Jelang Akhir Masa Jabatan Jokowi, Bank Kecil Teriak Gini Soal Kredit
Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pertumbuhan kredit yang disalurkan industri perbankan melesat kencang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran pembiayaan naik 12,36% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi sebesar Rp7.478 triliun per Juni 2024.
Perolehan ini dicapai ketika Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuannya (BI Rate) yang tinggi di 6,25%.
Namun, bila dirinci pertumbuhan penyaluran kredit masih didominasi oleh empat bank besar, yakni sebesar 14,95% pada total bulan Juni 2024. Sementara itu, sejumlah bank kelas menengah hingga kecil mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit yang jauh dari rata-rata industri.
Seperti bank swasta terbesar RI kedua, CIMB Niaga (BNGA), yang hanya mencatatkan penyaluran kredit tumbuh mini, 5,9% yoy menjadi sebesar Rp 217,1 triliun per Juni 2024. Kemudian, bank swasta lainnya PaninBank (PNBN) hanya mampu mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 6,2% yoy menjadi Rp 147,63 triliun.
Sebagian bank KBMI II dan I yang telah melaporkan kinerjanya juga mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit jauh dari rata-rata industri per semester I-2024. Bank Sinarmas (BSIM) dan Bank Ina (BINA) mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit masing-masing, 5,57% yoy dan 5,5% yoy.
Kemudian Bank Oke Indonesia (DNAR) mencatat penyaluran kredit tumbuh hanya 2,67% yoy. Lebih mini lagi, Bank MNC International yang hanya mampu mencatatkan pertumbuhan kredit tak sampai 1%, yakni 0,81% yoy.
Direktur Kepatuhan Bank Oke Indonesia (DNAR) Efdinal Alamsyah menerangkan bahwa pertumbuhan kredit bank, sebagian besar ditopang oleh pertumbuhan kredit korporasi.
Oleh karena itu, hanya bank-bank besar mampu melakukan ekspansi karena biaya dana mereka yang rendah, ditopang porsi dana murah (CASA) besar untuk membiayai kredit dengan suku bunga yang relatif rendah.
"Sedangkan bank-bank yang mengandalkan dana mahal seperti deposito akan sulit untuk bersaing. Selain itu bank-bank besar mempunyai sumber dana yang cukup untuk membiayai kredit-kredit dengan jumlah yang besar," kata Efdinal saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (8/8/2024).
Dia mengakui bahwa OK! Bank saat ini bersikap konservatif dalam penyaluran kredit, terutama pada kredit segmen retail. Efdinal mengatakan itu bertujuan untuk menjaga kualitas kredit, karena tren rasio kredit bermasalah atau NPL yang belakangan sedikit mengalami kenaikan.
Terpisah, menurut bankir Taswin Zakaria melihat kompetisi penyaluran kredit ini sudah lama terjadi sejak dua sampai tiga tahun lalu, dan terus berlanjut sampai sekarang. Eks Presiden Direktur Bank Maybank Indonesia (BNII) itu memandang bahwa perbankan cenderung menyasar debitur yang itu-itu saja.
"Menurut saya, kompetisi kredit ini sudah cerita lama (2-3 tahun) dan masih begitu terus. Target penyaluran kredit itu-itu saja dan hampir semua bank menyasar debitur-debitur yang sama," pungkas Taswin.
Dia melanjutkan tinggi rendahnya pertumbuhan kredit bank juga ditentukan oleh credit appetite bank saat itu.
"Kalau sedang agresif dan mengobral pricing dan terms pasti bisa tumbuh tinggi. Kalau sedang konservatif apalagi kalau NPL (non-performing loan) sedang tinggi, pastinya akan mengerem laju kreditnya," kata Taswin.
Selain itu, ia menyebut faktor likuiditas dan cost of fund tinggi yang tentunya mempengaruhi laju kredit. Dalam hal ini, bank KBMI 4 tentunya punya keunggulan dalam mengatasi ini, sementara Bank KBMI 1-3 belum tentu bisa menaikkan ataupun mengobral pricing/terms sehingga laju kreditnya akan lebih moderat.
Adapun pengamat perbankan PaulSutaryono menilai fenomena itu terjadi lantaran posisi suku bunga Bank Indonesia yang masih tinggi atau 6,25%. Ini mendorong kenaikan biaya dana (cost of fund) sehingga bank harus menaikkan suku bunga deposito, yang kemudian mengakibatkan suku bunga kredit naik dan berujung pada menipisnya pertumbuhan kredit.
Dalam kondisi demikian, bank papan atas akan lebih leluasa menyalurkan kredit karena memiliki ruang untuk menahan bunga, meskipun biaya dana naik. Bank besar, akan lebih memilih mengorbankan laba dengan tergerusnya margin bunga bersih atau net interest margin (NIM).
"Mengapa? Lantaran, mereka memiliki modal raksasa. Apa hasilnya? Bank demikian tetap mampu menyuburkan pertumbuhan kredit," jelas Paul.
(mkh/mkh)