
Duh! Warga RI Diramal Makin 'Makan Tabungan' di 2024

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom memperkirakan masyarakat Indonesia masih akan menggerus tabungannya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari alias makan tabungan pada 2024. Hal ini terjadi akibat kenaikan upah minimum yang rendah.
"Jadi kira-kira setahun ke depan (masyarakat harus) menjaga agar tabungannya cukup untuk dimakan," kata Ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam program Power Lunch di CNBC Indonesia, Selasa (2/1/2024).
Nina mengatakan fenomena makan tabungan ini paling banyak terjadi pada masyarakat dengan golongan menengah ke bawah. Menurutnya, kelompok menegah adalah yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Banyak dari mereka dipecat selama pandemi. Saat ini, mereka sudah kembali mendapatkan pekerjaan, namun pekerjaan baru itu memiliki gaji yang lebih sedikit.
"Ada kesulitan mencari lapangan pekerjaan sehingga harus makan tabungan," kata dia.
Faktor lainnya adalah roda ekonomi pasca-pandemi sudah pulih dan ini berimbas pada meningkatnya pengeluaran masyarakat. Ketika pengeluaran tidak sebanding dengan pendapatan, tiada opsi lain selain makan tabungan.
"Kalau pengeluaran naik, tapi pendapatan tetap atau turun, karena dia keluar di-PHK lalu masuk lagi tapi belum dapat pekerjaan yang baik, maka kita lihat akan makan tabungan untuk kelas menengah bawah," ujar Nina.
Dia pesimistis fenomena ini akan berakhir di 2024. Pasalnya, dia memprediksi gelaran Pemilihan Presiden akan membuat investasi di Indonesia melambat karena investor memilih sikap wait and see. Nina menilai investasi yang melambat berarti pembukaan lapangan pekerjaan baru belum bisa diharapkan akan terjadi di tahun ini.
"Kita belum bisa berharap banyak ke investasi karena ini tahun politik, jadi satu tahun ke depan belum akan ada ekspektasi investasi itu naik," tutur dia.
Penyebab Tabungan Orang RI Menipis
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyebut pertumbuhan tabungan masyarakat pada 2023 mengalami perlambatan. Dia mencatat selama 2023 pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya sebesar 4%.
"Pertumbuhan DPK kalau kita lihat itu rendah, hanya 4%," kata Aviliani dalam diskusi 'Evaluasi dan Perspektif Ekonom Perempuan Indef Terhadap Perekonomian Nasional', Kamis (28/12/2023).
Berdasarkan catatan yang dijabarkan Aviliani, per November 2023 DPK perbankan hanya tumbuh 3,8% year on year.
Sementara itu, giro hanya tumbuh 3,4% (yoy), serta tabungan dan simpanan berjangka tumbuh 2,5% (yoy) dan 5,2% (yoy).
Aviliani mengatakan pertumbuhan DPK yang lemah ini disebabkan oleh faktor pergeseran pola menabung masyarakat. Dia mengatakan kau manak muda atau milenial saat ini sudah tidak tertarik lagi menaruh uangnya di tabungan. Kaum milenial, kata dia, kini memiiliki banyak pilihan untuk menabung di insrumen lainnya seperti saham dan obligasi.
"Memang kecenderungan kaum milenial sekarang tidak hanya menempatkan uangnya di bank, tapi sebenarnya sudah pakai instrumen saham dan obligasi, sehingga ini menyebabkan DPK semakin ke depan semakin rendah karena instrumen investasi dari milenial sudah berkembang," kata Aviliani.
Lebih lanjut, dia menilai melemahnya peningkatan tabungan ini jika dibiarkan bisa berdampak negatif kepada industri perbankan. Pasalnya, pertumbuhan DPK ini tidak sejalan dengan pertumbuhan permintaan kredit yang masih tinggi. Aviliani mencatat kredit perbankan tumbuh 9,7% (yoy) pada November. Kredit modal kerja tumbuh 10,2% (yoy) sedangkan kredit investasi dan konsumsi masing-masing di bawah 10% (yoy).
Oleh karena itu, Aviliani menilai perbankan perlu berinovasi pada produk-produknya agar masyarakat kembali tertarik menaruh uang di tabungan. "Kalau tidak, bank akan kesulitan mendapatkan Dana Pihak Ketiga, itu kenapa regulator perlu juga melihat situasi ini. Jangan situasi berubah, regulasi tidak berubah," kata dia.
Apa yang disampaikan oleh Aviliani itu sejalan dengan yang pernah disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Perry mengatakan melambatnya pertumbuhan likuiditas atau dana pihak ketiga (DPK) itu disebabkan instrumen investasi kini semakin banyak, sehingga masyarakat tidak hanya mengalokasikan uang lebihnya untuk ditabung di bank saja, melainkan juga masuk ke berbagai instrumen investasi.
"Dulunya hanya di DPK, di tabungan di perbankan, sekarang bisa beli SBN, ritel maupun investasi-investasi yang lain, sehingga memang untuk kelompok menengah ini memang penurunan DPK antara lain ada pergeseran dari dulunya di DPK ke pembelian obligasi pemerintah," tutur Perry saat konferensi pers di kantor pusat BI, Jakarta, dikutip Jumat (22/12/2023).
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Miris! Ini Bukti Nyata Orang RI Makan Tabungan