Bukan Ekonomi RI, Nasib Rupiah Bergantung ke Amerika!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Senin, 29/07/2024 08:53 WIB
Foto: Infografis/ Ramalan Orang Dalam: Bisnis Ini Bakal Moncer di Tahun Politik/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data terbaru pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal II-2024 pada 5 Agustus mendatang. Meskipun nantinya data produk domestik bruto (PDB) bisa tumbuh di atas 5%, tak akan banyak mempengaruhi gerak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray menjelaskan, ini disebabkan realisasi data PDB Indonesia tak akan banyak mempengaruhi sentimen pelaku pasar keuangan, karena laju pertumbuhan ekonominya memang berpotensi bergerak hanya di kisaran 5%-5,2% secara "autopilot".


"Kalau dari data PDB kita mestinya sih tidak terlalu signifikan, karena apapun yang terjadi kalau kita lihat PDB kita, boleh dibilang autopilot, at least pada kisaran range 5 sampai dengan misalnya 5,2%," kata Ralph dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Senin (28/7/2024).

Menurut Ralph, yang paling berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah sejauh ini ialah sentimen pelaku pasar keuangan terhadap faktor-faktor eksternal. Sentimen itu biasanya tercermin dari indeks dolar AS terhadap mata uang utama lainnya, atau DXY.

"Misalnya sekarang dollar index ada di level 104,3 sementara awal tahun kita masih lihat di 101,3, jadi kurang lebih naik 3%. Rupiah pun juga harusnya mengalami depresiasi kurang lebih in line kalau kita lihat dari awal tahun," tutur Ralph.

Faktor pembentuk DXY yang paling kuat saat ini menurutnya ialah sorotan pelaku pasar keuangan terhadap potensi penurunan suku bunga acuan bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed pada September 2024. Bila penurunan Fed Fund Rate terjadi pada bulan itu, ia meyakini rupiah akan balik ke level Rp 15.800/US$ pada akhir tahun ini.

"Kalau memang itu yang terjadi, mestinya secara external factor yang mempengaruhi kita terjadi seperti itu, saya pun melihat harusnya kita bisa ke level itu baru di akhir tahun," ungkap Ralph.

Sebagaimana diketahui, nilai tukar rupiah kembali melemah beberapa hari terakhir. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,25% di angka Rp16.285/US$ pada Jumat (26/7/2024). Secara intraday, rupiah sempat terdepresiasi lebih dalam hingga menyentuh Rp16.295/US$.

Sementara secara mingguan, rupiah terpantau kembali tergelincir sebesar 0,62%. Angka ini lebih buruk dibandingkan pekan sebelumnya yakni sebesar 0,31%.

Sementara DXY pada pukul 14:55 WIB stabil 0,00% di angka 104,35. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan posisi kemarin yang berada di angka 104,35.

Pergerakan rupiah tersebut terjadi seiring dengan rilis dari Departemen Perdagangan AS yang melaporkan data awal produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal II-2024 tumbuh 2,8% pada basis kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), lebih tinggi dari kuartal I-2024 yang hanya tumbuh 1,4%.

Angka awal PDB AS pada kuartal II-2024 ini juga berada di atas ekspektasi pasar sebelumnya yang memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam akan tumbuh 2%. Dengan begitu, laporan PDB terbaru AS menunjukkan bahwa dunia usaha terus berinvestasi dan konsumen masih mendorong pertumbuhan dengan belanja mereka, meskipun harga barang masih cenderung tinggi.


(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pentingnya Mendongkrak Pajak Menopang Kemandirian Ekonomi RI