh oleh produk keuangan dalam negeri, atau juga dapat berarti banyak sekali dana domestik yang diparkir di luar negeri.
Jangan juga lupakan indeks inklusi pasar modal Indonesia yang hampir nol, yaitu 1,25% pada 2016, naik dari 0,11% pada 2013.
Sehingga, pertumbuhan di seluruh nadi industri keuangan merupakan hal yang mutlak, agar memiliki demand baru yang terus berkembang seiring dengan pertumbuhan pasar keuangan, perbankan, dan pasar modal yang sudah ada, guna mempersiapkan Indonesia menghadapi tantangan besar lain yang belum terlihat.
"Qui desiderat pacem, bellum praeparat (Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang)," ujar penulis perang Romawi, Flavius Vegetius Renatus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Pasar SUN RI dan Obligasi AS Beri Sinyal Resesi Menjauh
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular