
Hari Ini Akan Terjawab Ekonomi RI Meroket atau Diam di Tempat

- Pasar keuangan Tanah Air secara mayoritas sumringah akhir pekan lalu, namun akan bersiap dengan pengumuman PDB hari ini yang diperkirakan pertumbuhan melemah
- Wall Street kembali ditutup melemah, tetapi pelemahannya cenderung terpangkas, seiring kejatuhan pasar sudah di penghujung.
- Pelaku pasar global akan memantau rilis data inflasi AS dan China pekan ini serta cadangan devisa sebagai sentimen penggerak pasar.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air secara mayoritas sumringah pada perdagangan akhir pekan lalu Jumat (4/8/2023), di mana hanya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi di tengah berbagai sentimen dan penantian pengumuman pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal-II 2023.
Penantian data pertumbuhan ekonomi yang ditunggu-tunggu pasar sebagai sentimen gambaran perekonomian riil menjadikan pergerakan pasar relatif terbatas.
Pasar keuangan Indonesia diproyeksi masih tertahan kenaikannya dalam jangka pendek, seiring perkiraan pelaku pasar yang dikoleksi polling CNBC Indonesia memprediksi pelemahan pertumbuhan ekonomi berada di bawah 5% pada kuartal-II 2023. Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan terakhir pekan lalu ditutup melemah 0,66% ke posisi 6.852,84. IHSG masih belum mampu kembali ke level psikologis 6.900 hingga akhir lalu, meski sempat menembus level psikologis tersebut.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan terakhir pekan lalu terbilang sepi yakni hanya mencapai sekitar Rp7,8 triliun, dengan melibatkan 15,9 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 901 ribu kali.
Sebanyak 227 saham terapresiasi, 281 saham terdepresiasi, dan 335 saham lainnya stagnan.
Koreksi IHSG sejalan tekanan aksi jual investor asing yang mencatatkan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 469,05 miliar di seluruh pasar pada perdagangan penutupan pekan lalu.
Sedangkan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan terakhir secara mayoritas malah menghijau. Kecuali indeks Straits Times Index, Singapore, dan IHSG yang tertekan di zona merah.
Indeks Hang Seng Hong Kong, Shanghai Composite Index, dan Nikkei 225 Index menguat tipis di bawah 1%, dengan penguatan 0,61%, 0,23%, dan 0,1%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada penutupan perdagangan Jumat akhir pekan lalu.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada penutupan pekan di zona hijau melawan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan Jumat kemarin di posisi Rp 15.165/US$, terapresiasi tipis 0,1% di pasar spot.
Namun, dalam sepekan rupiah justru ambruk 0,50%. Artinya, mata uang Garuda sudah melemah selama tiga pekan beruntun.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Jumat silam.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan penutupan pekan lalu harganya melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali naik.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,04 basis poin (bp) menjadi 6,38%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, mengindikasikan investor sedang melepas SBN.
Pergerakan pasar keuangan Indonesia pekan lalu diwarnai berbagai sentimen data mulai dari pemberlakuan aturan baru dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) serta pemangkasan rating utang AS oleh lembaga Fitch Ratings.
Sentimen dari berlakunya aturan DHE per 1 Agustus lalu belum berhasil membuat rupiah menguat dan bertahan setidaknya di bawah sedikit level psikologis Rp 15.000/US$.
Aturan ini akan mewajibkan DHE Sumber Daya Alam (SDA) untuk disimpan di sistem keuangan dalam negeri minimal 3 bulan. Adapun, nilai devisa ekspor yang wajib ditahan ini di atas US$ 250.000 dengan minimal jumlah yang ditempatkan di sistem keuangan domestik 30% dari total nilai ekspor.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa belum efektifnya aturan DHE terhadap rupiah karena selain faktor fundamental, rupiah juga terpengaruh oleh faktor sentimen di pasar keuangan global yang cenderung dinamis. Faktor tersebut disinyalir menjadi penyebab kebijakan DHE belum mampu mendorong penguatan rupiah.
Dari eksternal sendiri, sejatinya pada pekan ini, sentimen cenderung stabil. Namun, sentimen kemudian berubah setelah adanya kabar dari lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings yang memangkas peringkat utang jangka panjang AS.
Fitch memangkas (downgrade)peringkat (ratings) surat utang AS dari AAA menjadi AA+ yang merupakan konsekuensi dari dampak persoalan plafon utang pada Mei lalu.
Di sisi lain, baik Bank Indonesia (BI) maupun Kementerian Keuangan optimis jika ketidakpastian ini hanya sementara. Secara fundamental ekonomi Indonesia masih sangat kuat sehingga menarik bagi investor.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street kembali berduka akibat pelemahan mayoritas indeks pada perdagangan Jumat lalu, merosot empat hari beruntun atau pekan terburuk sejak Maret. Pelaku pasar terpantau melakukan aksi taking profit pasca rilis data keuangan dan data pekerja AS.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,43% ke posisi 35.065,62, S&P 500 terkoreksi 0,53% ke 4.478,03, dan Nasdaq Composite merosot 0,36% menjadi 13.909,24.
Pergerakan indeks utama AS berbalik arah dari kenaikan pada sore hari dan ditutup di zona merah.
Steve Sosnick, kepala strategi Broker, memandang pelaku pasar lebih berhati-hati atas risiko dibanding pekan sebelumnya. Sosnick menambahkan bahwa penurunan telah mendekati akhir akibat penurunan panjang pekan ini.
Pekan lalu, pasar AS disibukkan dengan rilis kinerja kuartal-II 2023.
Laba perusahaan ecommerce terbesar, Amazon, melonjak 8,3% ke level tertinggi dalam hampir setahun terakhir, lebih tinggi dari ekspektasi dan menawarkan kesempatan positif.
Di sisi lain, Apple malah kehilangan 4,8% pendapatannya secara tahunan (yoy). Kedua raksasa teknologi ini merilis data keuangannya pada Kamis malam.
Laporan pendapatan musim ini untuk kuartal yang berakhir pada bulan Juni terus mengejutkan beberapa analis Wall Street karena penurunan laba tidak seburuk perkiraan.Melansir CNBC International, Sekitar 84% dari perusahaan S&P 500 telah memberikan hasil, dengan 80% melampaui ekspektasi Wall Street, menurut FactSet.
Imbal hasil Treasury 10-tahun juga terkoreksi dari rekornya sejak November 2022 menjadi 4,04%. Kenaikannya dalam beberapa sesi terakhir disinyalir menjadi faktor tekanan aset berisiko seperti saham.
Laporan data pekerja yang membaik menjadi petunjuk tentang keadaan pasar tenaga kerja dengan rilis laporan gaji hari Jumat lalu.
Data menunjukkan 187.000 pekerjaan ditambahkan pada bulan Juli, di bawah harapan ekonom yang disurvei Dow Jones menjadi 200.000. Tingkat pengangguran juga berdetak lebih rendah menjadi 3,5% dari 3,6%.
Kendati demikian, data gaji rata-rata per jam mengindikasikan pengendalian inflasi yang hanya naik 0,4% secara bulanan (mom) dari pertumbuhan 4,4% secara tahunan (yoy). Walau begitu, data ini sedikit di atas harapan pasar yang meningkat 0,4% (mom) dan 4,2% (yoy).
Data pekerja terbaru dinanti pelaku pasar terkait implikasinya terhadap siklus kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Data FedWatch CME Group menunjukkan sekitar 88% pelaku pasar berekspektasi bank sentral mempertahankan suku bunga stabil pada rapat selanjutnya pada September.
Tetapi, laporan harga konsumen bulan Juli yang akan rilis pekan depan dapat menjadi faktor penentu signifikan pada perkiraan suku bunga, kata Christopher Harvey dari Wells Fargo.
"Hasil [kenaikan harga] yang lebih panas dari perkiraan adalah salah satu dari sedikit hal yang benar-benar dapat mulai mengubah persepsi pasar tentang The Fed, dan mungkin juga persepsi The Fed," katanya. "Tapi jumlah pekerjaan hari ini, saya rasa tidak banyak membantu. Saya pikir itu memperkuat pandangan orang bahwa Fed sudah selesai [hawkish] pada saat ini."
Pasar pekan ini dihadapkan dengan sejumlah data dan agenda penting, utamanya dari pasar domestik dengan rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal-II 2023.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2023 diperkirakan jeblok meskipun konsumsi masyarakat sudah jauh membaik.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,98% (year on year/yoy) dan 3,74% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq).
Sebagai catatan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03% (yoy) pada kuartal I-2023 dan terkontraksi 0,92% (qtq). Kemudian, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2023 pada Senin (7/8/2023).
Hasil polling lebih rendah dari proyeksi pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%. Sementara itu, Bank Indonesia memproyeksi ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 5,1% pada periode April-Juni 2023.
Jika polling sejalan dengan hasil pengumuman BPS maka pertumbuhan kuartal II tahun ini akan menjadi yang terendah sejak kuartal III-2021 atau dalam enam kuartal terakhir.
Secara historis, Produk Domestik Bruto (PDB) akan mencapai puncak pada kuartal II karena ada libur panjang. Momen Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri juga biasanya jatuh pada kuartal II sehingga konsumsi masyarakat melesat.
Perlambatan perekonomian dapat menjadi sentimen negatif pasar keuangan, sebab ini menggambarkan potensi perlambatan pertumbuhan pendapatan untuk perusahaan-perusahaan.
Di sisi lain, hal ini dapat menjadi faktor Bank Sentral Indonesia (Bank Indonesia/BI) memangkas suku bunga untuk memacu kembali perekonomian. Ini dapat menjadi indikator untuk pelaku pasar, khususnya saham berinvestasi di kala sentimen berada di titik terpuruknya.
Selain itu, Indonesia akan merilis data cadangan devisa (cadev) pekan ini.
