
Makin Dekat Rapat FOMC, Akankah Rupiah Tahan Banting?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah arus dana asing kembali balik mengalir ke domestik pekan lalu walau pekan ini masih banyak ketidakpastian dari eksternal.
Melansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.885/US$ atau menguat 0,31% pada perdagangan kemarin, Senin (30/10/2023). Hal ini mematahkan tren pelemahan beruntun yang terjadi selama tiga hari terakhir sejak 25 Oktober 2023.
Penguatan rupiah kemarin sejalan dengan aliran dana asing yang mulai kembali ke Tanah Air.
Mulai dari pasar Surat berharga Negara (SBN), imbal hasil terpantau mulai menurun menandai naiknya harga obligasi karena SBN sudah mulai dicari investor.
Menurut data dari Refinitiv, SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) turun tipis menjadi 7,12% pada perdagangan kemarin. Imbal hasil lebih rendah dari Jumat pekan lalu yakni 7,16%.
Investor asing di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp 1,04 triliun terdiri dari beli neto Rp2,18 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp2,57 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,44 triliun di Sekuritas Rupiah BI (SRBI). Ini adalah kali pertama sejak pekan pertama September 2023, asing mencatat inflow.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pada Oktober 2023 secara bulanan (hingga 27 Oktober) investor asing tercatat menarik dana senilai Rp 6,37 triliun dari pasar modal RI. Angka tersebut naik nyaris 40% dari besaran outflow pasar modal bulan September yang nilainya tercatat Rp 4,6 triliun.
Beralih pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen yang akan berpengaruh pada gerak rupiah.
Sentimen pertama datang dari Bank sentral Jepang (BoJ) yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga pada hari ini Selasa (31/10/2023). Keputusan BoJ sangat ditunggu pasar setelah yen Jepang ambruk dan imbal hasil surat utang Jepang melambung.
BOJ hingga kini masih mempertahankan suku bunga acuan mereka yang kini ada di minus 0,1%. Suku bunga acuan sebesar itu sudah bertahan sejak 2016.
Sebagian pelaku pasar melihat ada kemungkinan jika BoJ akan segera mengakhiri suku bunga ultra rendahnya serta mengakhiri yield curve control (YCC) pada akhir 2024.
Perkembangan kebijakan moneter di Jepang akan berdampak besar ke pasar keuangan Indonesia karena banyaknya investor Jepang yang masuk ke Tanah Air, baik melalui obligasi ataupun investasi langsung.
Selanjutnya, ada Bank sentral AS The Fed yang akan mulai menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) hari ini hingga Rabu. Mereka akan mengumumkan kebijakan suku bunga pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Pasar berekspektasi The Fed masih akan menahan suku bunga acuan di kisaran 5,25-5,50% pada bulan ini. Perangkat FedWatch Tool menunjukkan 98,4% pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menahan suku bunga acuan. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai 99,9%.
Selain keputusan suku bunga, pelaku pasar juga menunggu pernyataan Chairman The Fed Jerome Powell mengenai sinyal kebijakan ke depan. The Fed pada pertemuan September lalu mengisyaratkan masih akan mengerek suku bunga sekali lagi pada tahun ini meskipun kebijakan akan sangat ditentukan oleh data-data ekonomi.
Data terbaru menunjukkan ekonomi AS masih melaju kencang sehingga inflasi diproyeksi sulit melandai. Ekonomi AS masih tumbuh kencang 4,9% (year on year/yoy) pada kuartal III-2023, tertinggi sejak kuartal IV-2022 atau hampir dua tahun.
Data S&P Global Manufacturing PMI Flash menunjukkan aktivitas bisnis AS meningkat ke level ekspansif yakni 50 pada Oktober 2023, dari 49,8 pada September. S&P Global Service PMI Flash juga menunjukkan penguatan menjadi 50,9 pada Oktober, dari 50,1 pada September.
Inflasi AS masih stagnan di angka 3,7% (yoy) pada September 2023, jauh dari target The Fed yakni di kisaran 2%.
Kemudian dari negeri tirai bambu akan ada Biro Statistik China (NBS) yang akan mengumumkan data PMI Manufaktur untuk Oktober. Data ini cukup penting oleh pelaku pasar untuk menentukan sebagaimana kondisi manufaktur China di tengah masih lesunya perekonomian China.
Aktivitas manufaktur China sudah berada di zona ekspansif pada September 2023 ke posisi 50,2 setelah terkontraksi selama lima bulan sebelumnya. Perkembangan manufaktur China menjadi penting karena itu menunjukkan gerak laju investasi dan produksi Tiongkok. China adalah pasar terbesar ekspor Indonesia dengan porsi 30% sehingga aktivitas manufaktur akan sangat berdampak kepada permintaan barang dari Indonesia.
Teknikal Rupiah
Secara teknikal dalam basis waktu per jam, pergerakan nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS sudah mulai ada tanda penguatan, hal ini ditandai dengan harga yang sudah berhasil menembus ke bawah garis rata-rata selama 20 jam dan 50 jam atau moving average 20 dan 50 (MA20 dan MA50).
Walaupun secara tren besar masih dalam pelemahan dan saat ini harga cenderung bergerak pada area support berdekatan dengan MA100 atau di posisi closing kemarin, Senin (30/10/2023) di Rp15.885.
Posisi rupiah kemarin sudah berhasil meninggalkan level psikologis Rp15.900/US$, posisi ini sekarang menjadi resistance yang perlu diwaspadai lagi apabila rupiah balik melemah. Sementara untuk penguatan selanjutnya dalam jangka pendek bisa dicermati support yang bisa diuji apabila MA100 ditembus ke bawah yakni Rp15.840/US$, posisi ini diambil dari low candle 24 Oktober 2023.
![]() Pergerakan rupiah melawan dolar AS |
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tunggu Rilis Data Inflasi, Kuatkah Rupiah Hari Ini?