Rupiah Terus Anjlok, Investor Masih Was-Was APBN Jebol?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Jumat, 28/06/2024 07:52 WIB
Foto: Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menganggap pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi beberapa hari terakhir di kisaran Rp 16.400, lebih disebabkan sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap permasalahan global.

Isu-isu terkait kesinambungan fiskal di dalam negeri yang sempat membuat rupiah terus terkapar di atas Rp 16.400/US sejak pekan lalu, tak lagi mereka sematkan. Wajar, sebab awal pekan ini pemerintah dan tim sinkronisasi Presiden Terpilih Prabowo Subianto sudah konferensi pers membantah kekhawatiran pelaku pasar keuangan tentang APBN 2025.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pergerakan kurs rupiah saat ini lebih banyak dipicu sentimen negatif global, mulai dari tensi geopolitik yang masih tinggi di berbagai negara, hingga tren suku bunga acuan yang tinggi juga masih akan berlangsung lama.


"Tentang rupiah bahwa saat ini terjadi tensi geopolitik yang tinggi, di sisi lain kita masih melihat kondisi pasar global yang diwarnai terutama higher for longer," ucap Febrio saat konferensi pers APBN secara daring, Jumat (28/6/2024).

Sentimen yang tengah keras menjadi sorotan pelaku pasar keuangan menurutnya ialah potensi suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) Fed Fund Rate yang tak akan turun secara cepat pada tahun ini.

"Kalau tahun ini terjadi revisi dari ekspektasi pasar beberapa kali dan terakhir konsensusnya adalah satu kali Fed Fund Rate 2024 ini, tentunya ini akan disertai ketidakpastian sehingga dari sisi kita harus tetap antisipasi," tegasnya.

Untuk sentimen negatif di dalam negeri, Febrio tak menautkan. Ia hanya menekankan, berbagai faktor yang mendorong laju roda perekonomian di dalam negeri masih terus berjalan dengan baik. Ia mencontohkan dengan kinerja neraca perdagangan yang masih mencatatkan surplus.

Sebagaimana diketahui, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2024 kembali mencatatkan surplus sebesar US$ 2,93 miliar dan sekaligus memperpanjang tren surplus neraca perdagangan Indonesia menjadi 49 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

"2023 ekspor impor kita relatif selalu berada di teritori negatif pertumbuhannya. Akan tetap di 2024 ini sudah mulai swing dan kami harap berlanjut terutama dari sisi ekspor sudah mulai cukup positif," ungkap Febrio.

"Walau masih dibayangi ekonomi dunia terutama negara tujuan ekspor kita, seperti China, India, dan sebagainya, tapi kita melihat masih ada prospek sisi manufaktur kita mulai bisa mengekspor lebih banyak dan tumbuh positifnya tahun ini sehingga akan jadi faktor positif," tegasnya.

Rupiah memang berhasil ditutup menguat tipis pada perdagangan Kamis (27/6/2024) dan berhasil keluar dari level psikologis Rp16.400/US$. Seiring dengan indeks dolar AS yang juga terdepresiasi sedikit sebesar 0,06% menjadi 105,98.

Melansir data Refinitiv, rupiah ditutup di Rp16.395/US$ atau menguat tipis 0,03% dalam sehari. Penguatan hari ini berbanding terbalik dengan pelemahan yang terjadi kemarin sebesar 0,18%.

Kekhawatiran pelaku pasar terhadap kesinambungan fiskal 2025 sebetulnya memang tampak sedikit mulai mereda setelah Senin (24/6/2024) diselenggarakan Konferensi Pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Rupiah saat itu sempat ke level Rp 16.370/US$ sebelum akhirnya hari-hari berikutnya kembali terkapar di level atas Rp 16.400/US$.

Saat konferensi pers, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ⁠Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Anggota Bidang Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Thomas Djiwandono memastikan pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka akan tetap menjalankan APBN 2025 secara prudent, termasuk dengan tetap menetapkan ambang defisit maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) serta rasio utang terhadap PDB sebesar 60%.

Pernyataan itu mereka tegaskan sebagai bantahan isu yang merebak beberapa pekan terakhir bahwa pemerintahan Prabowo akan menaikkan rasio utang Indonesia terhadap PDB nya hingga sampai 50%, yang menjadi pertanda defisit APBN akan jebol melampaui batasan Undang-Undang Keuangan Negara di level 3% terhadap PDB.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS