Gegara AS, Dalam 4 Hari Rupiah Melemah Hampir 200 Perak
Jakarta, CNBC Indonesia - Hanya dalam kurun waktu empat hari, Rupiah telah melemah hampir 200 perak, tepatnya 130 perak. Hal ini terjadi di tengah berbagai sentimen negatif dari luar negeri.
Merujuk dari Refinitiv, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan 31 Juli 2023 berada di angka Rp 15.075/US$1. Pada hari ini tepatnya pukul 10.03 WIB, Rupiah sempat menyentuh Rp 15.205/US$1.
Pelemahan yang signifikan ini didominasi oleh faktor eksternal dari AS, China, hingga Jepang.
Data ketenagakerjaan AS menunjukkan masih cukup kuat dan erat kaitannya dengan keputusan bank sentral The Federal Reserve (The Fed) yang masih bernada hawkish.
Perusahaan pemrosesan penggajian ADP melaporkan perolehan pekerjaan mencapai 324.000 pada bulan lalu, dengan 201.000 berasal dari pekerjaan perhotelan dan rekreasi. Itu jauh di atas 175.000 tambahan yang diperkirakan ekonomi Dow Jones.
Selain itu, masih terdapat beberapa data tenaga kerja di AS yang akan dirilis pada pekan ini, sehingga data-data berikutnya akan terus dipantau oleh pasar dan tentunya The Fed, seperti data klaim pengangguran mingguan dan data penggajian non-pertanian (non-farming payroll/NFP).
Lebih lanjut, pengumuman terbaru dari Fitch Ratings terkait surat utang AS yang diturunkan dari AAA menjadi AA+ semakin meningkatkan ketidakpastian global dan tentunya membuat volatilitas pasar semakin membesar, termasuk di pasar keuangan Indonesia.
Namun, baik Bank Indonesia (BI) maupun Kementerian Keuangan optimis jika ketidakpastian ini hanya sementara. Secara fundamental ekonomi Indonesia masih sangat kuat sehingga menarik bagi investor.
"Mudah-mudahan sentimennya lebih bersifat temporer. Kondisi supply-demand valas di pasar domestik tetap terkendali, BI tetap akan berada di pasar untuk tetap memastikan keseimbangan supply-demand tersebut," tutur Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Edi Susianto, kepada CNBC Indonesia.
Sedangkan dari Asia, China dan Jepang dimana kondisi manufakturnya yang masih dalam area kontraksi dengan nilai PMI Manufaktur kedua negara tersebut masih terjerembab di bawah 50.
Untuk diketahui, China dan Jepang merupakan negara tujuan ekspor terbesar RI. Oleh karena itu, ketika kontraksi terjadi maka bisa mempengaruhi ekspor yang kemungkinan besar bisa melemah juga.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(rev/rev)