Sampai Kapan Dolar Menguat? Jawabannya Ada di Tangan AS

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
10 October 2023 08:44
ilustrasi uang
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren penguatan kurs dolar yang membuat nilai tukar rupiah ambles, berpotensi berlangsung dalam jangka waktu panjang. Kalangan bankir dan ekonom tidak melihat adanya potensi rebound kurs rupiah dalam waktu dekat.

Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, tertekannya rupiah yang hampir menyentuh level Rp 15.700 per dolar AS masih disebabkan sentimen pelaku pasar keuangan menantikan kejelasan arah suku bunga kebijakan The Federal Reserve (The Fed).

Pertemuan dewan gubernur bank sentral AS untuk menentukan arah suku bunga kebijakan dan bacaan terhadap kondisi AS yang sangat dinantikan pasar itu akan dilaksanakan dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) November 2023 mendatang.

"Yang pasti kalau kita lihat dalam jangka pendek tentunya market masih akan menunggu bagaimana hasil dari keputusan FOMC meeting yang paling dekat itu," ucap Andry dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (10/10/2023).

Andry mengatakan, para pelaku pasar keuangan sendiri belum bisa memastikan bagaimana arah kebijakan The Fed saat itu. Ia hanya mengungkapkan, setidaknya ada dua opsi yang kini tengah dipertimbangkan mereka.

Pertama ialah opsi akan terjadi kenaikan 25 basis poin Fed Fund Rate sehingga setara dengan kebijakan suku bunga BI-7 day reverse repo 5,75% pada November 2023, dan kedua, tidak ada kenaikan namun tingkat suku bunga acuan akan lebih tinggi dalam jangka waktu panjang.

"Nah ini yang kemudian tentu saja akan bisa menimbulkan spekulasi, bagaimana arah suku bunga ke depan dan penguatan dolar AS. Jadi kalau ditanyakan bagaimana kekuatannya dolar AS tentu saja tergantung dari bagaimana statement dari The Fed," ucap Andry.

Yang jelas, Andry mengatakan, berdasarkan panduan yang telah diumumkan dewan gubernur The Fed pada September 2023 lalu bahwa tren kebijakan suku bunga higher for longer itu akan terjadi. Tercermin dari rencana pemangkasan kebijakan suku bunga di AS yang semakin mengecil.

"Target di 2024 nanti itu pemangkasan suku bunga acuannya hanya 50 basis points dari targetnya mereka, sementara di bulan Juni yang lalu mereka masih memasang target pemangkasan suku bunga acuannya sampai di 100 basis," tegas Andry.

Senior Executive Vice President Treasury and International Banking BCA Branko Windoe menyatakan hal serupa. Menurutnya semua mata pelaku pasar keuangan saat ini tertuju pada Amerika Serikat, terutama setelah negara itu tak jadi resesi meski The Fed mendesain itu untuk meredam inflasi.

"Tadinya tuh melihat akhir tahun ini US resesi menjadi tidak resesi ya, terus habis itu yang tadinya bunga mestinya turun mulai akhir tahun ini sekarang kita lihat ada di 50:50," tutur Branko.

Hingga rupiah melemah seperti saat ini pun akibat dolar yang terus menguat, menurut Branko, belum sepenuhnya dibentuk keseluruhan sentimen pelaku pasar keuangan. Karena mereka masih mengesampingkan faktor arah suku bunga The Fed tadi.

"Chances di bulan November itu The Fed menaikkan 25 bps. Nah karena ini masih 50:50 chances nya ya, pasar ini belum price in semuanya ke dalam baik itu dolar ke rupiah maupun dolar terhadap the rest of the world," ucap Branko.

Apalagi, di tengah kondisi itu, imbal hasil atau yield dari US Treasury Bond tenor panjang terus naik. Jika imbal hasil dari surat berharga pemerintah AS terus naik tinggi, Branko menekankan otomatis valuasi aset lainnya di seluruh dunia akan ambles.

"Dia (yield US Treasury) tadinya inverted menjadi flat, terus apalagi kalau sekarang dia menjadi positively sloped yield curve dari UST. Nah itu adjustment di seluruh aset kategori di dunia ini akan menjadi negatif," tuturnya.

"Karena valuation itu selalu menggunakan discount yang terdiri dari risk free rate plus risk premiumnya, nah risk free rate-nya ini adalah US Treasury. Jadi kalau US Treasury tingkat suku bunganya naik automatically tingkat suku bunga di dunia ini akan menaik diskon rate juga akan naik," tegas Branko.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp 15.685/US$ atau melemah 0,51% terhadap dolar AS (9/10/2023). Posisi ini berkebalikan dengan penutupan perdagangan Jumat (6/10/2023) yang menguat 0,03%. Bahkan di tengah perdagangan, rupiah sempat melemah hingga menyentuh level psikologis baru yakni Rp15.700/US$.

Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Senin (9/10/2023) pukul 15.07 WIB, berada di posisi 106,56 atau naik 0,49% jika dibandingkan penutupan perdagangan Jumat (6/10/2023) yang berada di posisi 106,04.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular