Kronologi Kisruh Pontjo Sutowo Vs Pemerintah di Hotel Sultan

Romys Binekasri, CNBC Indonesia
02 October 2023 07:45
Hotel Sultan Jakarta. (Dok. hotelsultanjakarta)
Foto: Hotel Sultan Jakarta. (Dok. hotelsultanjakarta)

Jakarta, CNBC Indonesia - Polemik antara PT Indobuildco milik Pontjo Sutowo yang mengelola Hotel Sultan dan pemerintah masih terus bergulir. Perusahaan tersebut menolak untuk melakukan pengosongan hotel yang berada di Blok 15 kawasan Gelora Bung Karno (GBK) tersebut.

Kuasa Hukum PT Indobuildco Yosef Benediktus Badeoda mengatakan bahwa kliennya menolak pengosongan Hotel Sultan karena tidak ada dasar putusan pengadilan ataupun penetapan eksekusi pengosongan.

Adapun pengosongan hotel tersebut atas permintaan Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) di bawah Sekretariat Negara (Setneg) meminta PT Indobuildco karena Hak Guna Bangunan (HGB) sudah habis pada Maret-April 2023.

"Jadi apa yang mau dikosongkan? Setneg sudah ajukan somasi pengosongan tapi kita sudah membantahnya," kata Yosef dalam pernyataan resminya, dikutip Senin (2/10).

Jatuh tempo yang diberikan untuk pengosongan sebenarnya sampai 29 September 2023. Namun hingga saat ini suasana di Hotel Sultan masih terpantau normal dan tidak ada tanda-tanda pengosongan.

Yosef menjelaskan, terkait HGB yang habis, PT Indobuildco telah mengajukan pembaruan HGB kepada Kementerian ATR/BPN untuk jangka waktu 30 tahun lagi setelah mengelola selama 50 tahun terakhir hotel tersebut.

Pihaknya mengacu pada pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, di mana HGB di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun, diperpanjang paling lama 20 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.

"Pembaruan diajukan ke Kanwil ATR/BPN DKI Jakarta sebagai instansi yang berwenang memberikan hak atas tanah. Kenapa harus ke PPK GBK? Pemberian hak dan perpanjangan hak atas HGB No. 26/27 diberikan oleh Kanwil ATR/BPN, bukan oleh PPK GBK," ucap Yosef.

Namun, Yosef mengakui pembaruan yang diajukan PT Indobuildco atas HGB belum disetujui. Sebab Kementerian ATR/BPN meminta permohonan tersebut dilengkapi dengan rekomendasi Setneg.

"Kita nggak mau karena HGB kita bukan berdiri di atas HPL No. 1 Gelora. Saat ini kedua pihak sedang menjajaki pertemuan untuk cari solusi," pungkasnya.

Kronologi lengkap

Polemik antara perusahaan milik Pontjo Sutowo dengan pemerintah bermula pada tahun 2006. Saat itu, perusahaannya melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Mengutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 952/PDT.G/2006/PN.

Pontjo melayangkan gugatan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Mensetneg selaku Ketua BDN Pengelola GOR Bung Karno, Jaksa Agung, Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta, dan Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Jakarta Pusat.

Merujuk pada salinan putusan gugatan tersebut, pada 1971 Indobuildco diberi tugas oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun gedung konferensi yang bertaraf internasional dengan segala kelengkapannya. Indobuildco juga ditugaskan membangun hotel internasional yang harus selesai pada 1974.

Atas hal itu , PT Indobuildco melakukan perjanjian dengan Pemda DKI Jakarta dengan sejumlah poin. Perjanjian tersebut ditandatangani 19 Agustus 1971.

Salah satu poin perjanjian adalah Indobuildco mendapatkan izin penggunaan lahan seluas 13 hektare dengan membayar kepada Gubernur US$ 1,5 juta untuk jangka waktu 30 tahun. Pada saat penandatanganan perjanjian dilakukan pembayaran sebesar US$ 100.000.

Dalam perjanjian itu, juga disebutkan Gubernur DKI Jakarta akan membantu soal penyelesaian tanah dan perizinan dan semua biaya dibebankan kepada penggugat. Dituliskan pula, masalah tanah sepenuhnya menjadi tanggung jawab gubernur.

Beberapa tahun kemudian, pada 3 Agustus 1972 terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 181/HGB/Da/72 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tentang Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan Pontjo untuk jangka waktu 30 tahun.

Namun, kemudian HGB tersebut dipecah menjadi dua yakni nomor 26/Gelora tanah seluas 57.120 meter persegi dan HGB Nomor 27/Gelora seluas 83.666 meter persegi. Kedua HGB itu memiliki masa berakhir pada 4 Maret 2003.

Lalu pada tahun 2002, PT Indobuildco mengklaim telah melakukan perpanjangan terhadap kedua HGB tersebut.

Perpanjangan tersebut diklaim telah disetujui selama 20 tahun berdasarkan surat keputusan Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta. Perpanjangan tersebut turut diklaim telah dicatat pada Buku Tanah dan sertifikat kedua HGB diatasnamakan penggugat.

Namun, ternyata ada Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Sekretariat Negara Republik Indonesia cq Badan Pengelolaan Gelanggang Olah Raga Senayan.

Hal tersebut yang mendasari gugatan oleh pihak Pontjo. Dalam salah satu petitumnya, penggugat juga meminta agar surat keputusan Kepala BPN itu dinyatakan cacat hukum.

Pada 2007, hakim pun membacakan vonis atas gugatan yang dilayangkan PT Indobuildco. Dalam vonisnya, hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagian.

Hakim menyatakan surat perpanjangan HGB oleh Indobuildco sah menurut hukum. Sementara SK Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 adalah tidak sah dan cacat prosedur.

Menurut hakim, SK tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yakni asas kejujuran, asas kecermatan, dan asas kepastian hukum karena telah memasukkan tanah Hak Guna Bangunan nomor 26/Gelora dan Hak Guna Bangunan Nomor 27/Gelora ke dalam lingkup hak pengelolaan lahan.

Atas putusan itu, Setneg pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Banding tersebut diterima, tapi putusannya menguatkan vonis PN Jakarta Selatan.

Selain itu, pemerintah lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak kasasi yang terdaftar dengan nomor perkara 270 K/PDT/2008 tanggal 18 Juni 2008. Pemerintah terus melanjutkan langkah hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

MA pun mengabulkan PK ini dan membatalkan putusan MA nomor 270 K/PDT/2008 tanggal 18 Juni 2008 dan putusan PT DKI Jakarta nomor 262/Pdt/2007/PT.Jkt tanggal 27 Agustus 2007 yang memperbaiki putusan PN Jaksel nomor 952/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Sel tanggal 8 Januari 2007.

Dalam putusan PK itu, salah satu pertimbangan MA mengabulkan permohonan pemerintah adalah kasus hukum yang menyeret Robert Jeffrey Lumempouw selaku Kepala Kanwil BPN Jakarta. Dia adalah pihak menerbitkan perpanjangan HGB.

Dalam kasus ini, Robert dinyatakan bersalah karena telah menyalahgunakan wewenang dalam memperpanjang HGB Nomor 26/Gelora dan Nomor 27/Gelora.

Tidak tinggal diam, Indobuildco melawan dengan mengajukan peninjauan kembali. Total, perusahaan Pontjo telah mengajukan PK sebanyak tiga kali. Masing-masing terdaftar dengan Nomor 187 PK/Pdt/2014 tanggal 19 Desember 2014, nomor 837 PK/Pdt/2020 tanggal 4 Desember 2020, dan nomor 408 PK/Pdt/2022 tanggal 21 Juni 2022.

Akan tetapi, tiga PK yang diajukan oleh perusahaan Pontjo itu tidak diterima oleh hakim.

Tak berhenti, pada 2023 Pontjo lantas melayangkan gugatan terhadap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terkait pengelolaan Blok 15 kawasan GBK atau Hotel Sultan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Melansir dari laman SIPP PTUN Jakarta, majelis hakim menyatakan gugatan Pontjo dengan Nomor Perkara 71/G/2023.PTUN.JKT ditolak seluruhnya.

Dalam perkara ini, Pontjo meminta agar majelis hakim mencabut Keputusan Kepala BPN Nomor 169/hpl/bpn/1989 terkait pemberian hak pengelolaan kepada Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan.

Selain itu, Pontjo meminta agar Kakanwil ATR/BPN menerbitkan pembaharuan HGB kepada PT Indobuildco yang telah berakhir pada 4 Maret 2003 lalu.

Pemerintah bakal ambil alih Hotel Sultan

Kini, pemerintah secara gamblang telah menyatakan bakal mengambil alih Hotel Sultan dari PT Indobuildco milik Pontjo. Bahkan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan pihaknya akan mengawal proses ini.

"Langkah selanjutnya adalah negara akan mengambil langkah untuk mengambil kembali hak terhadap lahan atau aset, tentunya Polri akan mengawal proses yang akan dilaksanakan untuk mengembalikan aset lahan atau lahan tersebut kepada negara," kata Listyo di Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (8/9).

Di sisi lain, Listyo menyebut ada potensi pidana baru terkait sengketa lahan tersebut. Potensi pidana baru itu, meliputi pidana umum maupun terkait UU Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor).

"Kami juga melihat ada keputusan yang bersifat eksekutorial yang tak dilaksanakan oleh PT Indobuildco dan ini memunculkan potensi pidana baru. Mulai pidana umum maupun yang terkait UU Tipikor," ujarnya.

Sementara itu, tim kuasa hukum Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) Saor Siagian menegaskan PT Indobuildco sudah tidak memiliki hak atas lahan tersebut.


(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Profil Pontjo Sutowo, Orang di Balik Sengketa Hotel Sultan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular