Rupiah Terus Anjlok, Bakal Sampai Kapan?

M Rosseno Aji Nugroho & Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Rabu, 12/06/2024 13:05 WIB
Foto: REUTERS/Thomas White

Jakarta, CNBC Indonesia-Bank Indonesia (BI) buka suara soal situasi rupiah yang kini tengah dalam tren pelemahan. Dolar Amerika Serikat (AS) yang sudah menembus level Rp16.300.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti saat rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Selasa (11/6/2024)

"Dengan ketahanan eksternal yang terjaga nilai tukar rupiah relatif stabil sejalan dengan bauran kebijakan moneter BI," ujarnya.


Destry menyampaikan, pelemahan rupiah sejak akhir Desember 2023 hingga saat ini mencapai 4,93%. Lebih baik dibandingkan dengan mata uang Filipina, Korea Selatan dan Thailand yang sudah di atas 5%.

BI mendorong imbal hasil yang menarik melalui kebijakan suku bunga acuan. Di sisi lain BI senantiasa juga selalu berada di pasar dan siap melakukan intervensi apabila dibutuhkan.

"Ke depan BI perkirakan nilai tukar rupiah akan tetap stabil dengan kecenderungan menguat," tegas Destry.

Hal ini juga diyakini oleh sejumlah ekonom bank meyakini pelemahan Rupiah yang hampir mencapai level Rp 16.300/USD hanya bersifat sementara. Rupiah diprediksi akan kembali ke level Rp 16.100/USD setelah kuartal II 2024. "Saya tetap melihat ini akan bersifat sementara," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, dikutip Rabu, (12/6/2024).

Josua mengatakan kondisi perekonomian dalam negeri Indonesia sebenarnya sangat baik. Inflasi, kata dia, berhasil kembali di bawah 3% pada bulan Mei ini. Cadangan devisa Indonesia juga meningkat dengan aliran modal asing yang mulai masuk di bulan yang sama, terutama ke pasar surat utang dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia. "Walaupun terjadi nett sell di pasar saham," kata dia.

Josua menilai pelemahan Rupiah saat ini terjadi karena faktor musiman, yakni penyelenggaraan ibadah haji dan pembayaran bunga utang pemerintah dalam mata uang dolar. Selain itu, kata dia, pelemahan Rupiah ini juga terjadi karena pelaku pasar tengah menanti pengumuman data inflasi Amerika Serikat yang akan dilakukan pekan ini.

"Ini minggu penting, artinya market menanti rilis inflasi AS bulan Mei yang diperkirakan secara tahunan akan flat, tapi secara bulanan cenderung lebih rendah," katanya.

Dia mengakui pasar memang agak cemas untuk urusan suku bunga acuan The Federal Reserve. Apalagi setelah AS mengumumkan data tenaga kerja yang lebih tinggi dari ekspektasi. Rilis data tenaga kerja itu, kata dia, membuat ekspektasi pasar terhadap pemangkasan Fed Fund Rate kembali turun dari yang tadinya 50 basis point pada akhir tahun 2024, menjadi hanya 25 basis poin.

"Dinamika ekspektasi arah suku bunga The Fed ini berdampak juga pada penguatan dolar indeks," kata dia.

Namun, Josua meyakini bahwa dinamika pasar itu akan memiliki dampak sementara terhadap nilai tukar Rupiah. Dia mengatakan Bank Indonesia juga sudah berkomitmen terus berada di pasar dengan berbagai instrumen dan intervensi yang akan dilakukan guna menjaga stabilitas nilai tukar.

"Dan tadi disampaikan juga BI terus di pasar dengan triple intervention dan adanya instrumen baru seperti SUVBI, ini diharapkan suplai valas di dalam negeri akan cukup di tengah peningkatan dolar yang temporer," katanya.

Senior Executive Vice President Treasury & International BCA, Branko Windoe juga meyakini penguatan dolar pada saat ini bersifat sementara. Dia mengatakan musim haji dan pembayaran utang luar negeri menyebabkan permintaan dolar sedang tinggi.

"Kegiatan ini memang perlu dolar, jadi harapannya adalah lewat dari bulan ini atau akhir Q2 mungkin Rupiah akan lebih supported," katanya.

Namun, dia meyakini setelah faktor musiman itu berlalu, Rupiah bisa kembali ke level Rp 16.100-16.150/USD. "Misalnya kita sudah lewat bulan ini mungkin bisa lebih support ke level Rp 16.100-Rp 16.150 bisa," kata dia.

Meski demikian, Branko mengatakan pasar masih mewaspadai adanya pengumuman data inflasi AS pekan ini. Dia mengatakan apabila inflasi AS sudah mendingin sesuai ekspektasi pasar, Rupiah tidak akan jebol ke atas Rp 16.300/USD. Namun sebaliknya, bila inflasi AS lebih tinggi dari ekspektasi: "Rupiah mungkin akan under pressure lagi, mungkin bisa lewat Rp 16.300-16.350/USD," katanya.


(rsa/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Rupiah Belum Menguat Seperti Mata Uang Lain, Ini Kata Ekonom