Tak Cuma Rupiah, Mata Uang Negara Besar Juga Tumbang
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia bergerak mix terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (27/9/2023) di tengah kekhawatiran pasar perihal sikap bank sentral AS (The Fed).
Dilansir dari Refinitiv, pukul 09.22 WIB, menunjukkan terjadi pelemahan dan penguatan terhadap beberapa mata uang di Asia. Terpantau ringgit Malaysia menjadi yang paling parah pelemahannya secara harian yakni sebesar 0,32%, sedangkan baht Thailand berada di posisi kedua dengan terdepresiasi sebesar 0,16%.
Sebagai catatan, rupiah dibuka menguat 0,06% terhadap dolar AS di angka Rp 15.475/US$ dan setelah beberapa menit kemudian, level psikologis baru pun telah ditembus dan sempat menyentuh posisi Rp15.511/US$. Posisi tersebut merupakan yang terlemah sejak 10 Januari 2023 atau sekitar delapan bulan terakhir.
Pelemahan ini terjadi akibat sikap The Fed yang tampaknya akan hawkish untuk ke depannya khususnya hingga penghujung tahun 2023. Tendensi sikap hawkish The Fed ini disampaikan Gubernur The Fed Jerome Powell pada pertemuan Federal Open Meeting Committee (FOMC) yang akan diselenggarakan pada September 2023.
Bukan tanpa alasan The Fed bersikap hawkish, mengingat target inflasi AS yakni 2%. Untuk diketahui, AS mencatatkan inflasi sebesar 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.
Hal ini semakin dipertegas oleh Jerome Powell yang mengatakan bank sentral tidak akan ragu untuk menaikkan suku bunga, atau setidaknya mempertahankannya pada tingkat yang lebih tinggi, jika inflasi tidak berada pada lintasan yang lebih rendah secara berkelanjutan, sebuah realitas yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Investor masih mengantisipasi, memasang mode wait and see terkait sinyal suku bunga ke depan dari pidato pejabat The Fed dan rilis data ekonomi penting yang menggambarkan kondisi ekonomi AS.
Selain itu, hari ini akan dirilis data ekonomi penting diantaranya data pesanan barang di AS untuk periode Agustus 2023. Untuk diketahui, pesanan baru untuk barang-barang tahan lama yang diproduksi di AS anjlok sebesar 5,2% pada Juli 2023, menyusul pertumbuhan yang direvisi turun sebesar 4,4% pada bulan Juni dan melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 4,0%.
Sementara khusus bagi Indonesia, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto mengatakan kepada CNBC Indonesia, bahwa selain aspek global sebagai penyebab pelemahan rupiah, juga ada dampak dari repatriasi deviden, khususnya akhir bulan ini akan ada kebutuhan dolar AS yang mendorong pelemahan rupiah.
Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menambahkan, periode pencairan dividen setiap tahunnya terjadi pada Mei dan September 2023. Mei untuk dividen pertengahan tahun, sedangkan September keseluruhan tahun.
Permintaan dolar AS di dalam negeri akan meningkat 1-2 bulan sebelum pencairan dividen. Ini juga yang menjadi alasan rupiah berada dalam tren pelemahan hingga saat ini, selain efek sentimen global.
Kendati demikian, BI menyatakan pelemahan ini terjadi sementara. Fundamental ekonomi dalam negeri yang semakin membaik akan mendorong penguatan rupiah ke depannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(rev/rev)