Pelemahan Rupiah Jadi Sinyal Bahaya Bagi Emiten-emiten Ini

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
12 July 2023 11:45
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) makin menguat akibat sikap hawkish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed). Menguatnya dolar AS membuat rupiah makin tertekan. Pelemahan rupiah terus menghantui pasar Indonesia, hal ini tentunya akan berpengaruh negatif terhadap beberapa bisnis terutama pada perusahaan yang memiliki hutang dalam satuan dolar dan aktif dalam melakukan impor bahan baku.

Rupiah sempat melemah empat hari beruntun sejak 5 Juli hingga Senin (10/7) awal pekan ini. Dalam empat hari tersebut, rupiah jeblok 1,32%. Namun pada pembukaan perdagangan Selasa (11/7/2023) rupiah tercatat balik menguat 0,07% ke angka Rp 15.180.

Pelemahan rupiah dapat berimbas negatif terhadap beberapa emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan tidak menutup kemungkinan akan berimbas terhadap pergerakan harga sahamnya ketika mencatatkan kerugian atas selisih kurs yang berefek pada penurunan kinerja perusahaan.

Emiten yang paling berdampak negatif terhadap lemahnya rupiah adalah emiten yang memiliki hutang besar dalam satuan dolar dan beban-beban yang dibayarkan dengan satuan dolar atau seringnya melakukan impor. Emiten di sektor kontraktor, otomotif, consumer goods dan telekomunikasi tercatat rentan terhadap pergerakan rupiah.

Beberapa emiten di sektor kontraktor dan properti rentan terhadap kenaikan dolar. PT Modernland Realty Ltd. Tbk (MDLN) per 31 Maret 2023 memiliki utang obligasi dalam dolar AS, jika dirupiahkan senilai Rp5,4 triliun rupiah. Selain itu MDLN juga memiliki beban bunga dalam dolar AS, jika dirupiahkan menjadi senilai Rp71,1 miliar dan beban lain-lain senilai Rp 4,9 miliar.

Emiten properti lainnya yakni PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) juga terdapat utang obligasi dalam dolar AS per 31 Maret 2023, jika dirupiahkan senilai Rp3,7 triliun.

PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) juga tercatat memiliki utang usaha kepada pihak ketiga dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp1,6 miliar.

Group Lippo yakni PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) juga memiliki utang obligasi dalam dolar AS, jika dirupiahkan senilai Rp6,4 triliun.

Dari sektor otomotif yang paling rentan terhadap lemahnya rupiah yakni PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL). Emiten gacoan Lo Kheng Hong ini memiliki porsi utang lebih dari 50% dalam dolar AS yang tentunya akan mendapat dampak negatif dari penguatan dolar AS. Sedangkan sebagian besar penjualan GJTL dalam bentuk rupiah, sehingga eksposur dari nilai kurs dapat berpengaruh signifikan pada kinerja emiten produsen ban ini.

Utang lain-lain GTJL per 31 Maret 2023 dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp148juta, sedangkan utang usaha dalam dolar AS jika dirupiahkan senilai Rp899,1 miliar. Utang obligasi senilai Rp2,6 triliun.

Bukan hanya dua sektor tersebut, beberapa emiten di sektor consumer goods juga terdapat utang dalam dolar AS. Emiten yang paling terkenal produk mie instannya yakni Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

ICBP memiliki utang obligasi per 31 Maret 2023 dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp41,1 triliun. Selain itu terdapat utang usaha ICBP dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp282,3 miliar. Utang bukan usaha dalam dolar AS atau dirupiahkan senilai Rp245,5 miliar dan utang jangka panjang dalam dolar AS atau dirupiahkan senilai Rp41,4 triliun.

Salah satu produsen produk Beng-Beng yakni PT Mayora Indah Tbk (MYOR) juga tercatat memiliki porsi utang dalam dolar AS. Pada laporan keuangan per 31 Maret 2023 tercatat MYOR memiliki utang usaha dalam dolar AS atau dirupiahkan senilai Rp308,4juta.

Beberapa emiten di sektor telekomunikasi juga terkenal dalam pembelian dalam dolar AS atau impor barang untuk mendukung berjalannya operasional Perseroan. PT XL Axiata Tbk (EXCL) tercatat per 31 Maret 2023 memiliki komitmen atas sejumlah pembelian untuk perluasan jaringan dengan nilai keseluruhan sebesar USD 264,94 juta atau setara dengan Rp 3,99 triliun.

Begitu juga dengan PT Indosat Tbk (ISAT), per 31 Maret 2023, Grup mempunyai komitmen kontraktual atas pembelian barang modal sehubungan dengan pembelian peralatan telekomunikasi dan jasa terkait sebesar USD5.584 dan Rp8,66 triliun dengan jumlah barang dan jasa yang belum diterima sebesar USD3.682 dan Rp4,72 triliun. Komitmen yang signifikan terkait pengeluaran barang modal dari PT Huawei Tech Investment (Huawei), PT Nokia Solutions and Networks (Nokia), PT Ericsson Indonesia (Ericsson), dan PT ZTE Indonesia.

Dan perusahaan telekomunikasi milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) juga memiliki utang dalam valuta asing termasuk dolar AS. Pada laporan keuangan per 31 Maret 2023 total liabilitas TLKM senilai US$187,67 juta atau setara Rp3,61 triliun.

Menguatnya nilai dolar AS membuat perusahaan-perusahaan yang banyak melakukan impor untuk bisnisnya akan semakin terbebani dalam melakukan pembiayaan. Dan hal tersebut akan membuat hutang perusahaan dalam dolar AS semakin tinggi. Hal ini tentunya akan menggerus penghasilan dari perusahaan atas selisih kerugian kurs.

Dalam jangka panjang akan berefek pada peningkatan beban, penurunan laba yang berakibat pada penurunan harga saham. Tentunya hal ini akan mendorong investor untuk mencari perusahaan lain yang lebih menguntungkan.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(saw/saw)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Arab Saudi Cs Pangkas Produksi Minyak, Bikin Masalah Bagi RI?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular