
Ekonomi China Makin Gelap, Diramal Bakal "Hilang" 10 Tahun!

- IHSG dan rupiah gagal menguat Kamis kemarin, sementara mayoritas SBN mampu mencatat penguatan.
- Kabar baik dari penurunan inflasi di Amerika Serikat tertutupi oleh China yang nyaris mengalami deflasi.
- Kondisi di China saat ini dikatakan mirip dengan Jepang 30 tahun yang lalu, sehingga berisiko mengalami "lost decade", yang bisa berdampak buruk dan panjang bagi Indonesia.
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot pada Kamis kemarin. Kabar baik datang dari Amerika Serikat (AS) di mana inflasinya terus melambat. Tetapi, kabar berbeda datang dari China, inflasinya sangat rendah yang bisa memberikan masalah bagi Indonesia.
Sentimen negatif dari China masih akan berpengaruh ke pasar finansial Indonesia hari ini, beberapa faktor lain akan dibahas pada halaman 3.
IHSG kemarin turun 0,82% menjadi 6755,93. Sebanyak 333 saham melemah, 185 saham menguat, sementara 212 lainnya mendatar. Perdagangan menunjukkan transaksi mencapai Rp10,50 triliun dengan melibatkan 18.78 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,60 juta kali.
Rupiah yang sempat menguat di awal perdagangan berakhir stagnan Rp 14.720/US$. Sementara Surat Berharga Negara (SBN) hanya 25 tahun yang melemah, terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang naik.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
Penguatan SBN menunjukkan pasar merespon data inflasi di Amerika Serikat.
Inflasi pada April dilaporkan tumbuh 4,9% (yoy) lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 5%. Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 5,5%, lebih rendah dari bulan sebelumnya 5,6% tetapi sesuai ekspektasi.
Ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) pada bulan depan pun menurun. Data terbaru dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar kini melihat probabilitas sebesar 9% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% - 5,5% pada 14/15 Juni mendatang.
Probabilitas tersebut menurun drastis ketimbang sebelum rilis data inflasi, sebesar 21%.
Sayangnya kabar baik dari Amerika Serikat tersebut ditutupi oleh China.
Data dari pemerintah China menunjukkan inflasi pada April hanya tumbuh 0,1% year-on-year (yoy) jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 0,7%, juga lebih rendah dari prediksi Reuters 0,4%.
Inflasi tinggi bisa menggerus daya beli masyarakat, sebaliknya inflasi yang rendah bisa berarti daya beli masyarakat lemah atau masyarakat enggan berbelanja dan memilih saving. Sehingga, tingkat inflasi yang tepat, bisa merupakan indikator kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara maju misalnya, menetapkan target inflasi sebesar 2%, tidak lebih dan tidak kurang.
"Pandangan inti kami ekonomi China mengalami deflasi," kata Raymond Yeung, kepala ekonom untuk China di ANZ Research, sebagaimana dilaporkan CNN, Selasa (25/4/2023).
Deflasi bisa menjadi masalah yang tidak kalah rumit ketimbang inflasi tinggi. Jepang sudah mengalaminya selama dua dekade yang membuat pertumbuhan ekonominya sangat rendah.
"Satu kalimat yang bisa menggambarkan ekonomi China saat ini adalah deflasi sudah dimulai dan perekonomian menuju jurang resesi," kata Liu Yuhui, profesor di Chinese Academy of Social Sciences (CASS).
Liu menambahkan kondisi China saat ini sama dengan Amerika Serikat 15 tahun lalu saat dilanda krisis finansial global, dan Jepang 30 tahun lalu saat mengalami lost decade.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Melandai, Dow Jones Tetap Merah
Bursa saham AS (Wall Street) kembali masuk ke zona merah pada pembukaan perdagangan Kamis (11/5/2023) waktu setempat. Indeks Dow Jones bahkan turun 0,66%, disusul S&P 500 0,17%, sementara Nasdaq mampu naik 0,18%.
Beberapa data ekonomi yang dirilis hari ini mempengaruhi pergerakan kiblat bursa saham dunia ini. Indeks harga produsen dilaporkan tumbuh 0,2% pada April dari bulan sebelumnya. Rilis tersebut lebih rendah dari ekspektasi Dow Jones sebesar 0,3%.
Secara tahunan atau year-on-year, indeks harga produsen tumbuh 4,9%, juga lebih rendah dari ekspektasi.
Selain itu klaim tunjangan pengangguran bertambah sebanyak 246.000 orang dalam sepekan yang berakhir 6 Mei, bertambah 22.000 orang dari pekan sebelumnya. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi sejak akhir Oktober 2021.
"Wall Street tidak terkejut dengan data inflasi produsen dan klaim tunjangan pengangguran. Indeks harga produsen diperkirakan terus menurun setelah rantai pasokan mulai normal kembali, sementara kenaikan tingkat pengangguran menunjukkan bukti pasar tenaga kerja mulai melemah," kata Ed Moya, analis pasar senior di Oanda, sebagaimana dilansir CNBC International.
Meski data-data terbaru kembali meredupkan ekspektasi kenaikan suku bunga pada bulan depan, Wall Street masih belum mampu menguat.
"Investor fokus pada data ekonomi dan kondisi likuiditas serta apa yang terjadi dengan suku bunga serta inflasi," kata Dylan Kremer, co-chief Investment Officer di Certuity.
Likuiditas di Amerika Serikat memang terus mengetat setelah The Fed menaikkan suku bunga hingga 500 basis poin menjadi 5% - 5,25%.
Seperti diketahui, semakin ketat likuiditas maka semakin kurang mendukung bursa saham.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street yang belum mampu kompak menguat tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar saham hari ini.
Selain itu China masih menjadi perhatian, dengan inflasi yang sangat rendah, dikhawatirkan raksasa ekonomi dunia ini bisa mengalami "lost decade" atau "dasawarsa yang hilang" seperti Jepang 30 tahun yang lalu.
Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kondisi saat ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Jepang saat mengalami lost decade.
Persamaan yang pertama yakni turunnya tingkat kelahiran. Berbeda dengan Jepang yang sebagian warganya enggan punya anak, Pemerintah China justru menerapkan kebijakan satu anak, yang membuat menurunnya angka kelahiran. Alhasil, tingkat kelahiran di China mengalami penurunan tajam.
Persamaan berikutnya yakni aset riil yang mengalami bubble. China sebelumnya mengatakan kapitaslisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.
Tsugami Jepang juga merasakan hal yang sama 30 tahun lalu.
Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsugami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.
Citigroup juga melihat kesamaan lain, misalnya Jepang yang kala itu berada dalam fase pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat yang dimulai setelah era perang, kemudian China mengalaminya setelah bergabung dengan World Trade Organization pada 2021. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dari kedua negara tersebut juga dilakukan dengan cara yang sama, yakni investasi pada infrastruktur dan mendorong ekspor.
Jepang dan China juga membiayai pertumbuhan dengan cara yang sama. Bubble properti di Jepang dipicu oleh pembiayaan tidak langsung oleh bank komersial. China juga mengembangkan sistem keuangan yang tergantung dari pembiayaan tidak langsung.
Banyak lagi kemiripan kedua negara sehingga China dikhawatirkan akan mengalami lost decade.
Tanda-tanda pelambatan ekonomi China sudah terlihat. Data dari pemerintah China menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur pada April tercatat sebesar 49,2, turun dari bulan sebelumnya 51,9 dan berada di level terendah sejak Desember 2021.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Indonesia juga akan terkena imbasnya, sebab China merupakan pasar ekspor terbesar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 nilai ekspor Indonesia ke China sebesar US$ 63,5 miliar, melesat 24% dibandingkan 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% terhadap total ekspor Indonesia.
Bandingkan dengan ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$ 28, miliar yang berkontribusi sebesar 10%. Ekspor ke China dua kali lipat lebih besar ketimbang ke Amerika Serikat, sehingga pelambatan ekonomi Negeri Tiongkok bisa berdampak signifikan ke Indonesia.
Masalah ekonomi China bisa terus membayangi pasar finansial Indonesia, sehingga ada risiko kembali mengalami tekanan.
Dari Eropa, Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) kembali menaikkan suku bunga sebesar 25% menjadi 4,5% sesuai dengan prediksi pasar. BoE memberikan kabar baik sekaligus kabar buruk.
Inflasi yang masih sangat tinggi membuat BoE memberikan indikasi suku bunga akan kembali dinaikkan, yang tentunya menjadi kabar buruk bagi pasar finansial. Kabar baiknya, BoE memprediksi Inggris tidak akan mengalami resesi.
Melihat respon bursa Eropa, pasar lebih merespon peluang suku bunga kembali dinaikkan. Maklum saja, semakin tinggi suku bunga, maka pasar saham kurang diuntungkan. Apalagi melihat perekonomian Inggris yang cukup resilient, suku bunga tinggi bisa ditahan dalam waktu yang lama.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data pertumbuhan ekonomi Inggris (13:00 WIB)
- Data produksi manufaktur Inggris (13:00 WIB)
- Data neraca perdagangan Inggris (13:00 WIB)
- Data inflasi Prancis Final (13:45)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Cash Dividend (distribution): NISP, IFSH, TRIS, KEJU, BJTM, PRDA, TMAS, MKTR, UNTR, BTPN, RUNS, BTPS, TGKA.
- Cash Dividend (ex): TLDN, KLBF, NICL
- Cash Dividend (recording): SMSM, EPMT, LUCY
- Right Issue (ex): BKSW
- Stock Split (recording): TMAS
- IPO (listing): SMIL
- Public Expose: SMCB
- RUPS: SMCB, TBLA, BUDI
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2023 YoY) | 5,03% |
Inflasi (April 2023 YoY) | 4,33% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (April 2023) | 5,75% |
Surplus Anggaran (APBN Februari 2023) | 0,61% PDB) |
Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY) | US$ 4,7 miliar |
Cadangan Devisa (April 2023) | US$ 144,2 miliar |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article "Unlucky 13" Amerika, Bisa Picu Carut-marut Ekonomi Dunia!
