
Abaikan China dan Jepang, Rupiah Menguat Pukul Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tercatat menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah kekhawatiran akan sentimen negatif dari data ekonomi Jepang dan China.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.880/US$ atau menguat 0,03%. Hal ini melanjutkan tren penguatan kemarin yang juga terapresiasi sebesar 0,31%. Posisi ini juga menunjukkan yang terkuat sejak 25 Oktober 2023.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada pukul 14.53 WIB menguat sebesar 0,11% menjadi 106,24. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan kemarin (30/10/2023) yang berada di angka 106,12.
Terpantau nilai tukar mata uang Garuda tetap mengalami penguatan beruntun dalam dua hari terakhir pasca perilisan data ekonomi dari Jepang dan China.
Bank of Japan (BoJ) pada pagi hari ini (31/10/2023) telah merilis data suku bunganya yang kembali ditahan di angka minus 0,1% sejak 2016 atau sekitar tujuh tahun terakhir.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa ekspektasi sebagian pelaku pasar salah yang mengharapkan BoJ mengakhiri suku bunga ultra rendahnya serta Yield Curve Control (YCC) pada akhir 2024.
Berbeda dengan negara lain yang sudah mengerek suku bunga secara agresif, BoJ masih mempertahankan suku bunga ultra rendahnya di zona negatif 0,1% sejak 2016. Langkah tersebut diambil untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi Jepang.
Selain itu, imbal hasil Japanese Government Bond (JPG) tenor 10 tahun mencapai titik tertingginya sejak 2012 yakni di angka 0,95%. Sebagai negara maju dengan rating surat utang yang jauh di atas Indonesia, membuat potensi capital outflow terjadi dari emerging market khususnya dari Indonesia. Alhasil, tekanan terhadap rupiah pun dapat terjadi.
Selain itu, dari Negeri Tirai Bambu, Biro Statistik China (NBS) telah mengumumkan data PMI Manufaktur untuk Oktober pagi tadi. Data ini cukup penting oleh pelaku pasar untuk menentukan sebagaimana kondisi manufaktur China di tengah masih lesunya perekonomian China.
Secara tak terduga, PMI Manufaktur China turun menjadi 49,5 pada bulan Oktober 2023 dari 50,2 pada bulan September, meleset dari perkiraan pasar sebesar 50,2, karena peningkatan output yang lebih lambat, di tengah penurunan pesanan baru, dengan penjualan asing turun lebih cepat sementara lapangan kerja terus menurun.
PMI Non-Manufaktur NBS resmi untuk China pun mengalami penurunan menjadi 50,6 pada Oktober 2023 dari 51,70 pada bulan sebelumnya. Sementara Indeks Output PMI Gabungan NBS di China turun menjadi 50,7 pada Oktober 2023 dari 52,0 pada bulan sebelumnya, yang menunjukkan angka terendah sejak Desember 2022.
Penurunan yang di luar ekspektasi ini mempertegas bahwa perkembangan China saat ini baik di sektor manufaktur maupun non-manufaktur relatif lambat dan berpotensi merambat ke gerak laju investasi dan produksi China yang juga turut melambat.
Permintaan barang dari Indonesia ke China pun berpotensi mengalami perlambatan karena China merupakan pasar terbesar ekspor Indonesia dengan porsi 30% sehingga perlambatan di China akan punya dampak juga terhadap domestik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Malah Perkasa di Tengah Adu Kuat Sentimen AS vs Jepang