Tiga Indeks Utama Wall Street berakhir di zona hijau pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (2/6/2023) setelah rilis data tenaga kerja yang masih solid serta senat yang sudah mengesahkan tagihan plafon utang.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melewat 2,12% ke posisi 33.762.762 sementara S&P 500 naik 1,45%ke 4.282,37, dan Nasdaq Composite juga mengalami penguatan dengan apresiasi 1,07% ke 13.240,77.
Sentimen yang mempengaruhi bursa saham begitu beragam mulai dari keputusan RUU plafon utang hingga arah suku bunga The Fed yang tengah di ramal oleh pelaku pasar.
Non-farm payrolls tumbuh lebih dari yang diharapkan untuk periode Mei, naik 339.000. Ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan kenaikan 190.000 yang relatif sederhana. Angka ini sekaligus mencatatkan 29 bulan berturut-turut pertumbuhan pekerjaan positif.
Baru-baru ini, data ketenagakerjaan yang kuat telah menekan saham dengan anggapan akan membuat The Fes bakal menaikkan suku bunga. Tetapi data hari Jumat juga menunjukkan pendapatan per jam rata-rata naik kurang dari perkiraan ekonom dari tahun ke tahun, sementara tingkat pengangguran lebih tinggi dari yang diperkirakan.
Kedua poin data tersebut telah memberi investor harapan bahwa Fed dapat menghentikan kampanye kenaikan suku bunga pada pertemuan kebijakan akhir bulan ini, menurut Terry Sandven, kepala strategi ekuitas di Bank Wealth Management A.S.
"Yang disebut Goldilocks telah memasuki rumah," kata Sandven. "Jelas, di sisi bullish, ada tanda-tanda bahwa inflasi mulai berkurang, spekulasi bahwa Fed akan beralih ke mode jeda, meningkatkan kemungkinan soft landing."
Sementara itu, meredanya kekhawatiran seputar plafon utang AS juga membantu sentimen. DPR AS akhirnya meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU)Tanggung Jawab Fiskal atau Fiscal Responsibility Act.
Kesepakatan diketok dengan perolehan suara 314-117. Sebanyak 149 anggota Partai republik dan 165 anggota Partai Demokrat memilih untuk meloloskan RUU sementara 71 anggota DPR menentangnya.
Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri drama di Capitol Hill, Kongres AS antara legislatif dan eksekutif AS mengenai debt ceiling atau plafon utang AS.
Di antara kesepakatan yang ada dalam RUU tersebut adalah pemberlakuan batas pinjaman yang ada hingga Januari 2025 atau menangguhkan plafon utang hingga Januari 2025.
Artinya, persoalan debt ceiling baru akan dibahas lagi setelah pemilihan presiden AS. Kesepakatan lainnya adalah belanja pemerintah federal akan tetap sama pada 2024 untuk kemudian naik sekitar 1% pada 2025.
Dengan jatuhnya pasar keuangan pekan lalu tentunya membawa rasa was-was bagi pelaku pasar untuk perdagangan pekan ini. Perlu digarisbawahi bahwa kita belum terlepas dari kekhawatiran tingginya suku bunga. Pelaku investor masih khawatir dan memasang mode wait and see kemana suku bunga akan berlabuh.
Tapi setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa dicermati para investor sebagai angin segar untuk membuka peluang penguatan IHSG pada pekan ini. Wall Street yang ditutup menghijau pada perdagangan akhir pekan lalu bisa membawa angin segar bagi indeks acuan Tanah Air.
Mulai hari ini, ada peraturan baru mengenai Auto Rejection Bawah (ARB) 15%, dengan batas yang masih sama dengan ARA 35% untuk saham di kisaran harga Rp50-Rp200, 25% bagi saham di rentang Rp2.000-Rp5.000, dan 20% bagi saham dengan harga di atas Rp5.000 per lembar saham.
Dengan ketentuan ini kemungkinan besar pasar bakal menjadi lebih agresif karena penurunan bisa dimanfaatkan untuk momentum pembelian saat diskon besar. Yang dimana memang sejak awal ketentuan ARB sama dengan ketentuan besarnya ARA.
Dari dalam negeri, hari ini bakal ada rilis inflasi periode Mei dan data PMI manufaktur Indonesia. Dari sisi inflasi Indonesia diproyeksi melandai sejalan dengan melemahnya permintaan usai Ramadan dan Lebaran. Namun, ada beberapa komoditas pangan yang harganya tetap melambung usai Lebaran.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Mei 2023 akan menembus 0,29% dibandingkan bulan sebelumnya (monh to month/mtm).
Inflasi akan lebih tinggi dibandingkan pada April 2023 yang tercatat 0,33%. Hasil polling juga memperkirakan inflasi (year on year/yoy) akan menembus 4,20% pada Mei. Inflasi tersebut lebih rendah dibandingkan pada April yang tercatat 4,33%.
Jika inflasi melandai ke 4,20% maka itu akan menjadi yang terendah sejak Mei 2022 atau setahun terakhir. Secara tahunan, inflasi akan melandai karena semakin berkurangnya dampak kenaikan harga BBM pada September tahun lalu.
Inflasi inti diperkirakan melandai menjadi 2,8% (yoy) pada Mei dari 2,83% (yoy) pada April 2023.
Sementara itu, inflasi Mei akan melandai sejalan dengan pola musimannya di mana harga barang biasanya akan terjun setelah Lebaran. Bahkan, tak jarang jika satu bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi. Sebagai catatan, Hari Raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada 21/22 April.
Secara historis, inflasi pada Mei (mtm) biasanya meningkat setelah melandai pada April. Dalam lima tahun terakhir, inflasi Mei (mtm) mencapai 0,34%.
Namun, dengan momen Ramadan dan Lebaran sudah berlalu maka permintaan biasanya melandai. Pengecualian terjadi pada tahun lalu karena krisis minyak goreng.
Sentimen utama lain datang dari rilis data Purchasing Manager’s Index (PMI) dari berbagai negara termasuk Indonesia, Jepang, China, Eropa Inggris. Ini tentu penting diperhatikan karena menunjukkan kesehatan ekonomi negara tersebut secara keseluruhan.
Tak jarang data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan.
Dalam hal ini tentu saja fokus utama tak lepas dari PMI China. Pada Rabu, data resmi menunjukkan bahwa aktivitas pabrik China menyusut lebih cepat dari perkiraan pada bulan Mei karena menurunnya permintaan.
Aktivitas pabrik China untuk periode Mei ini kembali menyusut lebih cepat dari yang diharapkan. Ini dipicu oleh melemahnya permintaan yang kian menambah tekanan pada pembuat kebijakan untuk menopang pemulihan ekonomi yang tidak merata.
Biro Statistik Nasional (NBS) pada Rabu (31/6/2023) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.
Angka ini benar-benar di luar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi, meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China.
Sub-indeks PMI yang mencakup produksi, pesanan baru, dan inventaris bahan baku mengalami kontraksi di bulan Mei, mengisyaratkan permintaan yang lebih lemah tidak hanya untuk ekspor tetapi juga investasi modal.
Meskipun tetap pada lintasan pertumbuhan, PMI non manufaktur China turun menjadi 54,5, dari 56,4 di bulan April.
"PMI menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi China masih berlangsung di bulan Mei, meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat," Julian Evans-Pritchard, kepala ekonomi China di Capital Economics yang berbasis di Inggris, menulis dalam sebuah catatan pada hari Rabu.
Artinya, industri sedang berjuang dan dukungan fiskal untuk konstruksi berkurang.
Ekonomi Asia sangat bergantung pada kekuatan ekonomi China, yang sedang terhuyung-huyung karena pemulihan pasca-Covid kehilangan momentum saat ini.
Setelah mengalami lockdown ketat akibat Covid-19, perekonomian China ternyata belum jua pulih. Alih-alih mencetak pertumbuhan yang tinggi setelah pembukaan kembali, impor China justru mengalami kontraksi.
Diketahui, impor China mengalami kontraksi atau -7,9% pada April 2023. Penurunan ini memperpanjang kinerja negatif yang sudah terjadi sejak Oktober 2022 lalu.
Sementara itu, pertumbuhan ekspornya tercatat melambat. Data Bea dan Cukai China juga mencatat ekspor tumbuh 8,5 persen (yoy), turun dari 14,8% pada bulan Maret lalu.
Perekonomian China 25% berasal dari permintaan domestik, sementara sisanya atau 75% berasal dari ekspor, terutama ekspor manufaktur. Adapun, sektor manufaktur di China saat ini tengah mengalami kontraksi.
Bagi Indonesia, penurunan PMI China ini patut menjadi 'alarm' penting bagi perdagangan terlebih China merupakan mitra dagang utama Indonesia. Meskipun hingga kini, perlambatan manufaktur China belum akan signifikan berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia.
Hari ini pelaku pasar menanti rilis data PMI alias Indeks Manager Pembelian Jasa Caixin China pukul 09:45 WIB hari ini. Selain itu, ada pula PMI Australia, Jepang, Zona Eropa, dan Inggris yang bakal memberikan sinyal kekuatan ekonomi ke depan.
Data PMI Indonesia Bakal Rilis Hari Ini
Terlepas dari China, tentu saja fokus utama juga tertuju pada PMI dalam negeri. Sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia naik pada periode April 2023. S&P Global mencatat PMI Manufaktur Indonesia berada di level 52,7.
Dengan ini, pada dasarnya sektor manufaktur dalam negeri terus mendapatkan momentum setelah awal yang kurang baik pada 2023. Kondisi bisnis yang membaik menggambarkan permintaan domestik menguat, sehingga mendorong kenaikan tercepat dan permintaan baru sera volume produksi selama tujuh bulan.
Meningkatnya PMI Manufaktur Indonesia pada bulan sebelumnya juga terjadi lantaran produsen barang mulai meningkatkan produksi sejakan dengan membaiknya prospek pertumbuhan bisnis dalam jangka pendek. Pengusaha juga kini lebih optimis pada kondisi dunia usaha ke depan.
Untuk rupiah, Bank Indonesia (BI) optimis stabilitas rupiah tetap terjaga berkat surplus transaksi berjalan dan ekspor yang kuat. Selain itu, aliran dana dari asing masih akan berlanjut sejalan dengan prospek ekonomi yang masih tumbuh positif dengan inflasi yang rendah dan prospek imbal hasil yang menarik.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Mei 2023, Perry Wajiyo selaku Gubernur BI menyampaikan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 masih akan tumbuh dalam rentang 4,5% - 5,3%.
Selain itu, dalam rapat tersebut BI juga memutuskan suku bunga ditahan untuk yang keempat kalinya sejalan dengan inflasi inti yang berada di posisi 2,83% pada April 2023, sesuai dengan target BI di 3% +/- 1%.
Perlu diketahui juga, dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah BI telah menerbitkan time deposit valas dengan imbal hasil atraktif mulai 5,10% sampai dengan 5,50% dengan tenor penyimpanan bervariasi mulai satu bulan hingga enam bulan.
Harapannya, instrumen baru tersebut dapat menyimpan devisa hasil ekspor lebih lama di dalam negeri agar cadangan devisa tetap kuat dan stabilitas nilai tukar rupiah terus berlanjut.
Berikut beberapa agenda penting terkait data ekonomi yang akan rilis hari ini:
- Rilis Data PMI Australia (06:00)
- Rilis Data PMI Indonesia (07:30)
- Rilis Data PMI Jepang (07:30)
- Rilis Data PMI China (08:45)
- Rilis Data Inflasi Indonesia (11:00)
- Rilis Data PMI Zona Eropa (03:00)
- Rilis Data PMI Inggris (03:30)
- Rilis Data Producer Price Index (PPI) Zona Eropa (04:00)
- Rilis Data PMI Amerika Serikat (09:00)
Hari ini pelaku pasar akan disuguhkan dengan beberapa agenda bursa dari dalam negeri, diantaranya:
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) ADMG
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) BUAH
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) FWCT
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) GOLD
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) PGEO
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) POSA
- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) SRSN
- RUPST dan RUPSLB KBLM
- RUPST dan RUPSLB EMDE
- RUPST dan RUPSLB PMMP
- RUPST dan RUPSLB TRUK
- Stock Split TCID
- Pembagian dividen tunai ARTA
- Pembagian dividen tunai BOBA
- Pembagian dividen tunai BSSR
- Pembagian divinden tunai ELIT
- Pembagian dividen tunai NELY
- Pembagian dividen tunai RALS
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]