
Besok Paman Sam Mau Libur, Hari Ini IHSG Santai Dulu Gak?

Saat ini, pelaku pasar masih akan mencerna dan menakar implikasi dari melandainya inflasi terhadap kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI) dan kaitannya dengan aliran modal ke pasar saham.
Inflasi yang rendah bisa membuat investor tidak lagi begitu khawatir terhadap suku bunga.
Dalam rilis pers terbaru, Senin (3/7), BI pun menyebut, inflasi pada Juni 2023 kembali ke kisaran sasaran 3+1%, lebih cepat dari prakiraan semula.
Berdasarkan data BPS, seperti disebut di atas, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juni 2023 tercatat sebesar 0,14% (mtm) sehingga inflasi IHK secara tahunan menjadi 3,52% (yoy), lebih rendah dari inflasi IHK bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,00% (yoy).
"Kembalinya inflasi ke kisaran sasaran tersebut tidak terlepas dari konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui penguatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah," jelas pihak BI, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (4/7).
Ke depan, BI juga meyakini inflasi tetap terkendali di dalam sasaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023.
Namun, ekonom melihat BI masih ogah memangkas suku bunga tahun ini.
Dalam jajak pendapat Reuters yang dilakukan pada 14-19 Juni lalu, hampir dua pertiga dari responden, 15 dari 23, mengatakan, BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di angka 5,75% selama sisa tahun ini. Adapun, 8 ekonom memperkirakan ada pemangkasan suku bunga pada 2023.
Perkembangan ekonomi terbesar kedua dunia, China, juga tak luput dari perhatian investor. Ini karena China adalah salah satu mitra dagang dan investasi utama Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan, kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3% hingga 0,6%.
Aktivitas pabrik di China mengalami kontraksi 3 bulan berturut pada Juni 2023, sementara aktivitas non-manufaktur berada pada titik paling lemah sejak Beijing memutuskan menghentikan kebijakan ketat nol-Covid di akhir tahun 2022 lalu.
Data terbaru menunjukkan pemulihan yang tidak merata telah terjadi di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Ini akibat momentum pertumbuhannya melemah.
Data dari Biro Statistik Nasional yang dirilis pada Jumat (30/6/2023) menyebut indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur resmi masuk di level 49,0 pada Juni, dibandingkan dengan 48,8 pada Mei dan 49,2 pada April.
Adapun, PMI manufaktur China versi Caixin/S&P Global, yang dirilis Senin (3/7), turun menjadi 50,5 di Juni dari 50,9 di Mei, kendati masih berada di area ekspansi (>50).
"Banyak data ekonomi baru-baru ini menunjukkan, pemulihan China belum menemukan pijakan yang stabil, karena masalah utama termasuk kurangnya pendorong pertumbuhan internal, permintaan yang lemah, dan prospek yang meredup tetap ada," kata Wang Zhe, ekonom senior di Caixin Insight Group, dikutip CNBC International, Senin (3/7).
Menurut catatan BloombergNews, apa yang meresahkan investor adalah tampaknya tidak ada solusi mudah untuk lesunya ekonomi China. Konsumen tidak mau berbelanja, pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi, sementara produsen berjuang karena permintaan melemah di dalam dan luar negeri.
Selain itu, utang pemerintah daerah yang menjulang tinggi dan kelemahan yuan menunjukkan ruang untuk pelonggaran agresif melalui kebijakan moneter dan fiskal tetap terbatas.
Untuk memulihkan kepercayaan, investor pun menyerukan peningkatan dukungan fiskal dalam bentuk voucher konsumsi dan keringanan pajak.
Yang tidak kalah pentingnya, bagi investor negeri Tirai Bambu tersebut adalah kebutuhan untuk menghidupkan kembali pasar properti karena pertumbuhan harga rumah kembali melambat.
Pengamat pasar China tengah menunggu langkah-langkah yang lebih berarti untuk diumumkan, termasuk penghapusan pembatasan pembelian di kota-kota tingkat atas.
Para investor mengharapkan katalis dari pertemuan Politbiro pada bulan ini, di mana pembuat keputusan utama yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping diperkirakan akan membahas langkah-langkah baru untuk meningkatkan sektor properti dan konsumsi.
Kabar kunjungan Menteri Keuangan AS Janet Yellen ke Beijing pada 6-9 Juli juga akan mewarnai headline pekan ini.
Yellen menjadi anggota kedua kabinet Joe Biden yang pergi ke ibu kota China dalam beberapa pekan terakhir, seiring dua ekonomi terbesar dunia itu ingin memperbaiki hubungan setelah serentetan ketegangan bilateral.
Kunjungan Yellen akan berlangsung hanya tiga minggu setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengunjungi China, menyoroti upaya pemerintahan Biden untuk memulihkan jalur komunikasi dengan rekan-rekannya di Beijing.
(trp/trp)