Sebelumnya, cadev Indonesia tercatat sebesar US$ 137,5 miliar pada Juni. Nilai tersebut menurun dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 139,3 miliar. Cadev menunjukkan tren penurunan, telah tertekan tiga kali berturut-turut dari titik tertingginya pada bulan Maret 2023.
Pelemahan cadev akan berpotensi menjadi sentimen pelemahan rupiah. Dengan cadev yang menurun maka itu mencerminkan pasokan dolar AS yang menipis.
Menurut BI, penurunan cadangan devisa belakangan terjadi akibat pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Namun, Bank Indonesia memandang cadangan devisa akan tetap memadai didukung stabilitas dan prospek ekonomi dan kebijakan untuk pertumbuhan berkelanjutan.
Kebijakan BI tersebut diantaranya untuk penguatan cadev melalui penyimpanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang sayangnya baru berlaku Agustus.
Eksportir diminta untuk menahan 30% dari penghasilan ekspornya di atas US$ 250.000 selama 3 bulan di perbankan Tanah Air.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan kebijakan ini akan meningkatkan cadev dengan estimasi US$ 10-12 miliar.
Sedikit berbeda, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai DHE yang akan masuk dalam sistem keuangan Indonesia tergantung dalam kepatuhan eksportir. Jika kepatuhan eksportir mencapai 90% maka diprediksi DHE yang masuk bisa mencapai US$ 9,2 miliar per bulannya.
Tidak hanya Indonesia, rilis data cadev juga akan dilakukan Jepang, Singapura, Rusia, dan China. Rusia dan Jepang terpantau mengalami pergerakan cadev yang serupa dengan Indonesia dengan penurunan tiga bulan berturut-turut, sedangkan Singapura dan China tercatat mengalami peningkatan pada bulan Juni.
Data penting yang juga akan dirilis pekan ini adalah neraca perdagangan China pada hari Selasa (8/8). Peningkatan nilai ekspor dan impor China akan berdampak positif terhadap perekonomian domestik.
Peningkatan impor China menjadi kabar gembira untuk sektor komoditas dalam negeri seperti batu bara, sebab Indonesia merupakan salah satu negara dengan tujuan ekspor batu bara terbesar ke China.
Peningkatan ekspor China juga akan berdampak positif terhadap perekonomian dalam negeri, sebab komoditas ekspor unggulan China diantaranya mesin, peralatan angkut, besi, dan baja. Hal ini akan menjadi dampak positif terhadap Indonesia yang juga eksportir besi dan baja ke China.
Data penting sebagai faktor penentu kebijakan suku bunga bank sentral dua raksasa ekonomi juga akan rilis pekan ini, China dilaksanakan hari Rabu (9/8) dan AS dilakukan hari Kamis (10/8).
Sebagai informasi, data TradingEconomics menunjukkan inflasi China bulan Juni sebesar 0% (yoy) dan -0,2% (mom), dengan perkiraan bulan Juli -0,3% (yoy) dan 0,2% mom.
Sedangkan, inflasi AS bulan Juni sebesar 3% (yoy) dan 0,2% (mom), dengan proyeksi bulan Juli 3,1% (yoy) dan 0,2% (mom).
Terkendalinya tingkat kenaikan harga China berpotensi menghantui terjadinya deflasi seiring perkiraan penurunan harga bulan Juli secara tahunan. Ini akan menjadi potensi Bank Sentral China (PBoC) kembali memangkas suku bunganya.
Sedangkan, AS yang diperkirakan inflasi bulan Juli masih berada di atas 3% secara tahunan berpotensi belum menjadi potensi The Fed memangkas suku bunga, sebab target inflasi AS berada di 2%.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data cadangan devisa Jepang periode Juli 2023 dan ringkasan opini BoJ (06:50 WIB),
- Pencatatan dan perdagangan perdana saham PT Minahasa Membangun Hebat Tbk (08:30 WIB)
- Pembukaan sidang umum ASEAN Interparlementary Assembly ke-44 (09:00 WIB),
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode Juli 2023 (10:00 WIB),
- Rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal-II 2023 (11:00 WIB),
- Rilis data cadangan devisa Singapura periode Juli 2023 (16:00 WIB),
- Rilis data cadangan devisa China periode Juli 2023.
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Pencatatan pembagian dividen tunai interim PT AKR Corporindo Tbk,
- Cum date Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) PT Bank Nationalnobu Tbk,
- Cum date dividen tunai interim PT Selamat Sempurna Tbk.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2023 YoY) | 5,03% |
Inflasi (Juli 2023 YoY) | 3,08% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2023) | 5,75% |
Surplus Anggaran (APBN Juni 2023) | 0,7% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q1-2023 YoY) | 0,9% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2023 YoY) | US$ 6,5 miliar |
Cadangan Devisa (Juni 2023) | US$ 137,5 miliar |
(mza/mza)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jika Bunga Acuan The Fed Tak Dipangkas, Nasib Rupiah 2024 Gimana?