
Nasib Multifinance, Jatuh Tertekan NIM & Tertimpa Risiko Kredit Macet

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan pembiayaan atau multifinance tengah dihadapi dengan tekanan dari beberapa sisi, seperti suku bunga tinggi dan menurunnya daya beli masyarakat.
Seperti diketahui, The Fed masih mempertahankan suku bunga di level 5,25%-5,50%. Kondisi higher for longer ini tentunya memengaruhi pergerakan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) di multifinance.
Pasalnya, biaya bunga menjadi salah satu komponen cost of fund (CoF) dalam industri multifinance.
Presiden Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance Tbk (CNAF) Ristiawan Suherman mengatakan hingga bulan Mei 2024, posisi NIM CNAF berada di angka 11,27%. Nilai ini menurun 22 basis poin (bps) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya 11,49%.
CNAF berharap program Pembiayaan dana Tunai dapat diperbesar dari sisi plafon maksimum pinjaman dan batas rasio maksimal portofolio kelolaan yang saat ini dibatasi 500 juta maksimal plafon dan 25% batas maksimum dari total aset kelolaan.
CNAF yakin produk tersebut dapat banyak membantu modal kerja para pengusaha kecil dan menengah di Indonesia, sehingga dapat membantu industri pembiayaan untuk tumbuh cepat dengan produk diversifikasinya dan membantu ekonomi negara dengan mendorong bisnis para pelaku UMKM.
"Ini bisa membantu UMKM dengan memperlebar akses mereka mendapatkan pinjaman untuk menambah modal usahanya," ucap Ristiawan saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Ristiwaran pun menyarankan, produk pinjaman tanpa agunan yang dulu pernah dijalankan dalam kurun waktu Covid-19 bisa dijalankan kembali. Sehingga stimulus tersebut bisa mendorong daya beli masyarakat.
Sementara itu, Dian Ariffahmi, Corporate Communication Head PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) mengatakan rasio net interest margin (NIM) perusahaan per Maret 2024 tercatat sebesar 15,2%.
Dian melihat, pemerintah mesti menjaga kondisi dalam negeri yang stabil dan kondusif, sehingga dapat mendukung industri agar tetap tumbuh di tengah berbagai dinamika yang ada.
"Terkait dampak naiknya suku bunga, BFI Finance masih mengamati pasar dan kompetitor. BFI Finance akan melakukan penyesuaian bunga apabila diperlukan," ungkap Dian.
Sementara itu, Chief Financial Officer (CFO) Adira Finance Sylvanus Gani mengatakan NIM di perusahaannya masih tercatat sekitar 26% per Maret 2024. Ia pun tak menampik perubahan suku bunga acuan BI dapat berdampak terhadap biaya pendanaan di perusahaan multifinance, sehingga dapat mempengaruhi margin bunga bersih (NIM).
"Selain itu, suku bunga kredit juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi NIM Perusahaan," tutur Gani.
Selain melakukan mitigasi dari sisi produk, ada pula perusahaan yang mengantisipasi tingginya CoF ini dengan mendiversifikasi sumber pendanaannya selain dari perbankan. Salah satu yang melakukan itu adalah PT Wahana OttomitraMultiarthaTbk (WOMF).
"Perusahaan sendiri berusaha melakukan diversifikasi sumber pendanaan, diantaranya dengan melakukan penerbitan obligasi untuk memperoleh CoF yang efisien," jelas Direktur WOM Finance Cincin Lisa Hadi.
Ia pun mengaku, adanya kenaikan suku bunga acuan BI beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap CoF WOMF. namun Perusahaan masih dapat memperoleh sumber pendanaan dengan tingkat suku bunga yang paling efisien dari pihak perbankan.
Daya Beli Menurun
Selain tertekannya NIM, biaya hidup masyarakat yang naik membuat angka kredit macet di sejumlah perusahaan multifinance meningkat pada awal tahun ini. Para pelaku industri pun berharap kondisi ini tak berjalan lama.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat, per April 2024 rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 basis poin (bps) secara tahunan. Apabila dibandingkan dengan posisi Desember 2023, rasio NPF naik 38 bps.
Begitu pula dengan NPF net per April 2024 yang naik 20 bps menjadi 0,89% dan naik 25 bps dibandingkan dengan Desember 2023.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menilai NPF multifinance naik karena daya beli masyarakat tertekan harga kebutuhan pokok yang melonjak sejak akhir 2023.
"Nah, dengan demikian, ya suka atau tidak suka, pasti ada sekelompok atau sejumlah orang yang akhirnya harus pembayaran cicilannya tertunda," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (14/6/2024).
Hal itu kemudian diikuti dengan melambatnya pertumbuhan piutang di industri multifinance, utamanya sektor otomotif. Selain menurunnya daya beli, perusahaan pembiayaan juga tengah berhadapan dengan kondisi sulit mencari debitur berkualitas baik.
Suwandi menjelaskan saat ini kredit bermasalah telah menjadi isu bagi seluruh industri keuangan. Alhasil banyak calon debitur multifinance yang tercatat memiliki skor kredit buruk.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Rate Naik, Begini Dampaknya ke Kredit Motor dan Mobil
