Rupiah Dapat 'Obat Kuat' Baru, Dolar Kembali ke Bawah Rp15000

rev, CNBC Indonesia
18 July 2023 09:28
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Garuda dibuka menguat tipis di tengah mode wait and see perihal data ekonomi Amerika Serikat (AS) hari ini.

Dilansir dari Refinitiv, Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 0,13% ke angka Rp 14.980/US$1. Apresiasi rupiah hari ini kembali meninggalkan level psikologis Rp 15.000/US$1.

Fluktuasi Rupiah hari ini didorong dari kondisi pasar yang berada dalam mode wait and see menyikapi data terbaru AS serta dampaknya terhadap kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Rilis data penjualan ritel AS untuk periode Juni 2023 naik 0,3% secara bulanan (month to month/mtm) pada Mei 2023. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan 0,4% pada April. 

Penjualan ritel yang melandai menjadi sinyal dari melambatnya inflasi. Dengan demikian, harapan The Fed akan melunak bisa menjadi kenyataan.

Meski begitu, kabar kurang baik datang dari penurunan nilai ekspor Indonesia yang dirilis pada Senin (17/7/2023). Nilai ekspor Juni 2023 tercatat US$ 20,61 miliar. Nilai tersebut menurun 4,08% (mtm) dan terkoreksi 21,18% (year on year/yoy).

Ekspor nonmigas Juni 2023 tercatat sebesar US$5,17 miliar, turun 5,17% dari Mei 2023. Penurunan ekspor nonmigas didorong oleh penurunan nilai ekspor beberapa bahan bakar mineral sebesar 11,45%. Nikel turun 41,33%, logam mulia turun 41,41%.

Penurunan ekspor tersebut terutama disebabkan oleh melemahnya harga komoditas global dan perlambatan mitra dagang RI.

kibat melemahnya ekspor, pasokan dolar AS ke pasar Indonesia bisa berkurang, yang akan menyebabkan tekanan pada rupiah. Turunnya ekspor juga merupakan tanda bahaya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Dalam acara Power Lunch,CNBC Indonesia (Senin, 17/07/2023) Executive Director Head of Trading, Treasury & Markets PT Bank DBS Indonesia, Ronny Setiawan menilai meski harga komoditas melandai tetapi ada prospek penguatan komoditas energi hingga akhir tahun.

Sejalan dengan DBS, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan pelemahan harga komoditas tidak lepas dari dampak normalisasi ekonomi pasca pandemic, namun harganya tidak akan mengalami commodity price crash dan masih mampu menopang surplus neraca dagang.

Berita kurang baik pun hadir dari Negeri Tirai Bambu setelah merilis data pertumbuhan PDB. China melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% (yoy) pada kuartal II-2023. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2023 yakni 4,5% (yoy) tetapi jauh di bawah ekspektasi pasar yakni 7,3% (yoy).

Hal ini menjadi kabar yang kurang baik bagi Indonesia sebab China merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

Dalam gempuran kabar yang kurang baik, namun sentimen domestik lainnya cukup membawa angin segar bagi Rupiah. Hal ini terlihat dari data capital inflow pada 10-13 Juli 2023 terdapat net buy sebesar Rp 7,1 triliun dan net buy pada Surat Berharga Negara sebesar Rp 6,54 triliun.

Sentimen positif lainnya datang dari dirilisnya aturan mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE). Aturan DHE diperketat karena eksportir wajib menyetor minimal 30% DHE selama minimal tiga bulan.

Dalam kondisi ekonomi tertentu, pengetatan aturan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pasokan dolar AS di Indonesia sehingga rupiah dapat menguat di masa mendatang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(rev/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular