
Mata Uang Asia Longsor Berjamaah, Rupiah Paling Buruk

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang utama Asia melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (14/8/2023) di tengah banyaknya sentimen negatif yang datang dari faktor eksternal.
Dilansir dari Refinitiv, pukul 10.04 WIB, menunjukkan terjadi pelemahan terhadap mata uang di Asia terhadap dolar AS. Terpantau Rupiah Indonesia menjadi yang paling parah pelemahannya secara harian yakni sebesar 0,76%. Sedangkan Yen Jepang melemah tipis sebesar 0,01%.
Sebagai informasi, Rupiah dibuka melemah 0,42% terhadap dolar AS di angka Rp15.275/US$1 bahkan sempat melemah hingga melewati level Rp15.300/US$1. Titik terlemah disentuh oleh rupiah di posisi Rp15.337/US$1 atau melemah 0,83% yang menjadi posisi terlemah sejak 23 Maret 2023.
Pelemahan mata uang Asia tak lepas dari hasil data inflasi Amerika Serikat (AS) yang mengalami kenaikan pekan lalu.
Indeks Harga Konsumen (CPI) AS mencapai 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Juli 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3% yoy dan di bawah ekspektasi pasar yakni 3,3% yoy. Ini adalah kenaikan inflasi tersebut menjadi yang pertama kali dalam setahun terakhir, setelah dalam 12 bulan berturut-turut mencatatkan penurunan CPI.
Adapun, inflasi inti- di luar kelompok bergejolak- tercatat sebesar 4,7% YoY pada Juli 2023, turun tipis dari dari bulan sebelumnya dan ekspektasi ekonom sebesar 4,8%% yoy.
Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi AS pada Juli 2023 tercatat sebesar 0,2%, tak berubah dari bulan sebelumnya dan sesuai dengan ekspektasi pasar.
Sedangkan Indeks Harga Produsen (PPI) naik melampaui ekspektasi pasar. PPI pada Juli 2023 ecara tahunan meningkat ke 0,8% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,2% yoy dan ekspektasi pasar yang memperkirakan tumbuh 0,7% yoy.
Sementara inflasi produsen inti berada di 2,4% yoy, stagnan dibandingkan bulan sebelumnya tetapi lebih tinggi dari perkiraan sebesar 2,3%.
Data inflasi produsen yang berada di atas ekspektasi nampaknya tidak terlalu direspon pasar. Pasalnya, dari target Bank Sentral AS (The Fed) yang memasang di angka 2% nilai inflasi inti masih jauh.
Kenaikan inflasi AS ini berdampak pada tendensi sikap hawkish The Fed pada pertemuan Federal Open Meeting Committee (FOMC) yang akan diselenggarakan pada September 2023.
Berdasarkan CME Fedwatch Tool pada 13 Agustus 2023 pukul 10.24 CT menunjukkan bahwa 88,5% The Fed akan menahan suku bunganya dan tetap di 5,25-5,50%. Sedangkan 11,5% mengatakan akan mengalami kenaikan sebesar 25 bps menjadi 5,50-5,75%.
Jika The Fed menaikkan suku bunganya, maka dolar AS akan semakin kuat dan mata uang Asia lainnya akan melemah. Hal ini terjadi dana asing akan semakin deras membanjiri pasar keuangan AS karena imbal hasil yang lebih menarik.
The Fed akan merilis risalah Federal Open Market Committee (FOMC) Juli akan keluar pada pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (17/8/2023). Risalah ini diharapkan bisa memberi petunjuk lebih kepada pelaku pasar mengenai kebijakan suku bunga The Fed ke depan.
Dalam rapat FOMC bulan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,25-5,5%% dan memberi sinyal akan ada kenaikan suku bunga ke depan. Risalah FOMC diharapkan bisa memberi tahu lebih jelas berapa kira-kira kenaikan suku bunga ke depan serta kapan kenaikannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tenang! Rupiah Tak Sendiri, Mata Uang Asia Ambruk Berjamaah