Rupiah Tembus Rp15.600, 5 Ekonom Top Buka Suara!

Rosseno Aji Nugroho, CNBC Indonesia
Kamis, 05/10/2023 08:59 WIB
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Dolar Asia, Melawai, Blok M, Jakarta, Selasa, (3/10). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Garuda kembali menyerah terhadap keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan yang berakhir Rabu (4/10/2023), nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS ditutup di angka Rp15.625/US$, ambruk 0,32% secara harian.

Hal tersebut menandai rupiah telah melemah selama tiga hari berturut-turut, bahkan nilainya menjadi yang paling parah selama sembilan bulan terakhir.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan pelemahan rupiah dibayangi oleh sentimen bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) yang masih berpotensi meningkatkan suku bunga acuan pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) di akhir tahun ini.


Menurut Destry, ketidakpastian dari the Fed berpengaruh pada mata uang global, termasuk Indonesia. Ketidakpastian yang bersumber dari pernyataan pejabat the Fed ini membuat pasar hebok dan panik. Kondisi ini ditambah dengan kenaikan FFR sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Tingkat ini akan setara dengan suku bunga BI di 5,75%.

Alhasil, indeks dolar AS (DXY) naik dan imbal hasil SBN RI untuk 10 tahun naik hingga 4,7 poin menjadi 7,01%, tertinggi sejak 2007.

"Apa yang terjadi market kita ikut bergerak bond yield mulai naik, rupiah kita mulai tertekan," tegas Destry.

Di tengah kondisi ini, semua pihak pun menanti kebijakan BI dan pemerintah. Berikut ini rangkuman pandangan dan saran lima ekonom dan analis terkait pelemahan rupiah.

1. Bahana Sekuritas

Kepada CNBC Indonesia, Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat nilai tukar rupiah masih bersifat 'overvalued' mengingat defisit di neraca pembayaran dan selisih yang tipis antara suku bunga Indonesia dengan aset global lainnya.

"Bayangkan, mata uang rupiah di 2023 ini performanya sama dengan Hong Kong dollar yang bank sentralnya melakukan kebijakan 'peg' terhadap US dollar, padahal BI mengadopsi rezim mata uang 'floating'," kata Satria, dikutip Kamis (5/10/2023).

Dengan kata lain, menurutnya, BI melakukan intervensi yang cukup besar untuk mempertahankan nilai tukar rupiah di Rp 14.800 - 15.200 beberapa periode yang lalu hitungan kami nominal intervensinya minimal US$ 2 miliar per bulan, dalam periode Mei-September.

Dia mengungkapkan BI sekarang harus melepas rupiah ke 'fair value' yang lebih mencerminkan fundamentalnya. Langkah ini juga mesti dibarengi oleh kenaikan BI rate untuk meningkatkan kepercayaan pasar dan memperhalus depresiasi nilai tukar rupiah.

"Setelah itu, maka aliran dollar dari asing akan masuk," tegasnya.

2. Bank Mandiri

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro menilai pembalikan (rebound) rupiah semua tergantung pada pernyataan the Fed ke depan, terutama terkait dengan inflasi dan target Fed Fund Rate.

"kalo inflasi AS masih tinggi, tekanan penguatan USD juga masih besar," ungkapnya saat dihubungi CNBC Indonesia.

Adapun, dalam kondisi saat ini, Andry melihat BI dan pemerintah perlu terus menjaga likuiditas di pasar domestik. Dalam hal likuiditas valas, dia menegaskan kedua pihak perlu memastikan DHE benar-benar masuk. Untuk likuiditas rupiah, dia berharap ada percepatan belanja Pemerintah di kuartal IV ini.

"Belanja pemerintah ini akan membantu tambahan likuiditas di domestik," kata Andry.

