5 Juli 1946

Jasa Besar Kakek Prabowo di Balik Kesuksesan Bank Pertama RI

Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia
Rabu, 05/07/2023 11:30 WIB
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ada dua ekonom Indonesia, yang juga masih bersaudara, saling berdebat tentang pembentukan bank sentral. Dua orang itu adalah Margono Djojohadikoesoemo dan Soerachman. Keduanya punya pandangan berbeda soal pendirian bank sentral.


Margono, saat itu Ketua Dewan Pertimbangan Agung, berpendapat kalau Indonesia perlu mendirikan bank sentral dari jerih payah bangsa sendiri, bukan warisan asing. Kala itu, Indonesia tidak memiliki bank nasional buatan lokal sejak masa kolonial. Maka, dengan semangat nasionalisme jelas ini adalah momentum yang tepat untuk mendirikan bank sentral baru.

Akan tetapi, Soerachman tidak setuju. Menteri Kemakmuran itu punya pandangan lebih praktis. Mengutip buku Dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (2014), dia berpandangan kalau Indonesia hanya perlu menghidupkan kembali De Javasche Bank (DJB) buatan Belanda. Pasalnya, bank itu sudah lama mengawal ekonomi negara dan sudah banyak memiliki tenaga mumpuni. Jadi, tidak perlu susah payah membangun dari nol.

Namun, di tengah perdebatan itu pendapat Margono semakin diterima usai Belanda datang kembali ke Indonesia pada 1946. 

"Belanda ingin menghidupkan kembali DJB sebagai bank sentral berdasarkan izin Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 2 Januari 1946," tulis penyusun buku Semarang Sebagai Simpul Ekonomi (2022).

Penghidupan kembali DJB bertujuan untuk mengacaukan sistem ekonomi dalam negeri. DJB bakal difungsikan Belanda untuk mencetak dan mengedarkan uang buatan mereka, serta melemahkan rupiah. Akibatnya, urgensi pendirian bank sentral baru semakin besar.

Pada saat bersamaan, kakek dari Prabowo Subianto ini memang sudah gerak cepat untuk merealisasikan gagasannya. Dia dikabarkan sudah mendapat restu dari Soekarno dan Hatta untuk mendirikan bank nasional buatan rakyat Indonesia bernama Bank Negara Indonesia sejak September 1945. Sekaligus sudah mengurusi yayasan perbankan milik negara bernama Yayasan Poesat Bank Indonesia.

Lantas, tidak perlu menunggu lama lagi, pada 5 Juli 1946, tepat hari ini 77 tahun lalu, pemerintah resmi mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sentral berdasarkan Perpu No. 2 tahun 1946.

Selain tugasnya sebagai bank sentral, BNI juga diberi wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum, seperti pemberian kredit, penerbitan obligasi, dan penerimaan simpanan giro, deposito, atau tabungan. 

Pemerintah kemudian menunjuk Margono sebagai pemimpinnya. Di masa-masa sulit, tak mudah bagi Margono untuk memimpin bank baru karena harus memimpin pertempuran di sektor ekonomi melawan De Javasche Bank.

Saat itu, DJB semakin ekspansif ke seluruh negeri. Dia menyebarkan mata uang NICA ke pelosok Indonesia. Tak mau kalah, BNI juga mengeluarkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).  Alhasil, timbul peperangan mata uang atau currency war, sekaligus memunculkan dualisme bank sentral di Indonesia. 

Di lapangan, pertempuran melawan Belanda semakin panas. Banyak wilayah yang dijajah kembali Belanda. Akibatnya, tugas BNI sebagai bank sentral tidak optimal. BNI tidak mampu berbuat apa-apa karena operasionalnya mandek. Di daerah banyak cabang BNI yang tutup dan kekayaannya dirampas Belanda. Kekuatan Belanda pada akhirnya sukses menekuk lutut BNI.

Hingga akhirnya, pertempuran dua bank sentral ini benar-benar selesai pada 1949. Setelah itu, BNI mulai aktif kembali. Namun, pada 1953 tugas BNI sebagai bank sentral memudar usai pemerintah mengambil alih DJB dan mengubahnya menjadi Bank Indonesia.

Bank Indonesia kemudian ditugasi sebagai bank sentral. Sementara status BNI sebagai bank sentral resmi dicabut dan diubah menjadi bank BUMN biasa pada 1968.


(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Hotel "Nangis Darah", Okupansi Anjlok - Tarif PDAM dan Gas Naik