
Lagi-lagi China Bawa Kabar Buruk, Kuatkah Rupiah Hari Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Garuda kembali dibuat tak berdaya dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah rilis ekspor Indonesia yang anjlok dan Produk Domestik Bruto (PDB) China di bawah ekspektasi.
Merujuk pada Refinitiv, Rupiah ditutup melemah 0,30% ke level psikologis Rp 15.000/US$ pada perdagangan Senin (17/7/2023). Pelemahan tersebut memutus tren positif rupiah yang sempat menguat dalam empat hari beruntun.
Rupiah yang melemah disinyalir akibat penurunan ekspor Indonesia Juni 2023. Nilai ekspor Juni 2023 tercatat US$ 20,61 miliar. Nilai tersebut terkoreksi 4,08% (month to month/mtm) dan jeblok 21,18% (year on year/yoy).
Ekspor non-migas Juni 2023 tercatat sebesar US$5,17 miliar, turun 5,17% dari Mei 2023. Penurunan ekspor nonmigas tersebut disebabkan oleh penurunan nilai ekspor beberapa komoditas bahan bakar mineral sebesar 11,45%. Nikel turun 1,33% dan logam mulia 41,41%.
Turunnya ekspor terutama disebabkan tren pelemahan harga komoditas sejak awal tahun. Dengan ekspor yang melemah maka pasokan dolar AS ke pasar Indonesia bisa berkurang sehingga bisa menekan rupiah. Ekspor yang turun juga menjadi sinyal bahaya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Kendati demikian, Executive Director Head of Trading, Treasury & Markets PT Bank DBS Indonesia, Ronny Setiawan menilai meski harga komoditas melandai di awal tahun namun dari sisi market level terlihat prospek penguatan komoditas energi hingga akhir tahun.
Senada dengan DBS, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan pelemahan harga komoditas tidak lepas dari dampak normalisasi ekonomi pasca pandemic, namun harganya tidak akan mengalami commodity price crash dan masih mampu menopang surplus neraca dagang.
Lebih lanjut Andry dan Ronny juga sependapat, akibat ekspor yang melemah bisa membuat transaksi berjalan potensi kembali defisit, hanya saja relatif sedikit sekitar 0,5℅ - 0,6℅.
Sementara itu data dari China nampaknya juga masih menekan pasar keuangan RI. Pada Senin (17/7/2023), negara tirai bambu ini melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal kedua tumbuh sebesar 6,3% (yoy), angka ini meleset dari ekspektasi. Berdasarkan perkiraan ekonom yang di survei Reuters pada kuartal II-2023 ini pertumbuhan ekonomi China mencapai 7,3%.
Melambatnya ekonomi China menjadi kekhawatiran besar pasar mengingat negara asal Panda tersebut adalah negara dengan size ekonomi terbesar kedua di dunia sekaligus motor penggerak utama pertumbuhan Asia.
Perlambatan ekonomi China akan berdampak kepada Indonesia yang menggantungkan sekitar 30% ekspor non-migasnya ke China. Tiongkok juga merupakan salah satu investor terbesar untuk Indonesia sehingga perlambatan di China bisa menahan ekspansi perusahaan China. Tak bisa dipungkiri, ekonomi China yang kian memburuk dikhawatirkan membuat 'gonjang-ganjing' pasar keuangan.
Kesengsaraan China tampak terus berlanjut setelah rilis data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2023 di bawah ekspektasi pasar meskipun negara yang dipimpin Xi Jinping ini sudah berupaya keras mendorong pemulihan pasca pandemi Covid-19.
Minggu ini juga investor tengah memasang mode wait and see menjelang pertemuan kebijakan bulan Juli. Menurut alat FedWatch CME Group, investor mengantisipasi peluang hampir 97% bank sentral paling powerfull itu bakal menaikkan suku bunga akhir bulan ini, setelah menghentikan kenaikan pada bulan Juni.
Sebagaimana diketahui, inflasi AS melandai ke 3% (yoy) pada Juni 2023, dari 4% (yoy) pada Mei. Laju inflasi AS jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksi inflasi Juni sebesar 3,1%. Laju inflasi Juni juga menjadi yang terendah sejak Maret 2021. Secara bulanan (month to month/mtm), inflasi AS melandai mencapai 0,2%dari 0,1% pada bulan Mei. Inflasi tersebut juga jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksi inflasi akan ada di angka 0,3%.
Dengan inflasi yang melandai, pelaku pasar kini berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan melunak. Beberapa analis juga memperkirakan bahwa AS tidak lagi memiliki masalah inflasi, menurut ekonom veteran Steve Hanke. Ia mengungkapkan cerita inflasi adalah sejarah pasca ramalan bahwa inflasi telah melandai.
Teknikal Rupiah
Secara teknikal pada basis waktu satu jam, mata uang Garuda masih cenderung bergerak dalam tren sideways. Akhir perdagangan kemarin, Senin (17/7/2023) rupiah ditutup pada Rp15.000/US$ yang bertepatan dengan level psikologis dan resistance kuat yang diuji.
Apalagi posisi resistance tertembus, ada potensi pelemahan lanjutan dengan target resistance terdekat selanjutnya di posisi Rp15.035/US$ yang diambil dari garis rata-rata atau moving average selama 200 jam (MA200).
Di sisi lain, juga perlu dilihat posisi support apabila pergerakan rupiah mampu berbalik arah menguat ke posisi Rp14.915/US$ yang diambil berdasarkan low candle 23 Juni 2023.
![]() Pergerakan rupiah melawan dolar AS |
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS & China Kompak Ancam Rupiah, Sanggupkah Menguat Hari Ini?
