Rupiah Ambruk 3 Hari Beruntun, Dolar Kini Sudah Rp15.625

rev, CNBC Indonesia
04 October 2023 15:46
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat dipicu oleh sentimen masih akan tingginya suku bunga bank sentral AS (The Fed).

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.625/US$ atau melemah 0,32% terhadap dolar AS. Hal ini melanjutkan tren pelemahan rupiah dan terjadi selama tiga hari berturut-turut.

Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Rabu (4/10/2023) berada di posisi 106,91 atau turun 0,08% jika dibandingkan penutupan perdagangan Selasa (3/10/2023) yang berada di posisi 107.

Sentimen di pelaku pasar ini mencuat setelah berubahnya arah kebijakan moneter The Fed dari yang sebelumnya pada saat Federal Open Market Committee (FOMC) September 2023 membuka peluang untuk kembali mengambil kebijakan moneter longgar atau dovish setelah inflasi mulai bergerak turun, menjadi kembali mengetat atau hawkish.

"Tiba-tiba dua hari yang lalu salah satu board membernya menyampaikan ini inflasi masih tinggi di atas, kita melihat nampaknya The Fed harus pertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lama," kata Destry di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (4/10/2023).

Penyebab berubahnya arah kebijakan The Fed ini, menurut Destry, karena adanya indikasi inflasi masih akan terus tinggi disebabkan harga minyak yang terus meninggi hingga tawaran upah yang juga tinggi, khususnya di sektor jasa yang tengah berkembang di negara itu karena terbatasnya tenaga kerja di sektor itu.

"Gara-gara itu semuanya heboh, panik, akibatnya DXY, dolar index naik 107, lebih parahnya lagi bond yieldnya US Treasury 10 tahun naik ke 4,7%, itu the highest ever since 2007. Apa yang terjadi? Market kita ikut bergerak, sehingga bond yield kita ikut naik, rupiah kita mulai tertekan," tegas Destry.

Di tengah tekanan dari eksternal, pada dasarnya kondisi fundamental ekonomi Indonesia berada dalam kategori baik-baik saja. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dapat dijaga di angka 5%an hingga inflasi yang turun ke posisi 2,28% (year on year/yoy).

"Ini kondisi global, yang sebenarnya kita everything's okay di domestik, relative aman, kita masih bisa tumbuh 5,17% di kuartal II, kita masih expect ekonomi tumbuh wholeyear 2023 kita perkirakan dalam range 4,7-5,3 %, nampaknya deket deket 5 persen masih bisa dicapai," ujar Destry.

Untuk kebijakan moneter sendiri, ia menekankan, bagi BI sudah cukup level BI-7 day reverse repo rate di level 5,75% untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, serta tingkat inflasi ke depan.

"Kami di bank sentral aware dengan pertumbuhan 5%. Kita enggak bisa terlena begitu saja, kita harus tetap aware bahwa gejolak pasti masih ada ketidakpastian ada, oleh karena itu dalam membuat suatu kebijakan enggak mudah kalau kita hanya gunakan satu tools saja seperti yang digunakan di negara-negara maju, moneter saja, suku bunga," ucap Destry.

Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro mengungkapkan peluang rebound rupiah akan bergantung pada pernyataan The Fed soal inflasi dan target Fed Fund Rate.

"Kalau inflasi masih tinggi, tekanan penguatan USD juga masih besar," paparnya.

Dalam kondisi ini, dia berharap BI dan pemerintah bisa terus berkolaborasi menjaga likuiditas. Adapun, devisa hasil ekspor atau DHE harus dipastikan benar-benar masuk di pasar Indonesia. Kedua, perlu ada percepatan belanja pemerintah di kuartal IV ini. Andry menilai belanja pemerintah akan membantu tambahan likuiditas di domestik.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular