Pasar Tunggu Data dari AS, Rupiah Loyo Sentuh Rp15.500/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru saat dana asing deras masuk ke domestik serta sikap wait and see pelaku pasar perihal data ekonomi AS malam hari.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat di angka Rp15.450/US$ atau terdepresiasi 0,19%. Pelemahan ini berbanding terbalik dengan penguatan yang terjadi kemarin (4/12/2023) yakni sebesar 0,19%. Bahkan rupiah sempat menyentuh level psikologis Rp15.500/US$ beberapa menit setelah pembukaan perdagangan.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada pukul 09.00 WIB turun tipis 0,08% menjadi 103,62. Angka ini lebih rendah dibandingkan penutupan perdagangan Senin (4/12/2023) yang berada di angka 103,71.
Fluktuasi rupiah hari ini masih hadir di tengah dana asing yang masuk ke domestik serta data ekonomi dari AS.
Data transaksi yang dirilis BI pada 27 - 30 November 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp15,92 triliun (beli neto Rp10,60 triliun di pasar SBN, beli neto Rp0,38 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp4,94 triliun di SRBI).
Hal ini jauh lebih besar atau sekitar 100% lebih besar dibandingkan pekan keempat November yakni sebesar Rp7,03 triliun atau pekan ketiga November yakni Rp7,33 triliun. Dengan kata lain, dalam tiga pekan terakhir, net buy asing ke pasar keuangan Indonesia sekitar Rp30 triliun.
Selain itu, dana asing yang masuk ke Indonesia pada pekan lalu menjadi yang tertinggi sepanjang 2023. Catatan terbaik sebelumnya adalah pada pekan ketiga Januari sebesar Rp14,8 triliun.
Beralih ke mancanegara, data ekonomi AS menunjukkan tanda yang semakin mendingin yang direpresentasikan oleh data inflasi dan Personal Consumption Expenditure (PCE) yang lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
Inflasi AS melandai ke 3,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,7% (yoy) pada September 2023. Sementara, PCE Oktober 2023 tercatat stagnan 0% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dari posisi September lalu yang sebesar 0,4% (mtm) dan 3,4% (yoy).
Tidak sampai disitu, malam hari ini pun akan dirilis data jumlah lowongan pekerjaan Amerika Serikat peridoe Oktober yang diperkirakan akan turun menjadi 9,3 juta dari bulan sebelumnya 9,55 juta pada September 2023.
Hal ini masih menjadi perhatian investor mengingat jika data jumlah lowongan kerja turun tajam bahkan di bawah konsensus/ekspektasi pasar maka bisa dikatakan bahwa data ketenagakerjaan AS masih cukup panas.
Maka dari itu, pelaku pasar masih bersikap wait and see untuk melihat data terbaru perihal jumlah lowongan kerja dengan harapan data ini akan menunjukkan bahwa kondisi AS sudah mendingin.
Jika jumlah lowongan pekerjaan yang mendingin akan semakin meningkatkan optimisme bahwa The Fed akan dovish.
Sedangkan data mengenai PMI Komposit Global AS S&P yang diperkirakan tetap stabil di 50,7 pada November 2023, tidak berubah dari level tertinggi tiga bulan di bulan sebelumnya.
Kendati perusahaan manufaktur melaporkan laju ekspansi yang lebih lambat, penyedia jasa mengalami sedikit peningkatan dalam laju pertumbuhan output, yang merupakan laju pertumbuhan tercepat sejak bulan Juli.
Total pesanan baru sedikit meningkat, didorong oleh ekspansi pertama bisnis baru di sektor jasa dalam empat bulan, sementara tingkat lapangan kerja menurun untuk pertama kalinya dalam hampir tiga setengah tahun.
Berbagai data tersebut menyebabkan ekspektasi pelaku pasar perihal suku bunga bank sentral AS (The Fed) sudah mencapai puncak yakni di level 5,25-5,5%. Bahkan dalam waktu dekat, pasar berekspektasi bahwa The Fed akan melakukan cut rate pertamanya di Maret 2024 menurut CME FedWatch Tool.
Jika benar terjadi, maka hal ini akan membawa angin segar bagi mata uang Garuda karena selisih suku bunga BI dengan The Fed akan semakin terpaut jauh. Maka dari itu, dana asing diharapkan dapat semakin deras membanjiri pasar keuangan domestik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)