
Kabar Buruk! Petaka Hantam Perbankan AS, China Juga Terpuruk

Kabar buruk juga datang dari rilis neraca dagang dan ekspor impor dari China dan Amerika Serikat. Dimulai dari China, hasil rilis data ekspor-impor China di bawah ekspektasi pasar. Anjloknya angka tersebut ikut berdampak bagi Indonesia yang menggantungkan mayoritas perdagangannya ke China.
China mengumumkan nilai ekspor yang anjlok lebih lanjut pada Juli, jatuh pada laju tercepat sejak Februari 2020 dan menambah kekhawatiran atas perlambatan ekonomi.
Ekspor China terkoreksi 14,5% secara tahunan (yoy) menjadi US$ 281,76 miliar. Penurunan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan penurunan 12,4% pada Juni.
Sementara itu, impor terkoreksi 12,4% pada Juli dari tahun sebelumnya menjadi US$ 201,16 miliar. Koreksi impor lebih kecil dibandingkan 6,8% pada Juni. Artinya, impor terkoreksi hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan periode Juni.
Sebagai negara dengan tujuan ekspor terbesar Indonesia dan merupakan negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), maka hasil rilis data China akan sangat mempengaruhi berbagai negara di dunia termasuk Indonesia.
Pada tahun 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai ekspor tertinggi ke China yakni sebesar US$ 65,84 miliar. Angka ini tumbuh sebesar 28,9% yoy jika dibandingkan2021.
Sedangkan dari sisi impor di tahun 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai impor dari China tertinggi kedua setelah Thailand yakni sebesar US$ 67,7 miliar atau melonjak 32,2% yoy jika dibandingkan 2021.
Neraca Perdagangan Indonesia-China bahkan sejak 2013 mengalami defisit yang artinya nilai impor lebih besar daripada ekspor. Meskipun begitu, terdapat perbaikan defisit neraca dagang Indonesia-China khususnya dari periode 2020 hingga 2022.
Pada 2020, defisit neraca dagang Indonesia-China sebesar US$ 7,85 miliar lalu berkurang menjadi US$ 2,46 miliar pada 2021 dan pada 2022 kembali berkurang menjadi US$ 1,88 miliar.
Kementerian Perdagangan mencatat bahwa pada periode Januari-Juni 2023, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan China yakni sebesar US$ 838,7 juta. Hal ini berkebalikan dengan periode yang sama pada 2022 yang mengalami defisit sebesar US$ 3,38 miliar.
Kabar buruk juga datang dari neraca perdagangan AS yang menunjukkan mengecilnya defisit neraca perdagangan menjadi US 65,5 miliar. Sayangnya, penurunan nilai defisit juga diikuti oleh impor dan ekspor yang melemah.
Impor turun 1% menjadi $313 miliar, level terendah sejak November 2021, ekspor turun tipis 0,1% menjadi $247,5 miliar, terendah sejak Maret tahun lalu.
Hal ini akan berpotensi buruk untuk perekonomian dalam negeri, mengingat AS merupakan tujuan ekspor nomor dua Indonesia.
Selain itu, keyakinan konsumen Indonesia (IKK) turun ke level terendah dalam empat bulan sebesar 123,5 pada Juli 2023 dari 127,1 pada bulan sebelumnya, dengan seluruh sub-indeks turun.
Asesmen rumah tangga melemah terhadap prospek ekonomi negara (turun 4,3 poin menjadi 133,2) dan kondisi ekonomi saat ini (turun 3,0 poin menjadi 113,8).
Selain itu, ketersediaan pekerjaan turun (sebesar 4,6 poin menjadi 113,0), begitu pula ketersediaan pekerjaan dibandingkan dengan enam bulan lalu (sebesar 5,8 poin menjadi 129,8), pendapatan saat ini (sebesar 5,4 poin menjadi 119,7), dan ekspektasi pendapatan untuk enam bulan ke depan. lebih rendah (sebesar 5,1 poin menjadi 133,6).
Penurunan IKK akan berdampak buruk untuk perekonomian domestik sebab akan terjadi penurunan konsumsi dari konsumen yang mana tingkat konsumsi merupakan penopang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Hal ini berpotensi mengancam PDB domestik tidak lagi mampu bertumbuh di atas 5%.
Penurunan PDB ke depan akan berdampak buruk untuk pasar keuangan sebab merupakan indikasi kinerja keuangan perusahaan juga memburuk.
Di sisi lain, pasar yang bersifat forward looking akan juga kecipratan manfaatnya dengan ekspektasi akan adanya pelonggaran keuangan seiring perekonomian yang buruk.