Ramai Rojali dan Rohana, Laba Ramayana Turun 7% di Semester I-2025

Romys Binekasri, CNBC Indonesia
Rabu, 30/07/2025 14:07 WIB
Foto: Ramayana (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT. Ramayana Sentosa Lestari Tbk. (RALS) mencatat, laba tahun berjalan hingga semester I tahun 2025 sebesar Rp 230,3 miliar. Capaian tersebut naik 7% dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang sebesar Rp 247,8 miliar.

Mengutip laporan keuangannya yang disampaikan melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), total pendapatan RALS pada semester I pertama tahun ini turun 6,25% secara tahunan menjadi Rp 1,5 triliun dari sebelumnya Rp 1,6 triliun.


Pendapatan tersebut terdiri dari penjualan barang beli putus Rp 1,09 triliun dan komisi penjualan konsinyasi sebesar Rp 404,7 miliar.

Padahal, pendapatan pada kuartal I tahun ini naik menjadi Rp 1,145 triliun atau naik 35,4% secara tahunan dari tahun 2024 yang sebesar Rp 829,09 miliar.

Seiring dengan pendapatan yang naik, beban pokok penjualan barang beli putus turun menjadi Rp 707,7 miliar dari sebelumnya Rp 831,9 miliar. Sehingga laba kotor RALS turun menjadi Rp 795,2 miliar dari Rp 844,03 miliar.

Selanjutnya, dikurangi beban penjualan turun menjadi Rp 667 juta dari sebelumnya Rp 31,8 miliar, beban umum dan administrasi turun jadi Rp 580 miliar, dan pendapatan lainnya turun menjadi Rp 991 juta dari sebelumnya Rp 12,9 miliar. Maka laba usaha pada parih tahun ini turun menjadi Rp 213,9 miliar dari Rp 238,6 miliar.

Kemudian, ditambah pendapatan keuangan yang turun jadi Rp 66,9 miliar miliar dan dikurangi biaya keuangan yang naik jadi Rp 14,1 miliar, maka laba sebelum pajak penghasilan turun 9% secara tahunan menjadi Rp 266,8 miliar dari sebelumnya yang sebesar Rp 293,3 miliar.

Adapun total aset RALS hingga semester I tahun 2025 turun menjadi Rp 4,56 triliun dibandingkan akhir tahun 2024 yang sebesar Rp 4,95 miliar.

Manajemen menyebut, perusahaan mengelola struktur permodalan dan melakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi ekonomi. Untuk memelihara dan menyesuaikan struktur permodalan, perusahaan dapat menyesuaikan pembayaran dividen kepada pemegang saham, menerbitkan saham baru atau mengusahakan pendanaan melalui pinjaman.

Penurunan pendapatan dan laba RALS terjadi meskipun pada kuartal kedua ada hari raya idul fitri yang merupakan salah satu puncak belanja warga Indonesia. Penurunan ini juga seiring dengan turunnya daya beli masyarakat serta makin maraknya fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya bertanya (Rohana) yang tengah terjadi di pusat perbelanjaan Indonesia, terutama di Jakarta, di mana hal ini merupakan bentuk dari pergeseran pola belanja masyarakat.

Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengakui adanya fenomena tersebut di pusat perbelanjaan Jakarta, terutama juga menyasar ke restoran dalam pusat perbelanjaan. Iwantono mengungkapkan fenomena tersebut merupakan bentuk hiburan.

"Fenomena Rojali-Rohana memang sedang tren ya. Ada di restoran, di mall-mall, dan tempat lain. Ini kan sebenarnya bagian dari hiburan. Orang tidak beli tapi nongkrong, bisa ngobrol berlama-lama," kata Iwantono saat dihubungi CNBC Indonesia.

Namun menurutnya, fenomena ini tentunya dapat merugikan pelaku usaha di restoran, termasuk yang berada di dalam mal, meski sektor ini dinilai yang paling bertahan terhadap fenomena ini.

Menurutnya, yang menyebabkan pengusaha restoran di mal dirugikan karena orang-orang tersebut biasanya hanya membeli makanan kecil dan sekadar minum-minum saja, kemudian berlama-lama duduk di restoran tersebut, sehingga pengunjung yang benar-benar ingin makan harus menunggu Waktu lama dan pada akhirnya tidak jadi untuk makan di restoran tersebut.

"Pengusaha cenderung dirugikan karena orang-orang yang benar-benar ingin makan di restoran tersebut tidak bisa akibat antrean makan ditempat yang panjang. Alhasil orang tersebut cenderung tidak jadi makan di restoran tersebut," ujarnya.

"Intinya, kalau di restoran pesannya misal cuma minum satu kopi secangkir, tapi ngobrolnya dua jam, yang lain mau makan susah, ya tidak mungkin restorannya diuntungkan kan kalau seperti ini," tambahnya.

Oleh karena itu, pihaknya mempertimbangkan untuk pembatasan orang yang makan di restoran, agar pelanggan lain yang ingin makan tidak perlu berlama-lama antre karena keterbatasan meja.

Fenomena munculnya Rojali dan Rohana di berbagai pusat perbelanjaan Tanah Air merupakan tanda terganggunya konsumsi masyarakat.

Perilaku ini menjadi sinyal bahwa masyarakat sedang menyesuaikan pola konsumsi sejalan dengan tekanan ekonomi. Pedagang, pengusaha, pemerintah hingga ekonom membenarkan fenomena ini. Sebagian besar menilai fenomena ini didorong oleh kelas menengah atas yang berhati-hati membelanjakan uangnya.

Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ateng Hartono menuturkan berdasarkan data Susenas Maret 2025, kelompok atas memang agak menahan konsumsinya.

"Ini kita amati dari Susenas. Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena kan itu kelompok atas saja. Fenomena Rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," papar Ateng dalam rilis data BPS.

Kendati demikian, BPS melihat fenomena ini relevan dengan gejala sosial. Hal ini dimungkinkan dengan adanya tekanan ekonomi, terutama tekanan bagi kelas rentan.

"Bisa jadi ada untuk refresh atau tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan sehingga mereka teman-teman semuanya akan Rojali tadi di malldan sebagainya," kata Ateng.

BPS menegaskan Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah.

"Amati teman-teman semuanya apakah yang Rojali itu ada pada kelas atas kelas menengah atau rentan atau bahkan yang di kelas miskinnya. Kami belum sampai survei ke ala Rojali kami surveinya hanya berbasis ke rumah tangga sampel di Susenas kita," kata Ateng.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perusahaan Outsourcing Jawab Isu Upah - Perlindungan Pekerja