Kisruh Kawasan Hotel Sultan, Seberapa Kaya Pontjo Sutowo?

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
11 September 2023 14:53
Hotel Sultan Jakarta. (Dok. hotelsultanjakarta)
Foto: Hotel Sultan Jakarta. (Dok. hotelsultanjakarta)

Jakarta, CNBC Indonesia — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan status Hak Guna Bangunan (HGB) Kawasan Hotel Sultan, Gelora Bung Karno (GBK) atas nama PT Indobuildco resmi berakhir. Perusahaan itu merupakan milik Pontjo Sutowo.

Mahfud MD menerangkan, berdasarkan keputusan rapat koordinasi, perubahan status aset negara berupa lahan seluas 13,6 hektare di kawasan GBK ini selain sudah berakhir juga sudah resmi menang di pengadilan. Maka demikian, perusahaan diminta untuk segera mengosongkan hotel yang sekarang jadi milik negara itu.

Adapun PT Indobuildco merupakan perusahaan swasta milik keluarga mantan Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo. Indobuildco saat ini dipimpin oleh anaknya, Pontjo Sutowo.

Mengutip buku "Pontjo Sutowo: Pengusaha yang Terpanggil" dari situs Universitas Stekom, Pontjo lahir tanggal 17 Agustus 1950 dan mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung jurusan mesin. Namun setelah setahun, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan memilih untuk bekerja.

Kiprah Pontjo di dunia bisnis dimulai dengan membangun perusahaan pembuatan kapal bernama PT Adiguna Shipyard dengan dukungan modal dari ayahnya. Perusahaan itu didirikan pada tahun 1970, dan Pontjo menjabat sebagai direktur utama.

Sejak tahun 1972 PT Adiguna Shipyard telah menghasilkan 500 kapal dengan bobot mati terbesar 3.500 DWT (deadweight tonnage). Ini membuat harta Pontjo pada tahun 2018 sebesar US$ 265 juta atau Rp 4,05 triliun (kurs Rp 15.300/dolar AS).

Sekitar tahun 1980an, ia kemudian memulai kiprahnya di bisnis perhotelan, yakni dimulai di Hotel Hilton yang sekarang bernama Hotel Sultan itu. Ia mengambilalih seluruh pelaksanaan manajemen hotel yang saat itu bermasalah pada tahun 1982.

Kontroversi kepemilikan hotel itu pun bermula sejak tahun 1970an.

Berdasarkan arsip Gatra (2005), cerita bermula ketika Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, menerima kabar bahwa Jakarta jadi tuan rumah konferensi pariwisata se-Asia Pasifik yang akan dihadiri sekitar 3.000 orang. Karena tak memiliki banyak hotel berskala internasional, Ali mengajukan surat kepada Pertamina ihwal pembangunan hotel untuk menjamu para tamu pada 1971.

Selain karena tidak boleh dibangun pihak swasta, permintaan kepada Pertamina disebabkan karena BUMN itu sedang berada di masa kejayaan dan banyak uang. Perlu diketahui, pada tahun 1970-an, Pertamina tertimpa 'durian runtuh' karena harga minyak dunia di pasar global sedang meningkat, atau dalam istilah ekonomi disebut oil boom.

Permintaan ini kemudian disetujui oleh Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (1968-1978). Singkat cerita, pada 1973 ia membangun hotel tersebut di kawasan Senayan di bawah bendera PT Indobuild Co.

Dalam kesaksian Ali Sadikin, berdasarkan arsip Detik (30/1/2007), dia awalnya percaya kalau PT Indobuild Co milik Pertamina. Namun, saat hotel tersebut berdiri pada 1976 dia merasa ditipu Sutowo karena ternyata PT Indobuild Co bukan milik BUMN tersebut.

"Saya baru tahu Indobuild Co itu bukan Pertamina. Iya, saya tertipu," kata Ali Sadikin.

Hotel tersebut kemudian bekerja sama dengan jaringan hotel internasional, Hilton Hotels Corporation, yang membuat hotel di Senayan itu diberi nama Hotel Hilton. Dari sinilah awal kontroversi hotel yang kini disebut Hotel Sultan itu.

Pemerintah memperbolehkan pihak swasta membangun dan mengelola bangunan di lahan negara. Bahkan, PT Indobuild Co diberi HGB selama 30 tahun. Dengan kata lain, hotel tersebut bukan menjadi milik negara, tetapi malah dikendalikan keluarga Sutowo.

Pada masa Orde Baru tentu tidak ada yang berani menggugat hal ini. Terlebih, Ibnu sendiri dikenal sebagai "untouchable man" karena berhasil lolos dari jeratan hukum.

Keputusan ini tentu tidak terlepas dari kedekatan Ibnu dan Presiden Soeharto. Mengutip Richard Robinson dalam Power and Economy in Suharto's Indonesia (1990), selama menjadi bos Pertamina dia dikenal sebagai raja minyak dan tangan kanan Soeharto.

Semua ini berubah ketika Soeharto lengser dan reformasi membuka keran kebebasan. Keberadaan hotel tersebut digugat. HGB yang habis pada 2003 menandai awal mula pertempuran pemerintah melawan keluarga Sutowo. Semua ini dilakukan untuk merebut kembali kepemilikan Hotel Sultan setelah beberapa tahun dikelola swasta.


(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mahfud Desak Perusahaan Pontjo Sutowo Hengkang dari Lahan GBK

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular