Pertumbuhan DPK Melambat, Alarm Likuiditas Bank Menyala?

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
14 August 2023 11:45
Warga melakukan transaksi penarikan uang di salah satu ATM di Jakarta, Kamis (30/3/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Warga melakukan transaksi penarikan uang di salah satu ATM di Jakarta, Kamis (30/3/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam tren melambat sepanjang paruh pertama tahun ini.

Berdasarkan data Bank Indonesia, per Juni 2023 DPK hanya tumbuh 6,4% secara tahunan (yoy). Nilai tersebut melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tumbuh 6,9% yoy.

Sebagai informasi, awal tahun pertumbuhan DPK masih menyentuh angka 8,5% yoy dan sempat lebih dari 9% yoy pada Februari.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin mengatakan bahwa melambatnya pertumbuhan DPK pada tahun ini akan menjadi masalah bagi bank menengah dan kecil. Sementara itu bagi bank besar akan menjadi isu apabila tren berlanjut dalam jangka panjang.

"Kalau bicara ke depan tren masih akan sama. Tumbuh tapi landai. Problemnya banyak," katanya, Jumat (11/8/2023).

Dia menjabarkan bahwa ada tiga isu utama yang menyebabkan pertumbuhan DPK melambat. Pertama, literasi pasar keuangan di Indonesia yang semakin baik dan semakin banyak instrumen investasi lain seperti saham dan kripto.

Selain itu, saat ini ekonomi mulai membaik dan banyak pelaku usaha yang mulai memutar uangnya untuk bisnis. Mereka melihat kondisi positif jadi mereka mulai menjalankan usaha," kata Amin.

Alasan ketiga, banyak pesaing di luar industri perbankan, seperti fintech, termasuk juga bank perekonomian rakyat (BPR) yang sudah diizinkan menjalankan bisnisnya seperti bank umum.

Adapun Amin memperkirakan tren pertumbuhan DPK yang melambat masih akan berlangsung hingga akhir tahun. Pasalnya The Fed masih dalam tren menaikkan suku bunga acuan. Pada akhirnya Bank Indonesia ikut mengerek BI rate dan membuat bank tidak mudah menjual DPK dengan harga murah.

Hal tersebut membuat bank kesulitan mencari margin, karena belum bisa mengerek suku bunga kredit secara agresif.

Sebagai informasi, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 225 basis poin (bps) menjadi 5,75% pada periode Juli 2022-Januari 2023.

Kendati demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan kondisi likuiditas bank masih melimpah. Hal itu terlihat dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) tetap tinggi yakni 26,73% pada Juni 2023. Kendati turun dari posisi Mei 2023 27,52%, posisi AL/DPK Juni masih di atas batas bawah 10%.

Guyuran Likuiditas Bank Sentral

Di tengah melambatnya pertumbuhan DPK, Bank Indonesia mengeluarkan insentif berupa potongan kewajiban setoran giro wajib minimum (GWM) hingga 4% dari sebelumnya 9%.

Namun, insentif ini diberikan jika bank-bank bisa menyalurkan kredit atau pembiayaan ke sektor-sektor prioritas di atas 3-7%, seperti hilirisasi minerba, hilirisasi non-minerba, perumahan, serta pariwisata.

"Nanti dapatnya GWM enggak perlu penuhi 9%, sehingga dia bisa penuhi 6,2% misalnya, Jadi ini penting selain konteks itu sektor-sektornya terdorong," ucap Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Solikin M. Juhro, saat taklimat media di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Menurutnya, perbankan akan mendapatkan kelonggaran likudititas dari insentif sebesar 4% untuk potongan GWM itu senilai Rp 158,6 triliun.

Terpisah, Direktur Utama PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Meliza M. Rusli mengatakan era suku bunga tinggi membuat bank mengalami kenaikan beban bunga deposito. Di sisi lain persaingan suku bunga kredit tengah terjadi dan diperkirakan berlangsung hingga akhir 2023.

Oleh karena itu, Meliza memaparkan upaya PermataBank untuk mendorong pertumbuhan NIM, yakni dengan peningkatan imbal hasil atas aset produktif dan meningkatkan komposisi pembiayaan berimbal hasil tinggi.


(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Konsumsi Warga RI Makin Selektif, Tapi Tabungan Lesu, Ini Sebabnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular