
May Day May Day! Harga Minyak Ambrol Karena Huru Hara Amerika

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak terpantau terkoreksi pada awal perdagangan Rabu (3/5/2023) di tengah kekhawatiran mengenai nasib ekonomi Amerika Serikat (AS).
Kekhawatiran tersebut di antaranya potensi gagal bayar utang, krisis perbankan AS, serta ekspektasi kenaikan suku bunga lebih lanjut pada minggu ini.
Harga minyak mentah WTI melemah hingga 0,22% ke posisi US$71,50 per barel sementara harga minyak mentah brent juga dibuka melemah 0,23% ke posisi US$75,07 per barel.
Pelemahan ini memperpanjang tren negatif minyak dunia yang juga terperosok pada hari sebelumnya.
Pada perdagangan Selasa (2/5/2023), minyak brent anjlok 5,19% ke posisi US$75,24 per barel sementara minyak WTI juga ditutup ambruk 5,29% ke posisi US$71,66 per barel.
Penutupan perdagangan Selasa adalah penutupan terendah untuk kedua jenis minyak sejak 24 Maret. Untuk ukuran persentase penurunan dalam satu hari, tingkat penurunan kemarin juga menjadi yang terbesar sejak awal Januari.
Harga minyak dan indeks utama Wall Street .DJI, .SPX, .IXIC keduanya turun setelah Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan pemerintah AS terancam kehabisan uang dalam waktu satu bulan saja.
Gedung Putih mengatakan Presiden Joe Biden tidak akan bernegosiasi mengenai plafon utang selama pertemuannya dengan empat pemimpin kongres pada 9 Mei, tetapi dia akan membahas memulai "proses anggaran terpisah."
Kisruh utang ini tentu saja bisa berimbas buruk kepada ekonomi AS. Negara dengan size ekonomi terbesar di dunia dan konsumen terbesar minyak mentah dunia tersebut terancam melambat.
Akibatnya permintaan minyak pun bisa melandai.
tanda-tanda melambatnya ekonomi AS tercermin dari jumlah lowongan kerja. Lowongan pekerjaan AS turun selama tiga berturut-turut pada Maret dan PHK meningkat ke level tertinggi lebih dari dua tahun.
"Ekonomi AS terus berkembang dengan cara yang konsisten dengan resesi yang dimulai akhir tahun ini," ucap analis di Barclays.
"Sektor manufaktur berkontraksi, konsumen berjuang, ada tanda-tanda retakan yang meluas muncul di pasar tenaga kerja," imbuh Barclays.
Akhir pekan ini, investor akan mencari arah pasar dari ekspektasi kenaikan suku bunga oleh bank sentral yang masih berjuang memerangi inflasi.
Jika suku bunga naik lebih tinggi maka hal itu bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan energi.
Bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin lagi pada hari Rabu atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Bank Sentral Eropa juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga pada pertemuan kebijakan regulernya pada hari Kamis (4/5/2023).
"Tindakan dari bank sentral dalam misi mereka untuk menjinakkan kenaikan harga konsumen dan produsen, semuanya memberikan bayangan keraguan yang cukup panjang tentang prospek ke depan," ucap Tamas Varga dari Pedagang Minyak PVM.
Kekhawatiran tentang permintaan diesel dalam beberapa bulan terakhir, telah menekan minyak berjangka AS HOc1 ke level terendah sejak Desember 2021.
"Minyak pada dasarnya memiliki prospek yang melemah dari dua ekonomi terbesar dunia, China dan AS, dan jika latar belakang makro memburuk momentum penjualan dapat dengan mudah membuat harga di bawah level $70," ucap Edward Moya, analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA.
Selama akhir pekan, data dari China, importir minyak mentah utama dunia, menunjukkan aktivitas manufaktur turun secara tak terduga di bulan April.
China mengalami kontraksi pada manufakturnya untuk kali pertama sejak Desember. Tiongok adalah konsumen terbesar kedua minyak mentah di dunia sehingga perkembangan di sana akan sangat menentukan harga minyak.
Dengan manufaktur yang melambat maka permintaan bisa kembali lesu.
Harga minyak dunia juga terimbas oleh krisis perbankan AS. Krisis bisa mengancam ekonomi AS dan membawa Paman Sam ke jurang resesi.
Senin dini hari (1/5/2023), krisis perbankan resmi memakan korban baru dengan regulator AS menyita First Republic Bank dan mencapai kesepakatan untuk menjual sebagian besar operasinya kepada JPMorgan Chase, bank terbesar di AS.
Salah satu Bank Terbesar di dunia JPMorgan Chase dikabarkan muncul sebagai pemenang lelang atas akuisisi First Republic Bank, yang baru-baru ini ditimpa krisis.
Sebelumnya, tiga bank juga kolaps yakni Silicon Valley Bank, Signature Bank, dan Silvergate Bank.
Apa yang menimpa bank-bank AS tentu saja membuat investor mempertanyakan stabilitas lembaga keuangan regional yang lebih kecil.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(saw/saw)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Dunia Merana Karena Amerika