Jakarta, CNBC Indonesia - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah menghadapi masalah. Asuransi jiwa pelat merah ini terpaksa menunda pembayaran kewajiban polis jatuh tempo.
Problem kesulitan likuiditas menjadi alasan keterlambatan pembayaran yang disampaikan oleh perusahaan asuransi plat merah tersebut. Keterlambatan pembayaran polis jatuh tempo terdapat di produk bancassurance. Nilainya mencapai Rp 802 miliar.
Ada tujuh bank yang memasarkan produk bancassurance yang diketahui bernama JS Proteksi Plan Jiwasraya. Yakni Bank Tabungan Negara (BTN), Standard Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ, Bank QNB Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Kementerian BUMN di bawah kendali Rini Soemarno memang telah mencium ada sebuah ketidakberesan setelah mendapatkan laporan dari Direktur Utama Jiwasraya Asmawi Syam yang baru dilantik Mei 2018 lalu.
Dugaannya, terjadi aset liability mismatch (ketidakseimbangan aset dengan kewajiban) karena penempatan investasi. Kementerian telah meminta audit investigasi kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hal tersebut juga berdasarkan fakta jika laporan keuangan unaudited Jiwasraya non konsolidasi tahun 2017 mencatat laba bersih senilai Rp 2,4 triliun. Namun setelah dilakukan audit ulang, ternyata laba bersih direvisi sangat signifikan menjadi Rp 360 miliar.
Jiwasraya pernah diterpa masalah yang tidak mudah. Sekitar bulan Agustus 2014, Menteri BUMN Dahlan Iskan kala itu menuliskan cerita yang sedikit mengejutkan.
Berikut petikannya seperti dituliskan Dahlan Iskan kepada detikFinance, 14 Agustus 2014:
(NEXT)
Berikut tulisan Dahlan Iskan kepada detikFinance, 14 Agustus 2014 yang menceritakan hampir bangkrutnya Jiwasraya :
Merdeka! Makna kata itu menjadi sangat mendalam khususnya bagi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Tahun ini BUMN itu benar-benar merdeka. Terutama merdeka dari beban lamanya yang membuat perusahaan asuransi ini praktis bangkrut: Rp 6,7 triliun. Dengan kemerdekaannya itu Jiwasraya tahun ini sudah kembali menjadi perusahaan asuransi yang besar, sehat, dan kuat. Menjadi perusahaan asuransi jiwa terbesar di Indonesia atau nomor empat terbesar untuk keseluruhan bisnis asuransi.Angka Rp 6,7 triliun itu tentu mengingatkan kita pada besarnya persoalan yang menimpa Bank Century. Yang penyelesaiannya begitu menghebohkan. Yang kasusnya melebar sampai ke persoalan hukum dan politik. Yang memakan energi begitu besar. Yang ujungnya pun kita belum tahu di mana dan ke mana.Saya bersyukur bahwa direksi PT Asuransi Jiwasraya mampu menyelesaikan sendiri beban itu. Bahkan dalam waktu yang amat singkat. Tanpa heboh-heboh sedikit pun. Inilah bentuk penyelesaian masalah besar dengan pemberitaan yang sangat kecil. Bahkan tanpa pemberitaan media sama sekali."Semula saya pikir persoalan besar ini baru bisa diselesaikan dalam waktu 17 tahun," ujar Hendrisman Rahim, Direktur Utama PT Jiwasraya. "Ternyata kami bisa menyelesaikannya," ujar alumni FMIPA jurusan Matematika Universitas Indonesia, dan meraih master di bidang asuransi dari Ball State University Indiana, USA, itu. Putra asli Palembang kelahiran tahun 1955 ini bekerja amat keras. Hendrisman memang orang "asuransi murni". Setelah lulus UI dia mendalami ilmu aktuaria di ITB. Masternya pun di bidang actuarial science. Tim direksi Jiwasraya juga sangat tabah. Direktur keuangannya, Hary Prasetyo, sangat muda, cerdas, dan cermat. Alumni Oregon dan Pittsburg University kelahiran Cimahi tahun 1970 ini seorang pekerja yang tekun. Karirnya terus di bidang keuangan.Lima tahun lalu, Jiwasraya sebenarnya sudah harus dinyatakan bangkrut. Kekayaannya jauh lebih kecil dari kewajibannya kepada para pemegang polis. Selisihnya mencapai Rp 6,7 triliun. Jiwasraya sangat menderita. Bahkan secara teknis mestinya sudah bangkrut. Ini bermula dari krisis moneter tahun 1998. Yang membuat dunia perbankan dan keuangan, terutama dunia asuransi, kelimpungan. Semua bank mengalami hal yang sama. Hanya saja bank mendapat pertolongan pemerintah: di-bail out habis-habisan. Sedang asuransi tidak.Persoalan seperti yang dialami Jiwasraya hanya bisa diselesaikan dengan dua cara: diberi tambahan modal oleh pemiliknya, atau diberi fasilitas seperti zero coupon bond. Intinya, pemerintah harus menyuntikkan dana. Tapi untuk diberi penambahan modal pasti tidak. Kemampuan keuangan negara terbatas. Apalagi saya memang tidak mau ada Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menyehatkan BUMN. Program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lebih penting dan layak didanai dibanding menambah modal BUMN.Menteri Keuangan sebenarnya sudah memproses cara berikutnya: memberi fasilitas zero coupon bond. Tapi tiba-tiba kasus Century meledak. Program itu dibatalkan. Direksi Jiwasraya pun pusing. Harus cari jalan keluar sendiri. Padahal perusahaan harus tetap berjalan. Nasib hampir 10.000 agennya harus dipikir. Demikian juga lebih dari 1.200 karyawannya. Sejarahnya pun begitu panjang: 30 Desember nanti Jiwasraya berumur 155 tahun. Masak harus meninggal dunia? Dia perusahaan asuransi tertua di republik ini. Bahkan jauh lebih tua dari republik kita sendiri.Saya sungguh-sungguh salut kepada pak Hendrisman dan tim direksi Jiwasraya. Tidak putus asa. Pantang menyerah. Semangatnya tidak kendor. Direksi akhirnya menemukan jalan keluar yang cerdas dan tuntas. Mereka memisahkan beban persoalan lamanya itu dengan kinerja operasionalnya. Mereka harus kerja keras di dua sisi sekaligus: mencari jalan keluar atas beban Rp 6,7 triliun, dan kinerja operasionalnya harus terus membaik.Kinerja yang terus membaik itulah yang utama. Dari hasil kinerja yang baik itulah timbul kepercayaan dari semua pihak: pemegang polis, pemegang saham, dunia reasuransi, OJK, Ditjen Pajak, dan seluruh pihak terkait. Hasil kerja keras itulah yang membuat siapa pun menaruh kepercayaan pada Jiwasraya."Kepercayaan" itulah yang akhirnya "dijual" atau "direasuransikan" kepada lembaga-lembaga asuransi internasional.Ditjen Pajak pun percaya. Dengan kinerja yang terus membaik pajak yang akan dibayar Jiwasraya pun bisa terus membesar. Daripada Jiwasraya dibiarkan bangkrut yang tentu tidak akan bisa membayar pajak sama sekali. Maka Ditjen Pajak pun setuju Jiwasraya melakukan revaluasi aset dengan fasilitas khusus. OJK juga terus membantu upaya penyehatan Jiwasraya itu. Gooool! Beres. Dalam waktu singkat Jiwasraya sudah akan bisa membayar pajak melebihi fasilitas yang diberikan pada proses revaluasi itu.Terima kasih Pak Hendrisman. Terima kasih Pak Hary Prasetyo. Terima kasih direksi Jiwasraya. Terima kasih OJK. Terima kasih Ditjen Pajak.Jiwasraya tahun ini benar-benar merasakan kemerdekaan.Yang ujungnya pun kita belum tahu di mana dan ke mana.Saya bersyukur bahwa direksi PT Asuransi Jiwasraya mampu menyelesaikan sendiri beban itu. Bahkan dalam waktu yang amat singkat. Tanpa heboh-heboh sedikit pun. Inilah bentuk penyelesaian masalah besar dengan pemberitaan yang sangat kecil. Bahkan tanpa pemberitaan media sama sekali."Semula saya pikir persoalan besar ini baru bisa diselesaikan dalam waktu 17 tahun," ujar Hendrisman Rahim, Direktur Utama PT Jiwasraya. "Ternyata kami bisa menyelesaikannya," ujar alumni FMIPA jurusan Matematika Universitas Indonesia, dan meraih master di bidang asuransi dari Ball State University Indiana, USA, itu. Putra asli Palembang kelahiran tahun 1955 ini bekerja amat keras. Hendrisman memang