Babak Baru Sidang 'Kartel' Bunga Pinjol, Saksi Ahli Ungkap Hal Ini

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
Jumat, 28/11/2025 14:15 WIB
Foto: infografis/Utang Pinjol Menggunung Gen Z & Milenial Paling Demen Ngutang/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Polemik 'Kartel' bunga Pinjaman Online (Pinjol) yang menyeret Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memasuki babak baru. Kini, prosesnya telah masuk Sidang Pemeriksaan Lanjutan Perkara.

Sidang yang dilaksanakan Senin, (24/11/2025) tersebut menghadirkan Saksi Ahli dari pakar hukum Ningrum Natasya Sirait. Sidang ini membahas dugaan Pelanggaran Pasal 5 UU No. 5/1999 Layanan Fintech P2P Lending.

Dalam kesaksiannya di persidangan, Ningrum menilai, jika dilihat dari perspektif hukum persaingan, kesepakatan yang diduga terjadi antara 96-97 pelaku usaha untuk melakukan perjanjian anti persaingan sulit terjadi. Hal ini mengingat banyaknya pihak terlibat akan sulit untuk membuat keputusan.


"Pelaku usaha pasti akan menimbang risiko dan keuntungan dari melakukan tindakan anti-kompetitif. Kita sudah punya contoh, seperti pada kasus minyak goreng sebelumnya saja hanya ada 18 pelaku usaha dari 200 yang terbukti (concerted). Jadi membayangkan 97 pelaku usaha bisa berkomitmen bersama? sesama pesaing pasti ingin lebih superior, lebih baik dari yang lain," jelas Ningrum dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, (28/11/2025).

Ningrum pun meluruskan, sebutan "kartel" tidak selalu berkonotasi negatif. Misalnya, terdapat istilah public cartel seperti OPEC, dimana pemerintah yang berperan aktif demi kepentingan ekspor minyak.

"Yang dilarang oleh UU adalah kartel yang muncul dari keinginan pelaku usaha yang bersaing secara horizontal untuk menetapkan harga atau stabilisasi pasar untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Jadi harus lihat aktornya siapa dan apakah ada keuntungan yang didapatkan," terangnya.

Sebelumnya, AFPI membantah tuduhan praktik kartel bunga pinjaman daring (pindar) yang dilayangkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Mengingat, gugatan tersebut sudah masuk ke persidangan.

Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI, Kuseryansyah menyatakan, pihaknya tentu menghormati proses persidangan yang sedang berlangsung. Untuk itu, AFPI senantiasa melihat perkembangan persidangan tersebut secara intensif.

"Menggarisbawahi posisi itu dapat kami jelaskan juga yang menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi itu dilakukan dalam konteks kita melindungi konsumen dari ancaman pinjol ilegal yang menawarkan bunga mencekik dan predatory lending waktu itu," ujar dia dalam media briefing di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Dia melanjutkan, dengan adanya pedoman perilaku, maka penetapan bunga pinjaman ada pada bagian pencegahan pinjaman berlebihan.

Di sisi lain, KPPU menemukan bahwa Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab.

Pedoman itu dinilai mengatur jumlah total bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya tidak melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari. Pada tahun 2021, besaran tersebut diatur tidak melebihi 0,4 persen per hari.

Dari informasi yang dikumpulkan, termasuk dari 5 penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan, KPPU telah mengantongi satu alat bukti pelanggaran UU anti-monopoli.


(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Wajib Tau! Dirut Bank Ungkap Alasan Utama Pengajuan KPR Ditolak