Newsletter

'Gempa' Wall Street Bisa Menjalar ke Asia, RI Bisa Terguncang

Putra, CNBC Indonesia
Jumat, 07/07/2023 06:00 WIB
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  •  IHSG kembali menghijau seiring dana asing kembali masuk, sedangkan rupiah melemah lagi terhadap dolar Amerika Serikat (AS)
  •  Wall Street merah usai rilis data pekerjaan swasta yang lebih baik dari yang diharapkan
  •  Data cadangan devisa RI, kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke China, hingga data pekerjaan AS jadi perhatian investor

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) konsisten di zona hijau dan kembali ditutup menguat pada Kamis (6/7/2023), melanjutkan penguatan pada Rabu (5/7). Berbeda, nilai tukar rupiah kembali tidak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Pasar bursa saham dan mata uang hari ini masih akan menghadapi tekanan cukup besar dari eksternal. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG melonjak 0,57% ke posisi 6.757,33 pada perdagangan kemarin. IHSG masih bertahan di level psikologis 6.700 hingga akhir perdagangan.


Secara sektoral, sektor energi menjadi penopang terbesar penguatan IHSG pada sesi I Kamis, yakni sebesar 2,62%. Selain itu, sektor konsumer non-primer juga menjadileaderIHSG yakni sebesar 2,01%.

Investor asing kembali mencatatkan pembelian bersih (net buy), yakni sebesar Rp204,62 miliar di pasar reguler. Dalam sepekan, asing sudah melakukan net buy Rp543,54 miliar.

Selain itu, beberapa saham turut menjadi penopang IHSG, sehingga indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut berhasil menguat.
Saham emiten raksasa batu bara yakni PT Bayan Resources Tbk (BYAN) menjadi penopang terbesar IHSG pada perdagangan Kamis, yakni mencapai 8,5 indeks poin.
Tak hanya itu, saham teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) juga menjadileaderIHSG pada Kamis yakni sebesar 6,5 indeks poin.

IHSG kembali menguat di tengah lesunya pasar saham global. Lesunya pasar saham global terjadi setela hrisalah Federal Open Market Committee (FOMC) keluar. Dalam risalah tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengisyaratkan kenaikan tetapi dalam tingkatan yang lebih rendah atau tempo yang lebih lambat.

Berdasarkan risalah tersebut, hanya dua dari 18 partisipan yang menginginkan kenaikan sekali lagi. Sebanyak 12 partisipan menginginkan kenaikan dua kali lagi atau lebih.
Pada pertemuan terakhir, The Fed akhirnya menekan jeda setelah 10 kenaikan suku bunga berturut-turut sejak Maret 2022, bahkan ketika inflasi yang melambat lebih lambat dari yang diproyeksikan.

Pada saat yang sama, Jerome Powell cs memperkirakan dua kenaikan tambahan tahun ini, lebih dari yang diharapkan pasar. The Fed sendiri sudah mengerek suku bunga acuan ke 5,0-5,25% sejak Maret tahun lalu.

Powell mengatakan, pejabat Fed menginginkan lebih banyak waktu untuk menilai data ekonomi sehubungan dengan kenaikan agresif sebelumnya serta pengetatan kredit menyusul kolapsnya bank AS pada Maret lalu.

Selain itu, panasnya kembali tensi geopolitik antara AS-China juga membebani pasar global pada Kamis.Panasnya kembali ketegangan antara China-AS terjadi setelah keduanya membahas soal pembatasan ekspor dan transfer teknologi semikonduktor.

Kabar teranyar, mengutip Bloomberg, pada Senin pekan ini, pemimpin China Xi Jinping meminta negara-negara untuk menghindari decoupling dan pemotongan rantai pasokan, satu hari setelah negaranya memberlakukan batasan ekspor dua logam utama yang digunakan untuk membuat chip guna melawan pembatasan Barat di Beijing.

Ekonomi terbesar kedua di dunia itu ingin bekerja dengan negara-negara untuk "menolak langkah yang berupaya membangun penghalang, memisahkan dan memutus rantai pasokan," kata Xi dalam pidato virtual kepada para pemimpin Organisasi Kerja Sama Shanghai.

Membalas aksi China, AS sendiri mengambil langkah-langkah yang semakin agresif untuk mengendalikan ambisi teknologi negara Xi Jinping, sebagian besar demi membatasi kemajuan militer, dan telah berupaya meyakinkan sekutu di Eropa dan Asia untuk melakukan hal yang sama.

AS sekarang sedang bersiap untuk membatasi akses perusahaan China ke layanan komputasi awan AS, demikian menurut sumber anomim kepada WSJ, Senin awal pekan ini. Ini menjadi sebuah langkah dapat memperburuk hubungan antara dua kekuatan ekonomi dunia itu.

Sementara, nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), sehingga ditutup di atas level psikologis Rp 15.000/US$.
Merujuk data Refinitiv, rupiah di pasar spot ada di posisi Rp 15.040/US$. Rupiah terkoreksi 0,2% pada Kamis (6/7/2023).

Pada perdagangan Rabu (5/7/2023), rupiah ditutup terkoreksi 0,13% ke posisi Rp 15.010/US$. Posisi penutupan pada Kamis merupakan yang terendah sejak 30 Maret 2023 atau 3 bulan lebih.

Koreksi mata uang Garuda pada Kamis diperparah akibat adanya tekanan eksternal. Pada Kamis dini hari,The Fed mengeluarkan risalah FOMC.
Dalam risalah tersebut, The Fed mengisyaratkan kenaikan suku bunga tetapi dalam tingkatan yang lebih rendah atau tempo yang lebih lambat.

Berdasarkan risalah tersebut, hanya dua dari 18 partisipan yang menginginkan kenaikan sekali lagi. Sebanyak 12 partisipan menginginkan kenaikan dua kali lagi atau lebih.

Kenaikan suku bunga The Fed tentu saja menjadi kabar buruk bagi rupiah dan mata uang Emerging Market lainnya. Pasalnya, kenaikan suku bunga akan membuat dolar semakin perkasa karena menjadi incaran banyak investor.

Khoon Goh, Kepala Riset ANZ, menyatakan padaReutersbahwa kenaikan suku bunga The Fed lebih dari yang diharapkan sebelumya "itu dapat memperlebar perbedaan imbal hasil dan memberikan tekanan lebih lanjut pada mata uang Asia."

Mayoritas mata uang Asia melemah dibanding dolar AS diantaranya baht Thailand, yen Jepang, won Korea, dan ringgit Malaysia. Padahal, Negeri Jiran sedang menantikan keputusan suku bunganya.

Namun, survei Reuters menunjukkan Bank Negara Malaysia (BNM) akan mempertahankan suku bunganya berada di 3% Ambruknya rupiah dan mata uang Asia lainnya juga disebabkan oleh ketegangan China dan Amerika Serikat (AS) terkait ekspor bahan chip semi konduktor.

Melansir Wall Street Journal (WSJ), Senin (4/7), China menerapkan pembatasan ekspor pada dua mineral yang menurut AS sangat penting untuk produksi semikonduktor, sistem rudal, dan sel surya. Ini bisa jadi bentuk pamer 'otot' ala China menjelang pembicaraan ekonomi antara dua negara tersebut.

Mineral yang dimaksud, yakni gallium dan germanium, bersama dengan lebih dari lusinan material terkait lainnya akan tunduk pada kontrol ekspor yang tidak dijelaskan secara rinci mulai 1 Agustus mendatang, seperti yang diumumkan oleh Kementerian Perdagangan Beijing pada Senin.

Kisruh China dan AS terkait gallium dan germanium seperti 'bom baru' bagi hubungan kedua negara.

Ketegangan AS dan China tersebut membuat pelaku pasar keuangan global khawatir sehingga investor menarik modal dan investasi mereka dari Asia dan Emerging Market.Capital outflowpun membuat mata uang rupiah goyang.

Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF, memandang dinamika rupiah disebabkan oleh tantangan global sepanjang 2023 ini. Beliau menambahkan pergerakan rupiah akan cukup stabil berada di kisaran Rp 15.000/US$.

Eko mengatakan, "Dari sisi nilai tukar fluktuasinya, tidak seganas tahun lalu sampai akhir tahun." Secara jangka panjang, beliau merasa mata uang rupiah akan cukup stabil yang didukung oleh penurunan inflasi yang konsisten.


(trp/trp)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS

Pages