orang "asuransi murni". Setelah lulus UI dia mendalami ilmu aktuaria di ITB. Masternya pun di bidang actuarial science. Tim direksi Jiwasraya juga sangat tabah. Direktur keuangannya, Hary Prasetyo, sangat muda, cerdas, dan cermat. Alumni Oregon dan Pittsburg University kelahiran Cimahi tahun 1970 ini seorang pekerja yang tekun. Karirnya terus di bidang keuangan.Lima tahun lalu, Jiwasraya sebenarnya sudah harus dinyatakan bangkrut. Kekayaannya jauh lebih kecil dari kewajibannya kepada para pemegang polis. Selisihnya mencapai Rp 6,7 triliun. Jiwasraya sangat menderita. Bahkan secara teknis mestinya sudah bangkrut. Ini bermula dari krisis moneter tahun 1998. Yang membuat dunia perbankan dan keuangan, terutama dunia asuransi, kelimpungan. Semua bank mengalami hal yang sama. Hanya saja bank mendapat pertolongan pemerintah: di-bail out habis-habisan. Sedang asuransi tidak.Persoalan seperti yang dialami Jiwasraya hanya bisa diselesaikan dengan dua cara: diberi tambahan modal oleh pemiliknya, atau diberi fasilitas seperti zero coupon bond. Intinya, pemerintah harus menyuntikkan dana. Tapi untuk diberi penambahan modal pasti tidak. Kemampuan keuangan negara terbatas. Apalagi saya memang tidak mau ada Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menyehatkan BUMN. Program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lebih penting dan layak didanai dibanding menambah modal BUMN.Menteri Keuangan sebenarnya sudah memproses cara berikutnya: memberi fasilitas zero coupon bond. Tapi tiba-tiba kasus Century meledak. Program itu dibatalkan. Direksi Jiwasraya pun pusing. Harus cari jalan keluar sendiri. Padahal perusahaan harus tetap berjalan. Nasib hampir 10.000 agennya harus dipikir. Demikian juga lebih dari 1.200 karyawannya. Sejarahnya pun begitu panjang: 30 Desember nanti Jiwasraya berumur 155 tahun. Masak harus meninggal dunia? Dia perusahaan asuransi tertua di republik ini. Bahkan jauh lebih tua dari republik kita sendiri.Saya sungguh-sungguh salut kepada pak Hendrisman dan tim direksi Jiwasraya. Tidak putus asa. Pantang menyerah. Semangatnya tidak kendor. Direksi akhirnya menemukan jalan keluar yang cerdas dan tuntas. Mereka memisahkan beban persoalan lamanya itu dengan kinerja operasionalnya. Mereka harus kerja keras di dua sisi sekaligus: mencari jalan keluar atas beban Rp 6,7 triliun, dan kinerja operasionalnya harus terus membaik.Kinerja yang terus membaik itulah yang utama. Dari hasil kinerja yang baik itulah timbul kepercayaan dari semua pihak: pemegang polis, pemegang saham, dunia reasuransi, OJK, Ditjen Pajak, dan seluruh pihak terkait. Hasil kerja keras itulah yang membuat siapa pun menaruh kepercayaan pada Jiwasraya."Kepercayaan" itulah yang akhirnya "dijual" atau "direasuransikan" kepada lembaga-lembaga asuransi internasional.Ditjen Pajak pun percaya. Dengan kinerja yang terus membaik pajak yang akan dibayar Jiwasraya pun bisa terus membesar. Daripada Jiwasraya dibiarkan bangkrut yang tentu tidak akan bisa membayar pajak sama sekali. Maka Ditjen Pajak pun setuju Jiwasraya melakukan revaluasi aset dengan fasilitas khusus. OJK juga terus membantu upaya penyehatan Jiwasraya itu. Gooool! Beres. Dalam waktu singkat Jiwasraya sudah akan bisa membayar pajak melebihi fasilitas yang diberikan pada proses revaluasi itu.Terima kasih Pak Hendrisman. Terima kasih Pak Hary Prasetyo. Terima kasih direksi Jiwasraya. Terima kasih OJK. Terima kasih Ditjen Pajak.Jiwasraya tahun ini benar-benar merasakan kemerdekaan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator dan pengawas industri asuransi buka suara soal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang terlambat membayarkan polis yang jatuh tempo bernilai Rp 802 miliar.
Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non-bank OJK Riswinandi mengatakan tekanan likuiditas yang dihadapi Jiwasraya sebegai sesuatu hal yang tak perlu dikhawatirkan.
"Itu perusahaan bukan perusahaan baru, jadi biasa kayak gitu. Maksudnya, kalau mereka ada keterlambatan itu kan yang penting manajemen memahami apa yang harus dilakukan," ujar Riswinandi kepada CNBC Indonesia.
Riswinandi menyesalkan bocornya surat internal pemberitahuan keterlambatan pembayaran polis jatuh tempo Jiwasraya yang akhirnya viral di media sosial. Hal itu membuat pihak-pihak yang tidak mengerti duduk persoalannya bertanya-tanya.
"Padahal ini biasa dan ada hitungan kompensasi yang diusulkan juga. Jadi udah, kita tunggu deh. Mereka akan selesaikan, yang penting bantuannya menenangkan nasabah," jelas Riswinandi.
Riswinandi kembali menegaskan, masalah Jiwasraya tidak perlu dibesar-besarkan. Hal yang terjadi saat ini merupakan hal yang biasa dalam korporasi. Ada saatnya mungkin kondisi perusahaan bagus, ada kalanya terjadi mismatch.
"Tapi yang penting buat kita di OJK sebagai regulator bahwa mereka memahami apa yang harus mereka lakukan. itu aja. kalau gak tahu, itu yang bahaya kan, tapi kalau ini manajemennya tahu apa yang harus dilakukan," terang Riswinandi.
Sebelumnya, manajemen Jiwasraya menyatakan sejak tanggal 1 Oktober 2018 menunda pembayaran polis asuransi Rp 802 miliar. Produk yang bermasalah ini merupakan unitlink atau asuransi berbalut investasi yang diberi nama saving plan. Bila melihat tahun 2017, kinerja keuangan Jiwasraya memang tertekan. Hal ini terlihat dari laba bersih perusahaan yang anjlok 98,46% menjadi Rp 328,43 miliar. Tahun sebelumnya Jiwasraya mencatatkan laba bersih Rp 2,14 triliun.
Penurunan kinerjanya Pendapatan usaha tak tumbuh maksimal sementara jumlah beban terus meningkat. Jumlah pendapatan naik 19,03% menjadi Rp 25,12 triliun dari Rp 21,1 triliun.
Sementara jumlah beban naik 27,88% dari Rp 19,33 triiliun menjadi Rp 24,72 triliun. Salah satu penyebab kenaikan jumlah beban adalah pembayaran klaim dan manfaat yang naik lebih dari dua kali lipat, dari Rp 6,86 triliun menjadi Rp 15,67 triliun
Indikator berikutnya yaitu utang. Pada 2017 tercatat, Jiwasraya memiliki utang mencapai Rp 513,81 miliar atau meningkat sekitar 30% dibandingkan 2016 yang hanya Rp 382 miliar.
Kenaikan utang salah satunya disebabkan meningkatnya utang klaim pada periode 2017, dimana pada tahun tersebut utang klaim mencapai Rp 125,68 miliar dari sebelumnya Rp 58,89 miliar pada 2016. Kondisi ini berdampak kepada peningkatan utang perusahaan keseluruhan yang ikut membengkak.
Terakhir, rasio solvabilitas. Indikator ini penting untuk menilai kondisi keuangan suatu perusahaan asuransi sehat atau tidak. Berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perusahaan asuransi harus menjaga rasio solvabilitasnya di atas 120%.
Pada 2017, tingkat solvabilitas Jiwasraya sebesar 123,16%. Artinya Jiwasraya masih di atas ketentuan. Namun rasio solvabilitas pada 2017 turun dalam. Pasalnya, 2016 rasio solvabilitas Jiwasraya di kisaran 200,15%.
Beberapa gambaran ini, menjadi bukti jika kinerja perusahaan BUMN sedang mengalami penurunan. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi menyeluruh agar kinerja dapat ditingkatkan kembali, sehingga terhindar dari risiko gagal bayar kewajiban.