
Asing Tiba-Tiba "Ngamuk", RI Ketiban Duit Rp 25 Triliun

Jakarta, CNBC Indonesia - Arus dana asing kembali tercatat masuk ke pasar keuangan domestik. Hal ini terjadi pasca kekhawatiran pelaku pasar secara perlahan mulai mereda.
Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 1-4 Juli 2024, bahwa investor asing tercatat beli neto Rp8,34 triliun terdiri dari jual neto Rp1,89 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp2,08 triliun di pasar saham, dan Rp8,15 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Total net foreign buy lebih dari Rp25 triliun dalam dua pekan terakhir tentu memberikan angin segar bagi Indonesia terkhusus SRBI yang semakin diminati asing dengan catatan net foreign buy selama 10 pekan beruntun.
Lebih lanjut, selama tahun 2024, berdasarkan data setelmenĀ sampai dengan 4 Juli 2024, investor asing tercatat jual neto Rp32,58 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,06 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp139,79 triliun di SRBI.
Besarnya dana asing ini tak lepas dari semakin mendinginnya data ekonomi Amerika Serikat (AS) belakangan ini.
Inflasi AS terpantau mengalami pelandaian baik Consumer Price Index (CPI) maupun Personal Consumption Expenditures (PCE). Semakin melandainya data inflasi AS ini menunjukkan bahwa semakin dekatnya dengan target bank sentral AS (The Fed) di angka 2%.
Selain angka inflasi, PMI Manufaktur ISM AS juga terpantau kembali terkontraksi pada Juni 2024. PMI manufaktur ISM merosot ke 48,5 bulan lalu. Diketahui, Angka PMI di atas 50 menunjukkan pertumbuhan di sektor manufaktur.
Secara rinci, delapan industri manufaktur, termasuk logam primer dan produk kimia, melaporkan pertumbuhan. Permesinan, alat transportasi, peralatan listrik, peralatan dan komponen, serta komputer dan produk elektronik termasuk di antara sembilan industri yang terkontraksi.
Hal ini menjadi pendorong dan optimisme bagi pelaku pasar bahwa akan terjadinya pemangkasan suku bunga pada tahun ini.
Berdasarkan CME FedWatch Tool, pasar menilai cut rate diekspektasikan terjadi dua kali yakni pada September dan Desember 2024 dengan total sebanyak 50 basis poin (bps).
Ketika hal tersebut terjadi, maka imbal hasil emerging market seperti Indonesia akan menjadi lebih menarik karena menawarkan angka yang lebih tinggi.
Hal ini tercermin dari selisih imbal hasil SBN dan US Treasury tenor 10 tahun yang semakin melebar dari titik terendahnya pada 1 Juli 2024 dan terus mengalami kenaikan hingga berada di angka 2,773% pada Jumat (5/7/2024).
Pasar keuangan domestik terkhusus SRBI pun semakin diminati investor dibandingkan SBN yang diterbitkan pemerintah karena imbal hasil yang ditawarkan SRBI lebih tinggi dari SBN, bahkan hingga 7%.
Dalam laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024, World Bank atau Bank Dunia melihat sebagai instrumen yang memberikan imbal hasil lebih tinggi, SRBI tampaknya membatasi pinjaman pemerintah.
Sebagai akibatnya, BI melakukan intervensi di pasar sekunder dengan membeli surat berharga pemerintah, sehingga meningkatkan kepemilikannya dari 16,2% menjadi 20,7%.
Bank Dunia melihat untuk mencegah crowding out lebih lanjut, BI berupaya untuk sementara waktu mengurangi volume penerbitan SRBI, memotongnya hingga setengahnya dari Rp 49,4 triliun menjadi Rp 25,6 triliun antara bulan Februari dan Maret 2024.
Secara umum, berbagai upaya yang telah dilakukan disambut positif oleh pelaku pasar.
Treasury and Global Market Head Sales Bank Mega, Donny Lukito menyebutkan pasar keuangan RI masih memiliki daya tarik dibanding peers di tengah ketidakpastian saat ini. Selain kebijakan suku bunga, BI juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan makroprudensial yang mampu mendorong aliran dana asing ke RI mulai dari SRBI hingga kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)