Surat Utang Tak Laku, Sri Mulyani Siapkan Strategi Baru?

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
11 May 2018 11:53
Akan ada konferensi pers kembali. Apakah ada strategi baru atau hanya meyakinkan seluruh stakeholders?
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tak terlalu mengkhawatirkan sepinya minat investor terhadap surat utang negara (SUN) dalam beberapa kali kesempatan lelang.

Ia menegaskan tidak akan mengubah jadwal penerbitan SUN meskipun imbal hasil (yield) obligasi negara saat ini naik cukup signfikan. Meski demikian, pemerintah akan mengambil langkah tertentu menyikapi hal itu.

"Kami sudah punya jadwal auction, tapi kami akan terus melihat kondisi market secara pragmatis saja," kata Sri Mulyani kemarin.

Pemerintah menurut Sri Mulyani akan jauh lebih berhati-hati sebelum menerbitkan obligasi negara. Apalagi, sejauh ini strategi pembiayaan pemerintah sudah terpenuhi melalui penerbitan global bond, maupun pembiayaan yang berasal dari institusi multilateral.

"Kami akan terus perhatikan secara detail, mereka yang menjadi bond holder jangka panjang, dan mereka yang akan mencoba mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek di situasi sekarang ini," jelasnya.

"Kami memiliki opsi apabila market dalam situasi yang tidak rasional. Tidak rasional dalam arti mereka minta rate yang sangat ekstrim tinggi, yang tidak bisa dijustifikasi dari fundamental plus appetite risk yang tidak kita akomodasi," tegasnya.

Namun hari ini, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kembali bertemu setelah 30 April 2018 kemarin melakukan konferensi pers. Adapun hari ini pemerintah juga melangsungkan konferensi pers diskusi soal Perkembangan Pasar Surat Berharga Negara dan Pengaruh Ekonomi Global yang rencananya akan dihadiri oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan dan Ketua Dewan Komisaris Lembaga Penjamin Simpanan. Apakah ada strategi baru atau hanya meyakinkan seluruh stakeholders?

Hal ini dilakukan di tengah risiko kredit Indonesia yang juga meningkat cukup pesat dalam beberapa hari terakhir. Seiring dengan nilai tukar rupiah yang terus melorot per dolar AS ke Rp 14.000.
Kedua hal tersebut semakin membebani pasar keuangan domestik. Pada Rabu (9/5/2018), Credit Default Swap (CDS) pemerintah Indonesia tenor 5 tahun berada di 129,19 basis poin (bps). Ini merupakan posisi tertinggi sejak Mei 2017.

Selama 2018, CDS Indonesia meningkat cukup drastis. Pada awal tahun, CDS baru di 86,7 basis poin.

CDS adalah semacam premi risiko yang dikenakan saat penerbitan instrumen utang. Semakin tinggi CDS, pada dasarnya semakin besar kemungkinan untuk mengalami gagal bayar alias default. Kenaikan CDS mencerminkan ada kekhawatiran pasar terkait fundamental ekonomi sebuah negara atau kondisi fiskalnya.

Dalam konteks Indonesia, sepertinya kecemasan terbesar pelaku pasar saat ini ada di depresiasi nilai tukar rupiah. Kini, dolar AS sudah menembus level Rp 14.000 dan bahkan mendekati Rp 14.100.

Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 3,4% di hadapan dolar AS. Rubel Rusia melemah lebih dalam yaitu 8,8% sehingga wajar CDS mereka lebih tinggi.

Ketika rupiah melemah, maka memegang aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Ini yang membuat investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia.

Di pasar saham, nilai jual bersih asing selama 2018 mencapai Rp 36,85 triliun. Sementara di pasar obligasi, investor asing memang masih membukukan beli bersih Rp 8,28 triliun. Namun sejak pertengahan April, arus keluar investor asing di obligasi negara sudah tidak terbendung.

(dru) Next Article 'Mantra' Investasi 2R dan 2L dari DJPPR, Apa Itu?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular