
Diterpa Krisis, Kok Laba Perbankan AS Malah Cetak Rekor?

Jakarta, CNBC Indonesia - Laba sektor perbankan Amerika Serikat (AS) mencapai rekor tertinggi sepanjang masa sekitar US$80 miliar atau mencapai Rp1.179,9 triliun pada kuartal pertama, naik 33% dari tahun lalu. Torehan ini dicapai ketika perbankan AS tengah berjuang setelah dua kegagalan bank dengan aset jumbo menandai tekanan paling signifikan sejak krisis keuangan tahun 2008.
Nyatanya, gejolak perbankan AS menjadi salah satu faktor besar yang berkontribusi atas pencapaian positif tersebut. Sekitar setengah dari peningkatan keuntungan agregat perbankan AS berasal dari keuntungan yang dicatat oleh First Citizens dan Flagstar, yang membeli sebagian unit bisnis Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank, setelah disita oleh regulator dan dijual dengan harga diskon di bulan Maret lalu.
Meski begitu, lonjakan laba tersebut juga menunjukkan bank-bank AS secara umum diuntungkan oleh kenaikan suku bunga, gagal bayar pinjaman yang rendah, dan pasar kerja yang meluas meskipun ada kegugupan di antara para deposan dan investor.
"Sebagian besar industri tidak gagal," kata Bert Ely, seorang konsultan perbankan independen kepada Financial Times dikutip CNBC Indonesia, Rabu (10/5/2023).
"Ekonomi masih dalam kondisi yang cukup baik, dan itulah yang akan menghasilkan keuntungan itu."
Dari hampir 4.400 bank di negara itu, hanya 197 atau kurang dari 5% yang merugi pada kuartal pertama, menurut BankRegData.
JPMorgan Chase, bank dengan aset terbesar di negara itu, memiliki keuntungan tertinggi dari pemberi pinjaman mana pun, menghasilkan US$11,7 miliar Rp172,56 triliun dari aktivitas termasuk pemberian pinjaman dan pemrosesan pembayaran. Jumlah ini naik dari US$6,4 miliar Rp94,39 triliun dibanding tiga bulan yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, bank regional PacWest, merugi US$1,2 miliar atau Rp17,69 triliun lebih dalam tiga bulan pertama tahun 2023. Bank California minggu lalu mengatakan telah mempekerjakan penasihat untuk meninjau opsi strategisnya. Silvergate Bank, yang merugi US$538 juta Rp7,93 triliun dalam tiga bulan pertama tahun ini, mengumumkan penutupannya pada awal Maret.
Namun begitu, biaya bunga agregat untuk semua bank melonjak 10 kali lipat dari tahun lalu menjadi US$85 miliar pada kuartal pertama, menurut BankRegData. Itu karena bank, terutama sejak Maret, harus membayar bunga yang lebih tinggi kepada deposan.
"Intinya terlihat cukup bagus untuk kuartal pertama, tetapi tidak akan terlihat bagus untuk sisa tahun ini," kata Christopher Whalen, seorang analis bank dan kepala Whalen Global Advisors.
Whalen mengatakan setiap pemberi pinjaman harus menaikkan jumlah bunga yang mereka bayarkan kepada deposan setelah kegagalan SVB.
"Biaya dana untuk bank akan naik jauh. Ini akan mengejutkan orang."
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kripto Jadi Biang Kerok Kejatuhan Bank Beraset Rp1.635 T