Newsletter

Kabar Buruk! Petaka Hantam Perbankan AS, China Juga Terpuruk

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
Rabu, 09/08/2023 06:24 WIB
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)
  • IHSG melemah dan rupia terpuruk pada perdagangan kemarin. Imbal hasil SBN masih stagnan
  • Wall Street juga berakhir di zona merah menyusul pengumuman Moody's
  • Pemangkasan rating oleh Moodiy's dan melemahnya ekonomi China terhadap bank-bank AS bisa membuat laju IHSG terpuruk

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air secara mayoritas terpuruk pada perdagangan kemarin, hari Selasa (8/8/2023). Mata uang rupiah merana, bursa saham erkoreksi tipis, dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) stagnan.

Pelemahan terjadi seiring hujan sentimen buruk dari penurunan rating Moody's, neraca perdagangan China dan AS yang memburuk, dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun.

Selain itu, pasar juga akan dihadapkan dengan kabar penting hari ini yaitu rilis data inflasi raksasa ekonomi dunia, China. Kabar tersebut akan menjadi faktor penggerak pasar hari ini.
Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.


IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah tipis 0,25% ke posisi 6.868,81. IHSG hanya perlu 32 basis poin untuk menembus level psikologis 6.900.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan terakhir terbilang sepi yakni hanya mencapai sekitar Rp8,9 triliun, dengan melibatkan 21,61 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali.

Sebanyak 246 saham terapresiasi, 274 saham terdepresiasi, dan 324 saham lainnya stagnan.  Meski IHSG terkoreksi, investor asing mencatatkan aksi beli bersih (net buy) mencapai Rp 265,77 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.

Secara sektoral, sektor keuangan menjadi pemberat terbesar IHSG pada perdagangan kemarin, yakni turun 0,47%.

Sejalan dengan sektor keuangan yang menjadi pemberat terbesar IHSG kemarin, tiga saham bank raksasa secara berurutan menjadi laggard terbesar IHSG, yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar -8,14 indeks poin. Bank lainnya adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar -4,99 indeks poin dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sebesar -1,44 indeks poin.

Sedangkan, bursa Asia-Pasifik pada perdagangan kemarin bergerak beragam. Indeks Shanghai SSEC, Hang Seng HK50, PSEi Filipina, KOSPI Korea Selatan (KS11), SET Thailand tertekan di zona merah.

Nikkei Jepang, KLSE Malaysia, STI Index Singapore, Taiwan TWII menguat di bawah 1%, dengan penguatan 0,27%, 0,36%, 0,12, dan 0,90%.

Tidak hanya pasar modal dalam negeri yang melemah, mata uang rupiah kembali tertekan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,23% terhadap dolar AS ke Rp15.215/US$1.

Kemerosotan rupiah terjadi pada penutupan perdagangan hari ini setelah rilis data ekonomi China yang kurang memuaskan.

China merilis data neraca dagang yang mengalami kenaikan menjadi US$ 80,6 miliar atau lebih dari ekspektasi pasar US$ 70,6 miliar. Angka ini sekitar US$ 10 miliar lebih besar jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang berada di angka US$ 70,62 miliar.

Namun, Ekspor dan impor China secara bersamaan terkoreksi secara tahunan. Ekspor China terkoreksi 14,5% (year on year/yoy) ke level terendah dalam lima bulan terakhir sebesar US$ 281,76 miliar. Ekspor ke negara-negara di ASEAN pun mengalami penurunan sebesar 21,4%.

Sedangkan dari sisi impor, terjadi koreksi yang sangat drastis sebesar 12,4% yoy sebesar US$ 201,16 miliar. Angka ini lebih rendah daripada periode sebelumnya yang juga turun sebesar 6,8% yoy. Penurunan impor ini terjadi karena permintaan domestik yang memburuk.

Kondisi ekspor-impor China yang mengalami kemunduran ini tidak baik bagi Indonesia sebab China merupakan tujuan ekspor utama Indonesia. Dampaknya yakni potensi terjadinya kemerosotan nilai ekspor Indonesia ke China karena permintaan China yang memburuk.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan penutupan pekan lalu harganya melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali naik.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau stagnan, tetap berada di 6,380% kemarin (8/8/2023).

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.


(mza/mza)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Saat Israel Vs Iran "Memanas", Saham Sektor Ini Malah Menguat!

Pages