Era Suku Bunga Tinggi, OJK Minta Bank Perkuat Pencadangan

Zefanya Aprilia & Muhammad Khadafi, CNBC Indonesia
Kamis, 07/09/2023 09:55 WIB
Foto: Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara dalam Economic Update yang berlangsung pada Rabu, (12/7/2023). (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta bank memperkuat pencadangan seiring dengan potensi risiko selama periode suku bunga yang relatif tinggi. 

Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia masih menahan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada level 5,75% sejak Januari 2023. Bank Sentral mengerek suku bunga acuan sebesar 225 basis poin (bps) hanya dalam 6 bulan atau pada periode Agustus 2022 hingga awal tahun ini.

"OJK meminta perbankan mempersiapkan pencadangan (CKPN) yang memadai untuk mengantisipasi terjadinya potensi peningkatan risiko selama masa periode suku bunga yang relatif tinggi," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Juli 2023, dikutip Kamis (7/9/2023).


Saat ini industri perbankan Indonesia terbilang dalam kondisi yang kuat. Pada Juli 2023, kredit tumbuh sebesar 8,54%, menguat dibandingkan dengan capaian bulan sebelumnya. 

Pun kredit masih memiliki ruang untuk tumbuh, seiring dengan posisi likuiditas yang terjaga. Kendati terus menurun sejak awal tahun, posisi rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) masih jauh di atas batas bawah, yakni 118,37% dan 26,57%. Sebagai informasi batas bawah AL/NCD dan AL/DPK adalah 50% dan 10%.

Sementara itu, kualitas kredit turun tipis. Rasio nonperforming loan (NPL) gross naik 10 basis poin (bps) menjadi 2,51%, sedangkan rasio NPL net naik 3 bps menjadi 0,8%. Kendati demikian kredit dalam risiko (loan at risk/LAR) turun 58 bps menjadi 12,59%.

Adapun kondisi domestik yang masih meyakinkan, kontras dengan situasi global. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan saat ini kondisi perekonomian global masih dilanda ketidakpastian.

Divergensi perekonomian global masih berlanjut dengan kondisi Amerika Serikat (AS) yang masih resilient. Meningkatnya ekspektasi kebijakan moneter The Fed yang masih mengetat, momentum pemulihan ekonomi Tiongkok termoderasi di bawah ekspektasi. Selain itu deflasi sektor properti di Negeri Tirai Bambu tersebut kembali menjadi pemicu ketidakpastian dunia.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, raksasa properti asal Chinaa tersebut mengalami gagal bayar sebesar US$340 miliar atau sebesar Rp 4.400 triliun pada tahun 2021 lalu. Buntutnya, pada Jumat, (18/8/2023), Evergrande mengumumkan kebangkrutannya.

Kemudian Country Garden Holdings Co., pengembang yang pernah menjadi pilar industri, berada di ambang gagal bayar (default), sehingga menunjukkan bahwa tidak ada perusahaan yang terlalu besar untuk gagal.

Menilik pada kasus awalnya di 2021, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menilai eksposur kebangkrutan Evergrande tidak akan sebesar Lehman Brothers pada 2008 lalu. Namun, Indonesia perlu mewaspadai potensi spill over yang bermuara ke pelemahan ekspor, ekuitas hingga rupiah.

"China adalah konsumer terbesar komoditi Indonesia. Itu bisa berpengaruh ke harga komoditas Indonesia. jadi berpengaruh ke potensi ekspor ke China," jelas Andry dalam Mandiri economic Outlook, pada Selasa, (22/8/2023).


(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bankir Putar Otak Genjot Kredit Saat Daya Beli & Ekonomi Lesu