Terkuak, Ini Alasan Kenapa Tuyul & Babi Ngepet Ogah Curi Uang Bank

Redaksi, CNBC Indonesia
Sabtu, 01/11/2025 10:45 WIB
Foto: Ilustrasi tuyul. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mitos tentang tuyul dan babi ngepet sudah lama melekat dalam budaya masyarakat Indonesia. Kedua makhluk ini dikenal sebagai "alat pesugihan" yang bisa membantu seseorang mendapatkan kekayaan dengan cara gaib.

Namun, pertanyaan klasik selalu muncul, kenapa tuyul dan babi ngepet tidak pernah mencuri uang di bank? Jawabannya ternyata tidak sesederhana karena uang di bank dijaga satpam. Ada penjelasan sosial, ekonomi, dan kultural di balik legenda ini.


Dalam masyarakat tradisional, kehadiran tuyul dan babi ngepet mencerminkan kecemburuan sosial yang muncul ketika terjadi ketimpangan ekonomi. Di masa lalu, masyarakat desa melihat sebagian orang tiba-tiba kaya tanpa proses yang terlihat, bukan karena panen melimpah atau kerja keras di sawah. Maka, muncullah dugaan bahwa kekayaan itu berasal dari bantuan makhluk gaib.

Fenomena ini semakin menguat setelah liberalisasi ekonomi pada 1870, yang dijelaskan oleh Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012). Saat itu, banyak lahan petani kecil diambil alih untuk dijadikan perkebunan besar dan pabrik gula, membuat rakyat kecil kian miskin.

Sementara itu, para pedagang dan pengusaha, baik pribumi maupun Tionghoa mendadak makmur karena sistem ekonomi baru ini. Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Sebab, mereka tak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunan.

Kenaikan pesat kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu. Para petani bingung dari mana asal-usul kekayaan mereka.

Bagi mereka, proses pemupukan kekayaan harus dibuktikan dan terlihat, seperti misalkan melihat kerja kerasnya atau proses saat bertani. Sayang, mereka tak melihat itu pada orang kaya baru. Alhasil, timbul rasa iri dan kecemburuan oleh petani ke pedagang karena bisa mendapat harta sebanyak itu.

Masyarakat yang kental dengan pandangan mistik membuat para petani memandang pencurian itu adalah kerja sama antara orang kaya dan makhluk supranatural dan kasat mata, seperti tuyul dan babi ngepet. Singkatnya, para petani yang iri selalu menuduh orang kaya baru menggunakan cara haram dalam memperoleh kekayaan.

Akibat tuduhan ini, Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002) menyebutkan, para pedagang dan pengusaha sukses kehilangan status di masyarakat. Mereka dianggap "hina" karena memupuk kekayaan dari cara haram, yakni bersekutu dengan setan.

Tuduhan tak berdasar ini membuat popularitas tokoh tuyul dan babi ngepet sebagai subjek mistis terkait kekayaan semakin meningkat dan terus populer sampai saat ini di Indonesia. Fenomena tuyul pernah juga jadi sorotan Clifford Geertz, antropolog yang menggarap karya fenomenal The Religion of Java (1976).

Dalam pengamatannya, Geertz cerita memang benar ada orang memelihara tuyul dan biasanya mereka melakukan perjanjian dengan roh di tempat-tempat keramat. Ciri-ciri pemilik tuyul pun digambarkan dengan detail: hidup sederhana, memakai pakaian lusuh, sering mandi di sungai bersama buruh, dan makan makanan rakyat jelata untuk menutupi kekayaannya.

Namun dalam realitas modern, "uang bank" bukan bagian dari dunia tuyul dan babi ngepet karena simbolismenya berbeda. Bank merepresentasikan sistem keuangan formal yang tidak dipahami oleh mitos rakyat pedesaan. Mereka mencuri dari rumah ke rumah karena itu mencerminkan ketimpangan sosial yang nyata, antara si miskin dan si kaya di kampung, bukan antara rakyat dan institusi.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Jurus Asuransi Properti Manfaatkan Insentif Prabowo - Purbaya