CNBC Indonesia Research

Perhatian! Ini Deretan Emiten yang Paling "Doyan" Ngutang

Tri Putra, CNBC Indonesia
Rabu, 03/05/2023 09:50 WIB
Foto: Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (23/11/2022). IHSG ditutup menguat 0,33 persen atau 23,53 poin ke 7.054,12 pada akhir perdagangan, sebanyak 249 saham menguat, 255 saham melemah, dan 199 saham stagnan. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang berperan penting sebagai sumber dana tambahan suatu usaha/perusahaan untuk menjalankan suatu proyek atau berekspansi. Namun, apabila terlampaui tinggi, hal tersebut akan mempengaruhi kelenturan keuangan perusahaan.

Di Bursa Efek Indonesia (BEI), ada sejumlah emiten (tentu di luar sektor keuangan) yang memiliki rasio kewajiban (termasuk utang) yang jauh lebih tinggi dibandingkan modal (ekuitas) perusahaan.

Metode untuk melihat perbandingan tersebut adalah debt-to equity ratio (DER), yang merupakan bagian dari leverage ratio (atau rasio pengungkit). Pengungkit dalam arti, suatu perusahaan menggunakan utang untuk menciptakan laba.


Rasio DER berguna untuk melihat seberapa besar bantalan yang dimiliki perusahaan, yakni berupa ekuitas, yang tersedia untuk mampu menyerap rugi dan mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban utang jangka pendek maupun jangka panjang.

Ini artinya, semakin tinggi DER, semakin tinggi pula risiko perusahaan gagal memenuhi kewajiban/utang atau semakin buruk kondisi solvency-nya.

Secara umum, rasio DER di atas 1 kali atau 100% dianggap kurang baik sebagai kandidat emiten pilihan investor. Namun, rasio DER di atas 2 kalai 2,5 kali sering dianggap kurang bagus.

Walaupun, sejatinya, memang ada industri-industri tertentu yang cenderung capital-intensive dan memiliki rasio utang lebih tinggi, seperti penerbangan, manufaktur besar, telekomunikasi, konstruksi, hingga riil estat.

Di BEI, nama emiten farmasi BUMN PT Indofarma Tbk (INAF) tercatat memiliki DER tertinggi, hingga 6.317,26%.

Kalau menilik laporan teranyar, total kewajiban (liabilitas) perusahaan mencapai Rp1,55 triliun dengan ekuitas hanya Rp24,56 miliar per 31 Maret 2023.
Liabilitas bertambah dari Rp1,45 triliun per 31 Desember 2022.

Apabila dilihat lebih rinci, liabilitas jangka pendek INAF (Rp1,01 triliun) lebih besar dibandingkan liabilitas jangka panjang (Rp449,87 miliar) pada 31 Maret 2023.

Dari total liabilitas jangka pendek tersebut, utang pihak ketiga menyumbang porsi terbesar mencapai Rp525,54 miliar, diikuti utang pajak Rp191,55 miliar, pinjaman bank jangka pendek Rp134,18 miliar, dan utang pemegang saham Rp104,79 miliar.

Sebaliknya, ekuitas INAF tergerus dari sebelumnya Rp86,36 miliar pada akhir Desember tahun lalu. Ini karena INAF lagi-lagi mengalami rugi bersih yang akhirnya menyedot ekuitas.

Di bawah INAF ada emiten transportasi dan penyimpanan bahan kimia berbahaya PT Sidomulyo Selaras Tbk (SDMU) dengan DER 5.815,72%.

Berdasarkan data laporan keuangan per 31 Desember 2022, SDMU memiliki liabilitas Rp148,74 miliar dengan ekuitas hanya Rp2,56 miliar.

Kendati masih sangat kecil, ekuitas SDMU per akhir tahun lalu bisa dibilang membaik setelah sempat mengalami defisiensi modal hingga minus Rp3,08 miliar pada 31 Desember 2021.

Hal tersebut berkat SDMU berhasil membalikkan rugi Rp9,4 miliar pada 2021 menjadi laba komprehensif Rp5,63 miliar.
Adapun, liabilitas SDMU didominasi liabilitas jangka panjang yang sebesar Rp116,70 miliar, yang di dalamnya terdapat porsi terbesar berupa utang lain-lain mencapai Rp106,40 miliar.

Utang lain-lain jangka panjang tersebut, salah satunya kepada Layman Holdings PTE Ltd sebesar Rp133 miliar (US$8,45 juta). Jumlah ini sebelum dikurangi bagian yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun.

Selain INAF dan SDMU di atas, masih ada sejumlah nama yang memiliki DER sangat tinggi, seperti MKNT (4.715,67%), BOSS (4.492,53%), hingga MPPA (2.180,31%) dan emiten BUMN yang sedang terkena masalah utang dan kasus korupsi WSKT (967,28%).

Dari sudut pandang investasi, investor perlu mencermati emiten dengan DER terlampau tinggi, apalagi di atas perjanjian utang (debt covenant) bank peminjam, karena bisa mempengaruhi solvabilitas atau malah going concern perusahaan ke depan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: HGII Tebar Dividen Rp 4,5 M & Bidik Tambahan Pembangkit 100 MW