
AS Butuh Modal Perang Israel dan Ukraina, BI Ikut Pusing!

Jakarta, CNBC Indonesia - Aliran modal asing yang terus masuk ke Amerika Serikat karena tingginya imbal hasil surat utangnya US Treasury, baik tenor jangka pendek dan panjang, turut disebabkan oleh kebutuhan pembiayaan AS untuk mendanai perang di kawasan Ukraina, maupun Israel.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung mengatakan hal itu. Menurutnya, ini yang juga menjelaskan yield US Treasury terus meninggi seiring dengan tingginya suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reserve, seiring inflasi yang masih terus tinggi akibat kenaikan harga komoditas energi dan pangan akibat peperangan itu.
"Yellen (menteri keuangan AS) secara eksplisit sudah menyebutkan dia akan mem-back up perang yang terjadi baik di Rusia maupun Timur Tengah, sehingga ini memerlukan pembiayaan politik, pembiayaan keamanan, sehingga ini juga pada akhirnya mendorong kenaikan yield, suku bunga di AS," kata Juda dalam acara Peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 41 di Solo, Senin (23/10/2023).
Kondisi ini, menurutnya, berdampak langsung bagi ekonomi Indonesia. Ditandai dengan terus keluarnya aliran modal asing dalam satu atau dua bulan terakhir. Akibatnya, nilai tukar rupiah juga terus melemah terhadap dolar AS karena likuiditas dolar otomatis ikut mengering di dalam negeri.
BI mencatat data transaksi pada 16 - 19 Oktober 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat berada dalam posisi jual dengan neto Rp5,36 triliun. Total ini terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di instrumen SRBI.
Adapun, selama 2023, transaksi asing masih tercatat di posisi beli neto Rp51,45 triliun di pasar SBN, namun tercatat jual neto Rp7,26 triliun di pasar saham. Sementara itu, untuk SRBI yang baru dirilis bulan lalu, asing tercatat beli neto Rp11,06 triliun
Nilai tukar rupiah pun ambruk dalam sesi perdagangan hari ini (23/10/2023) disaat capital outflow terjadi signfikan pekan lalu. Dilansir dari Refinitiv, rupiah menembus level psikologis Rp15.900/US$ melemah 0,19% dan bahkan di tengah perdagangan sempat menyentuh angka Rp15.914/US$. Posisi rupiah saat ini merupakan yang terlemah sejak 8 April 2020 atau sekitar 3,5 tahun terakhir.
"Dan dampaknya pada pelemahan nilai tukar bukan hanya Indonesia, tapi secara global karena tadi yield AS meningkat maka terjadi strong dollar, dolar menguat sehingga mata uang negara lain baik itu di advance country maupun emerging marker termasuk Indonesia mengalamai volatilitas yang sangat tinggi," ucap Juda.
Dia pun mengakui, permasalahan ini menjadi salah satu sebab BI akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate pada Oktober 2023 sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6%. Sebab, menurutnya BI harus mengambil langkah lain selain intervensi di pasar keuangan untuk meredam pelemahan rupiah.
"Tujuannya adalah untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar. Selama ini kita terus melakukan upaya stabilitas dengan intervensi di pasar, kita hadir di pasar tapi nampaknya dengan kenaikan yield AS yang begitu cepat, strong dollar yang begitu cepat, kita harus tambah amunisinya dengan menaikkan suku bunga kebijakan," kata Juda Agung.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Patahkan Tren Pelemahan, Rupiah Menguat Gegara Ini
