DPR Sorot Rebutan Likuiditas Antara BI, Kemenkeu dan Bank

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
08 July 2024 15:02
FILE PHOTO: An Indonesian Rupiah note is seen in this picture illustration June 2, 2017. REUTERS/Thomas White/Illustration/File Photo
Foto: REUTERS/Thomas White

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota DPR RI menyoroti adanya perebutan likuiditas di pasar keuangan RI. Anggota Komisi VI Jon Erizal mengatakan saat ini industri perbankan yang dalam hal ini adalah himpunan bank milik negara (himbara) bersaing dengan negara di pasar obligasi.

Seperti diketahui, kondisi likuiditas tengah ketat sehingga bank perlu cermat mencari pendanaan. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) guna menaik aliran dana asing dan menstabilkan nilai tukar rupiah.

"Ini menarik untuk kita kaji bersama, perbankan himbara bersaing dengan negara. Negara juga jual bond-nya sendiri, surat utang sendiri. Kemudian bank-bank ini disuruh cari dana sendiri," ujar Jon saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BNI dan BTN di Gedung DPR, Senin (8/7/2024).

Ia mengatakan keadaan ini harus dibahas, dan mengusulkan sesi bersama dengan Komisi IX dan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Sebab, Jon menyebut persaingan ini menyulitkan perbankan.

"Persaingan ini kan sulit bagi perbankan, kita paham lah. Apalagi yield SBN kita ini tinggi. Sementara yield yang ditawarkan rendah," pungkasnya.

Belum lagi, ia meyakini bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) tidak akan menurunkan suku bunga acuannya hingga Desember tahun ini. "Kalau itu tidak turun, bagaimana perkembangan yang berkaitan dengan sumber dana ini?" Tanya Jon.

Ia mengatakan hal ini akan berdampak pada suku bunga kredit dan margin bunga bersih (NIM) bakal ikut menurun. "Nanti lending rate, NIM-nya juga akan turun. Nggak mungkin naik lah, kalau naikkan berat semua pertumbuhan perbankan akan terganggu," tandas Jon.

Dua bank pelat merah, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) kompak mengakui likuiditas perbankan semakin ketat.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menyebut suku bunga acuan The Fed, yakni FFR (Fed Fund Rate) bertahan di posisi 5,5%. Suku bunga tinggi tersebut diperkirakan bakal higher for longer atau bertahan tinggi dalam waktu yang lama. Hal ini berdampak terhadap nilai tukar rupiah yang semakin melemah.

"Implikasinya ke Indonesia rupiah pun tidak imun. Sehingga terdepresiasi sampai 21 Juni 2024 Rp16.450 ytd (year to date), hingga akhir Juni melemah 6,4%, lebih dalam daripada rata-rata negara berkembang lainnya 5,3%," ujar Royke di kesempatan yang sama.

Meskipun mata uang garuda kian melemah terhadap dolar AS, Royke mengatakan investor asing mulai masuk ke RI. Hal ini terlihat dari portofolio net inflow sebesar US$2 miliar ke pasar finansial per semester I-2024.

"Dimana SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) kali ini merupakan tujuan utama bagi mereka net inflow sebesar US$4,1 miliar year to date, di sisi lain investor asing mencatat outflow dari pasar obligasi dan pasar saham total US$2,1 miliar," terangnya.

Guna menahan tren pelemahan rupiah, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada April 2024 menjadi sebesar 6,25%. Ini kemudian berdampak kepada suku bunga SRBI yang naik sebesar 65 bps.

Keadaan ini menarik aliran dana asing dan menstabilkan rupiah, tetapi di saat yang bersamaan likuiditas rupiah terserap besar melalui instrumen operasi pasar terbuka yang saat ini Rp890 triliun. Jumlah itu 3 kali lipat dari posisi pra pandemi, yang mana SRBI 70% dari total operasi pasar terbuka.

"Kesimpulannya Pak, liquidity agak ketat," ucap Royke di hadapan para Anggota Komisi VI DPR.

Senada, Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu pada kesempatan yang sama menyatakan saat ini likuiditas mahal.

Akibatnya, bank pelat merah yang fokus pada segmen perumahan itu telah memangkas target pertumbuhan kredit tahun ini menjadi hanya 10-12%. Per kuartal I-2024, pertumbuhan kredit BTN tercatat sebesar 14,8% yoy.

"14,8% ini mungkin kita akan turunkan pertumbuhan hanya 10-12% di akhir tahun, karena likuiditas yang cukup mahal, jadi jangan sampai kita salurkan kredit, lama-lama rugi. Kita salurkan lebih mahal dari pada kalau kita beli lagi di market harga dananya," tandas Nixon.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: 2 Penyebab Yang Bikin Rupiah Melemah & Yield SBN Sentuh 7%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular