
Gara-Gara China, Bursa Asia Gak Kompak

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik kembali dibuka bervariasi pada perdagangan Senin (11/12/2023), seiring investor menilai angka inflasi China periode November, yang menurun lebih cepat dari perkiraan pasar.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melonjak 1,6%, ASX 200 Australia menguat 0,13%, dan KOSPI Korea Selatan naik tipis 0,01%.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng ambles 1,17%, Shanghai Composite China melemah 0,57%, dan Straits Times Singapura terkoreksi 0,4%.
Dari China, pada Sabtu lalu, data inflasi periode November 2023 resmi dirilis. Angka inflasi konsumen (consumer price index/CPI)terbaru ini tercatat kembali mengalami deflasi 0,5% (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 0,2% (yoy).
Penurunan ini merupakan penurunan CPI tercepat sejak November 2020, seiring dengan penurunan harga pangan pada laju terkuat dalam dua tahun terakhir (-4,2% vs -4,0% pada Oktober) di tengah penurunan harga daging babi yang lebih lanjut.
Lebih lanjut, inflasi produsen (producer price index/PPI) China juga mengalami deflasi 3% (yoy) pada periode November 2023 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 2,6% yoy.
Lebih lanjut, perekonomian China tumbuh rata-rata sebesar 15% (yoy) dalam PDB riil pada 1978 - 2018. Pertumbuhan PDB rata-rata tersebut mengalami penurunan khususnya selama 2019-2023F dengan rata-rata 6,6% yoy.
Dengan kondisi saat ini, DBS menilai China akan mengalami soft landing di 2024 setelah tiga tahun deleveraging di sektor properti. Tiga risiko lunak yang akan dihadapi China yakni rumah yang belum selesai (unfinished homes), utang pemerintah daerah, dan risiko geopolitik.
Oleh karena itu, diperlukan China New Model dengan fokus pada tiga poin inti yakni pendanaan baru (new funding), pilar, dan fokus pada reformasi struktural (focus of structural reforms) untuk menentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan China.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang cenderung beragam terjadi di tengah menguatnya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu.
Pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutupmenguat 0,36%, S&P 500 bertambah 0,41%, dan Nasdaq Composite berakhir terapresiasi 0,45%
Penguatan Wall Street pada akhir pekan lalu disinyalir berkat optimisme pelaku pasar akan harapan terjadinya soft landing ekonomi Negeri Paman Sam pada tahun depan. Hal ini lantaran, data terbaru pada pasar tenaga kerja AS semakin mendingin.
Data pekerjaan selain sektor pertanian pada November 2023 mencatat peningkatan sebanyak 199.000 pekerjaan, melampaui penambahan 150.000 pekerjaan pada bulan Oktober dan ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 180.000 pekerjaan.
Meski ada kenaikan, tetapi posisi penggajian non-pertanian (non-farm payroll/NFP) tersebut masih berada di bawah rata-rata peningkatan bulanan yang diamati selama setahun terakhir sebesar 240.000. Hal ini sudah menunjukkan adanya perlambatan pada pasar tenaga kerja.
Selain itu, sentimen konsumen dari Universitas Michigan untuk AS melonjak menjadi 69,4 pada Desember 2023 dengan ukuran ekspektasi inflasi pada tahun depan turun menjadi 3,1%, level terendah sejak Maret 2021.
Prospek inflasi yang semakin melandai diiringi kondisi pasar tenaga kerja yang mendingin menjadi harapan pelaku pasar terhadap kebijakan bank sentral AS(Federal Reserve/The Fed) akan semakin melunak
Chief Investment Strategist State Street Global Advisors, Michael Arone memberikan komentar bahwa laporan ketenagakerjaan terus menggambarkan perekonomian yang tidak berada di ambang resesi.
"Kombinasi dari penurunan ekspektasi inflasi dan peningkatan sentimen konsumen yang mendukung hasil soft landing," ujar Michael
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