3. CIMB Niaga

Ekonom CIMB Niaga Mika Martumpal mengatakan penguatan dolar AS bisa mereda di akhir tahun. Dengan catatan, kondisi nada kebijakan the Fed berubah menjadi 'less hawkish' setelah FOMC di bulan November. Seperti diketahui, pasar memperkirakan the Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sekali lagi pada November mendatang menjadi 5,50% - 5.75%.

"Apabila di meeting November atau Desember gitu ya, Fed tone-nya berubah agak less hawkish maka kemungkinan dolarnya bisa turun di akhir tahun. Jadi menurut saya kita masih benar-benar menunggu data by data," ujarnya.

Namun demikian, Mika meyakini tugas otoritas moneter, bank sentral, akan cukup berat. BI harus mampu menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat pasca-Covid dan juga menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah naiknya atau tingginya tingkat suku bunga negara maju, khususnya di Eropa dan AS.

"Saya pikir mungkin opsi yang bisa dimunculkan oleh BI adalah mendorong naik instrument di money market atau di pasar uang melalui instrumen operasi moneter yang tenornya 2 minggu sampai 1 tahun. Kalau kita bisa lihat instrumenya itu, antara lain reverse repo dan SRBI, di situ artinya BI bisa menyeimbangkan antara kebutuhan untuk kebijakan moneter yang akomodatif untuk ekonomi di dalam negeri dengan mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo," kata Mika.

Sementara itu, di sisi lain, dia melihat lebih tingginya suku bunga di money market itu bisa meningkatkan daya tarik dari aset-aset dalam rupiah atau nilai tukar rupiah itu sendiri.

4. Bank Danamon

Nilai tukar rupiah memang semakin ambruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Meski demikian, Mata Uang Garuda itu dinilai masih menjadi best performing currency.

Menurut Irman Faiz Ekonom Bank Danamon Rupiah dinilai masih memiliki resistensi yang lebih tinggi dibanding mata uang negara peers, karena faktor fundamental yang baik.

"Kita tahu kita punya inflasi di domestik, jauh lebih rendah dari negara peers. Bahkan, pada september lalu, inflasi kita jauh lebih rendah dari 2,5%," paparnya kepada CNBC Indonesia.

Kemudian, lanjut Irman, RI memiliki real yield aset domestik yang menarik dan current account yang defisitnya minim. Namun, Irman mengingatkan adanya hal yang perlu diwaspadai bersama, yaitu pelemahan rupiah yang lebih dalam dari ringgit Malaysia, meskipun lebih baik dari baht Thailand.

Dalam hal ini, dia berharap BI terus melakukan triple intervention dan responsif menerbitkan instrumen baru, salah satunya SRBI.

5. Bank BJB

Jhon Habibie Barus Advisor Treasury & Capital Market Bank BJB menilai indikator ekonomi di Indonesia, a.l. inflasi yang terkendali dan pertumbuhan ekonomi 5% sangat cukup baik. Sayangnya, pelemahan rupiah tidak bisa dihindari karena hal ini berasal dari eksternal.

Dalam kondisi ini, dia melihat hal pertama yang harus dilakukan BI dan pemerintah adalah menjaga kondisi ekonomi.

"Dengan kondisi ekonomi baik. Kemudian kebijakan-kebijakan seperti yang tadi disampaikan dan sudah dilakukan juga oleh BI dengan mencoba menaikan yield di instrumen jangka pendek. Seperti SRBI yang 6,4% sekitar itu ya. Itu yang diharapkan bisa menarik minat investor asing," ujarnya.

Jhon yakin investor akan tetap masuk. Saat ini, mereka hanya wait and see.

"Makanya saya pikir yang bisa dilakukan oleh BI adalah terus melakukan yang sudah dilakukan sekarang aja dan kebijakan-kebijakannya menurut saya udah cukup baik, tinggal terus dijaga. Dan saya yakin begitu Fed levelnya agak netral, akan banyak asing yang masuk Indonesia," tegas Jhon kepada CNBC Indonesia.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: "Syarat" Suku Bunga BI Bisa Turun Lebih Cepat Dari The Fed