
Hari Ini Akan Terjawab Ekonomi RI Meroket atau Diam di Tempat

Pasar pekan ini dihadapkan dengan sejumlah data dan agenda penting, utamanya dari pasar domestik dengan rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal-II 2023.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2023 diperkirakan jeblok meskipun konsumsi masyarakat sudah jauh membaik.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,98% (year on year/yoy) dan 3,74% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq).
Sebagai catatan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03% (yoy) pada kuartal I-2023 dan terkontraksi 0,92% (qtq). Kemudian, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2023 pada Senin (7/8/2023).
Hasil polling lebih rendah dari proyeksi pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%. Sementara itu, Bank Indonesia memproyeksi ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 5,1% pada periode April-Juni 2023.
Jika polling sejalan dengan hasil pengumuman BPS maka pertumbuhan kuartal II tahun ini akan menjadi yang terendah sejak kuartal III-2021 atau dalam enam kuartal terakhir.
Secara historis, Produk Domestik Bruto (PDB) akan mencapai puncak pada kuartal II karena ada libur panjang. Momen Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri juga biasanya jatuh pada kuartal II sehingga konsumsi masyarakat melesat.
Perlambatan perekonomian dapat menjadi sentimen negatif pasar keuangan, sebab ini menggambarkan potensi perlambatan pertumbuhan pendapatan untuk perusahaan-perusahaan.
Di sisi lain, hal ini dapat menjadi faktor Bank Sentral Indonesia (Bank Indonesia/BI) memangkas suku bunga untuk memacu kembali perekonomian. Ini dapat menjadi indikator untuk pelaku pasar, khususnya saham berinvestasi di kala sentimen berada di titik terpuruknya.
Selain itu, Indonesia akan merilis data cadangan devisa (cadev) pekan ini.
Sebelumnya, cadev Indonesia tercatat sebesar US$ 137,5 miliar pada Juni. Nilai tersebut menurun dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 139,3 miliar. Cadev menunjukkan tren penurunan, telah tertekan tiga kali berturut-turut dari titik tertingginya pada bulan Maret 2023.
Pelemahan cadev akan berpotensi menjadi sentimen pelemahan rupiah. Dengan cadev yang menurun maka itu mencerminkan pasokan dolar AS yang menipis.
Menurut BI, penurunan cadangan devisa belakangan terjadi akibat pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Namun, Bank Indonesia memandang cadangan devisa akan tetap memadai didukung stabilitas dan prospek ekonomi dan kebijakan untuk pertumbuhan berkelanjutan.
Kebijakan BI tersebut diantaranya untuk penguatan cadev melalui penyimpanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang sayangnya baru berlaku Agustus.
Eksportir diminta untuk menahan 30% dari penghasilan ekspornya di atas US$ 250.000 selama 3 bulan di perbankan Tanah Air.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan kebijakan ini akan meningkatkan cadev dengan estimasi US$ 10-12 miliar.
Sedikit berbeda, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai DHE yang akan masuk dalam sistem keuangan Indonesia tergantung dalam kepatuhan eksportir. Jika kepatuhan eksportir mencapai 90% maka diprediksi DHE yang masuk bisa mencapai US$ 9,2 miliar per bulannya.
Tidak hanya Indonesia, rilis data cadev juga akan dilakukan Jepang, Singapura, Rusia, dan China. Rusia dan Jepang terpantau mengalami pergerakan cadev yang serupa dengan Indonesia dengan penurunan tiga bulan berturut-turut, sedangkan Singapura dan China tercatat mengalami peningkatan pada bulan Juni.
Data penting yang juga akan dirilis pekan ini adalah neraca perdagangan China pada hari Selasa (8/8). Peningkatan nilai ekspor dan impor China akan berdampak positif terhadap perekonomian domestik.
Peningkatan impor China menjadi kabar gembira untuk sektor komoditas dalam negeri seperti batu bara, sebab Indonesia merupakan salah satu negara dengan tujuan ekspor batu bara terbesar ke China.
Peningkatan ekspor China juga akan berdampak positif terhadap perekonomian dalam negeri, sebab komoditas ekspor unggulan China diantaranya mesin, peralatan angkut, besi, dan baja. Hal ini akan menjadi dampak positif terhadap Indonesia yang juga eksportir besi dan baja ke China.
Data penting sebagai faktor penentu kebijakan suku bunga bank sentral dua raksasa ekonomi juga akan rilis pekan ini, China dilaksanakan hari Rabu (9/8) dan AS dilakukan hari Kamis (10/8).
Sebagai informasi, data TradingEconomics menunjukkan inflasi China bulan Juni sebesar 0% (yoy) dan -0,2% (mom), dengan perkiraan bulan Juli -0,3% (yoy) dan 0,2% mom.
Sedangkan, inflasi AS bulan Juni sebesar 3% (yoy) dan 0,2% (mom), dengan proyeksi bulan Juli 3,1% (yoy) dan 0,2% (mom).
Terkendalinya tingkat kenaikan harga China berpotensi menghantui terjadinya deflasi seiring perkiraan penurunan harga bulan Juli secara tahunan. Ini akan menjadi potensi Bank Sentral China (PBoC) kembali memangkas suku bunganya.
Sedangkan, AS yang diperkirakan inflasi bulan Juli masih berada di atas 3% secara tahunan berpotensi belum menjadi potensi The Fed memangkas suku bunga, sebab target inflasi AS berada di 2%.
(mza/mza)